Mengaku tidak suka sawit, tetapi dirinya mau membantu komoditas andalan Indonesia ini sebaik mungkin.
Daya saing sawit di antara komoditas penghasil minyak nabati di dunia memang luar biasa. Karena itu, masuk akal bila pesaingnya mencari sejuta cara untuk mengerem ekspansi sawit di Indonesia. Kalau tidak dihambat, mereka akan semakin sengsara. Selama ini hidup dari subsidi, pelaku minyak nabati itu harus berhadapan dengan minyak sawit yang lebih murah meski tanpa subsidi.
Itulah pandangan Resit Sözer tentang kelapa sawit. Persinggungannya dengan tanaman penghasil “emas cair” ini lantaran aktivitasnya sebagai pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan konsultan. Semakin lama terlibat, semakin memahamilah blasteran Belanda dan Turki ini tentang posisi sawit di kancah internasional.
Kena Diskriminasi
Berbincang dengan Rasyid, begitu rekan-rekannya menyapa, di sela-sela penyelenggaraan Roundtable Meeting RSPO Desember silam di Medan, Sumut, berbagai isu mencuat. Menyinggung prinsip dan kriteria Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang baru, ia sepakat kawasan bernilai konservasi tinggi atau high conservation value (HCV) harus diperjuangkan untuk tidak dibuka buat perluasan kebun sawit. Pasalnya, itu bukan hanya aset berharga bagi publik yang dilestarikan tapi juga menghindari demo, longsor, banjir, menjamin hadirnya air, dan sebagainya.
“Ada enam kriteria HCV artinya ada enam sifat yang menentukan suatu area mengandung nilai konservasi tinggi. Pertama, spesies satwa atau tumbuhan hampir punah yang penting dilestarikan. Kedua, lansekap unik seperti dataran rendah sangat luas di Merauke. Ketiga, habitat organisme langka atau terancam punah. Keempat, semua area penting untuk pelestarian tanah dan air. Kelima, area penting bagi masyarakat lokal sebagai area untuk mencari penghidupan. Keenam, area penting bagi budaya dan religi masyarakat setempat,” urai Rasyid yang berlatar belakang biologi, Universitas Amsterdam, Belanda, itu.
Lebih jauh pria yang mulai menjejakkan kakinya di Indonesia sejak 1994 itu menyoroti ketentuan lain. Misalnya, pelarangan pembukaan kebun sawit di lahan gambut setipis apapun. Sementara pemerintah Indonesia melarang di gambut dengan kedalaman di atas 3 m. “Peraturan ini menurut saya bukan karena bernilai konservasi tinggi tapi untuk mencegah ekspansi sawit terlalu besar karena itu mengancam dunia barat. Ini barrier (hadangan) untuk berkembang. Indonesia jangan terlalu majulah. Belanda, Amerika, Eropa, negara maju lain akan menderita kalau Indonesia terlalu maju karena rapeseed mereka nggak laku. Ini ancaman besar bagi komoditas lain yang mirip,” cetusnya terdengar berjiwa Indonesia sekali.
Belum cukup, masih ada lagi ketentuan yang mengharuskan penghitungan simpanan karbon (carbon stock assesment). “Saya sendiri menentang aturan karbon stok karena aturan tambahan ini dari segi konservasi tidak menambah sesuatu nilai konservasi. Dia tidak akan menjamin suatu ekosistem akan terjaga. Tapi itu jelas akan menjaga ekspansi (perkebunan sawit) menjadi terkendali sehingga yang diuntungkan ya dunia barat. Ini trade mechanism saja, yaitu suatu tindakan untuk mencegah ekspansi sawit yang terlalu cepat. Jadi, politik dan ekonomi negara lain saja yang mendorong ini terjadi. Bukan logika biologi atau konservasi. Saya dari LSM. Jiwa konservasi saya kuat. Kalau memang ada yang perlu diperjuangkan ya pasti diperjuangkan. Tapi kalau lihat karbon stok, konyol! Tidak masuk di akal!,” tandasnya gemas.
Lelaki yang mengaku berjiwa pro konservasi alam dan pro keadilan ini melihat diskriminasi pada komoditas sawit. Bagaimana tidak, penggalian area tambang batubara yang notabene mengandung karbon berlimpah untuk ekspor ke Eropa atau negara maju lain tidak dimasalahkan. Namun begitu buka hutan untuk jadi kebun sawit aturannya banyak sekali. “Ini hanya ingin mengendalikan ekonomi sawit,” ulas Rasyid.
Tak Perlu Konsultan Setiap Saat
Prinsip dan Ketentuan baru RSPO praktis memberikan bejibun order bagi kalangan konsultan. Perusahaan tak sanggup harus menghitung stok karbon, mengkalkulasi biomassa, mengkaji HCV dan sebagainya sehingga mengerahkan konsultan. Padahal sudah jamak, tarif konsultan terbilang mahal sekali.
Kendati kebanjiran order, toh pria yang menyunting wanita Sunda dan tinggal di Sukabumi, Jabar, ini tak segan memberi saran logis kepada perusahaan. “Misal HCV assesment. Kalau bukan new planting (pembukaan kebun baru) kenapa perusahaan nggak berani lakukan sendiri? Nanti kalau perlu dukungan teknis dan verifikasi kita bantu. Tidak perlu setiap gerak-gerik pakai konsultan,” tandas Senior Associate pada Aksenta, perusahaan konsultan yang lebih banyak berkecimpung dalam aspek sosial dan lingkungan di Jakarta ini.
Rasyid yang sangat fasih berbahasa Indonesia ini juga menyarankan, sekecil apapun masalah sosial dengan masyarakat setempat di seputar perusahaan perkebunan sebaiknya dicarikan solusi. Pasalnya, konflik sosial mana pun akan mengakibatkan hal buruk bagi perusahaan. “Harus cari jalan yang terbaik misal memberdayakan masyarakat, memberikan investment, menjadikan mereka kontraktor pengangkutan buah. Banyak hal bisa menjadi solusi jangka panjang, seperti fasilitas sekolah dan puskesmas,” urai pria yang juga aktif di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Sukabumi.
Hampir satu jam berlalu, obrolan dengan ayah dua anak tersebut akhirnya tuntas. Separuh jiwa Indonesianya tak mengherankan. Pun kemampuannya berbahasa Sunda terasah dengan baik. Apa pasal? Maret nanti menandai dua dekade Rasyid menghabiskan umurnya di negeri ini.
Peni Sari Palupi