Negeri ini akan maju andai bangsa ini percaya pertanian mampu menghadirkan kemakmuran. Itulah keyakinan Irman Gusman.
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI ini merasa prihatin melihat Indonesia masih tak kunjung mampu mandiri dalam bidang ketahanan pangan. Ia menilai sungguh aneh ada sebuah negeri yang di satu pihak diberi Tuhan dengan kekayaan alam yang melimpah, kaya raya, dengan matahari yang bersinar sepanjang tahun, namun masih mengimpor sejumlah komoditas penting penopang ketahanan pangannya. “Bahkan jika di negeri lain panen hanya sekali setahun, di sini bisa tiga kali, tapi kok kita di sektor ketahanan pangan tidak kompetitif,” kata Irman.
Pria kelahiran Kota Padang Panjang, Sumbar, 11 Februari 1962, ini pun menyebutkan sejumlah contoh. Misalnya, impor gula. “Itu keterlaluan karena kita pernah punya sejarah bagus di komoditas gula,” tandasnya. Ia menambahkan, negeri ini tak pernah investasi. Pabrik-pabrik gula di Jawa masih didominasi pabrik dari zaman penjajahan Belanda. Seharusnya, ada modernisasi di bidang gula.
Demikian pula jika beras masih impor. Bagi Irman, itu langkah yang keterlaluan. Ia menuding impor beras masih berlangsung lantaran ada rente alias permainan di sana. “Misalnya mungkin negara lain kayak Vietnam itu produknya berlebih, Nah, daripada ia buang ke laut berasnya, di-dumping saja, dijual. Sebab, di dalam negerinya mungkin harganya US$500 per ton, ia jual US$300. Yang kita beli itu ‘kan produk dumping,” tuturnya.
Garam impor dan buah impor pun menjadi keprihatinan mendalam Irman. Ia menyadari, mungkin garam jenis tertentu harus diimpor, tapi itu mestinya tidak berlaku di komoditas buah-buahan. “Durian impor. Itu karena kita tak mengembangkan buah eksotik kita yang sangat menarik, seperti salak, jeruk. Masak kita impor jeruk?” imbuh calon presiden konvensi Partai Demokrat ini.
Harus Fokus
Ini semua terjadi, jelas Irman, karena konektivitas antardaerah di negara kita masih lemah. Persoalan infrastruktur masih mengganggu. Ia merasa prihatin biaya membawa kontainer dari satu tempat di China ke Tanjungpriok lebih murah daripada membawanya dari pabrik di Padalarang, Jabar. “Bayangkan, biaya transportasi di negara kita tak kompetitif. Jadi, bawa jeruk dari Pontianak, Kalbar, lebih mahal dibanding bawa jeruk dari China,” tukasnya.
“Itu lantaran bangsa ini tidak percaya pertanian bisa membuat negeri ini sejahtera. Itu yang jadi persoalan,” tandasnya. Akibat ketidakpercayaan itu, bangsa ini tak habis-habisan berupaya di sektor pertanian. Padahal, ada bukti nyata kesuksesan dari negara yang berfokus kepada kodratnya sebagai negeri yang dikaruniai kekayaan alam. Apalagi, tambahnya, kepercayaan diri adalah salah satu dari empat pilar yang bisa memajukan suatu bangsa selain ilmu pengetahuan, rasa bangga pada pekerjaan, dan semangat (spirit).
“Negeri itu adalah Selandia Baru, yang termasuk salah satu negara termaju di dunia. Ini berkat berfokus di bidang peternakan dan pertaniannya. Yang punya ternak, yang punya pabrik, yang makan di restoran mahal di sana adalah para petani atau peternak,” tegas Irman. Berkat kesungguhan itu, misalnya, di Selandia Baru jumlah penduduknya hanya tiga juta jiwa namun ada 30 juta ekor biri-biri. Sedangkan sapinya berjumlah 25 juta ekor.
Irman sungguh meyakini ketahanan pangan dan energi adalah syarat mutlak agar negeri ini maju. “Bahkan, ingin saya katakan ketahanan pangan itu sebuah kedaulatan sendiri. Artinya, bagaimanapun, kita tak boleh tergantung dalam pangan ini,” tuturnya. Namun, ia tak memaksudkan negeri ini harus unggul di semua sektor. Tentu ada sektor-sektor unggulan tertentu, di daerah-daerah tertentu pula, yang bisa dijadikan andalan.
Ia pun memberikan contoh Jepang yang mempertahankan kedaulatannya di bidang pangan secara serius. Seandainya Jepang ingin menyerahkan kedaulatan pangannya kepada mekanisme pasar, ia bisa saja membeli beras ke Thailand atau negara lain. Namun, meski jauh lebih mahal biaya produksi beras di dalam negeri, Jepang tetap tak mau menyerahkan kedaulatan pangannya ke mekanisme pasar. “Kalau hanya berpikir murahnya saja, ‘kan lebih baik Jepang impor, tapi mereka tak mau,” kilah suami Liestyana ini.
Grand Design
Agar bidang pertanian Indonesia dalam arti luas maju, Irman juga sudah menyiapkan langkahnya. Ia meyakini dengan bekal kepercayaan diri bahwa pertanian mampu membawa kesejahteraan, bangsa ini akan habis-habisan memajukan bidang itu. “Jadi salah satu langkahnya, negara harus melakukan subsidi tidak langsung kepada sektor tersebut. Pupuknya, benihnya, mekanisasinya, dan lain-lain, sehingga petani kita meningkat daya saingnya. Jadi, harga produksi mereka kompetitif. Kalau dibiarkan saja, petani kita kalah dari petani negara lain,” sarannya.
Satu bukti negara ini tak percaya pertanian mendatangkan kemakmuran adalah perbandingan subsidi yang dikucurkan. Bahan bakar minyak (BBM), misalnya, disubsidi demikian besar. Padahal, menurut lelaki yang tercatat sebagai tokoh nasional termuda yang dianugerahi penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana (2010), ini mestinya bidang pertanianlah yang didukung sekuat tenaga.
Penyuka kegiatan membaca dan traveling ini pun menegaskan, Indonesia harus mempunyai grand design komprehensif untuk mengembangkan pertanian, peternakan, perikanan, dan kelautan secara luas. Di situ, dipetakan secara jelas dukungan yang harus diberikan dan data puluhan juta orang yang terlibat. Ada pula gambaran tingkat kesejahteraan petani dan bentuk-bentuk usaha mereka.
Juga harus ada pemerataan. Umpamanya, ada 10 juta ha lahan di sektor sawit, maka enam juta ha dikuasai masyarakat banyak melalui koperasi, dan empat juta sisanya itu dikelola beberapa perusahaan. “Jadi pemerataan penting. Tak boleh juga pertanian ini dikuasai oleh segelintir orang yang punya 10 juta ha, 5 juta ha, itu tidak benar, melanggar konstitusi,” urainya mengakhiri percakapan dengan AGRINA di kantornya, di kompleks DPR/MPR Senayan, Jakarta.
Syaiful Hakim, Syatrya Utama