Namanya dulu diembel-embeli kata sapi oleh teman kampusnya. Baginya, beternak sapi perah adalah melestarikan warisan budaya Betawi.
Selalu bersemangat bila berbicara tentang pengembangan sapi perah. Itulah ciri khas Rachmat Baghory. Maklumlah, ia adalah penerus sang ayah, alm. H. Sholahuddin bin H. Abd. Fatah, yang pada era 1980-an termasuk salah seorang peternak sapi perah di Kuningan, Jakarta Selatan.
Kini, memang masa sapi-sapi perah itu telah berlalu. Kawasan kandang-kandang sapi itu telah berubah menjadi gedung-gedung perkantoran nan megah. Para peternak telah dipindahkan ke Kompleks Sapi Perah DKI, Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur. Di situlah, di atas lahan seluas 11 hektar, sekitar 50-an peternak masih melanjutkan usaha sapi perah. “Pada 1980-an ada 30 ribuan sapi di Jakarta, sekarang tinggal 2.000-an ekor,” tutur Rachmat.
”Memang, dulu sempat ada 2.700 peternak sapi perah di DKI ini. Tapi, semakin menghilang, sapinya berubah jadi kaki dua, alias sepeda motor dan rumah kontrakan serta indekosan,” kata Rachmat menceritakan jalan hidup rekan seprofesinya yang banting setir demi menyelamatkan periuk nasinya.
Ciptakan Pasar Sendiri
Apalagi, nasib peternak sapi perah belum juga membaik. “Kalau susu dihargai Rp2.800-Rp3.000 per liter, tentu petani menjerit, apalagi jika hanya andalkan pendapatan dari susu, peternak cuma dapat baunya saja,” tukas lelaki kelahiran Jakarta, 1 September 1968 ini. Sebab, tambahnya, biaya pemeliharaan sapi perah di Jakarta sebesar Rp30 ribu per hari dan di luar Jakarta Rp35 ribu.
Tapi, anak tertua dari sembilan bersaudara ini termasuk peternak yang tak mau menyerah dengan keadaan. Di Kompleks Peternakan Sapi Perah Pondok Ranggon itu ia berinisiatif membangun wisata agro tentang beternak sapi. Sudah banyak rombongan pelajar yang berkunjung ke lokasi yang dinamainya Wisata Agro Istana Susu Cibugary itu. Bahkan, tak sedikit pula rombongan dari luar Pulau Jawa yang datang, seperti dari Kalimantan. “Di sini, kami tanamkan jiwa berwirausaha agribisnis kepada tunas-tunas muda Indonesia,” ujar Rachmat.
Selain itu, untuk meningkatkan nilai tambah susunya, ia juga mulai mengembangkan warung angkringan yang menjajakan susu segar. “Ini jalan keluar lain, kami jajakan susu di kedai angkringan. Tak harus pakai freezer. Tapi saya ajarkan pakai styrofoam. Bisa tahan 12 jam. Jadi, caranya diselang-seling, satu bungkus dibekukan, satu bungkus lagi cair. Jika pakai boks tak tahan, harus styrofoam,” tambah suami dari Manzjilah, S.S. ini.
Ia pun mencoba memperluas jaringan pemasaran dengan merangkul dinas pendidikan dan sejumlah SD yang ada di wilayahnya untuk membuat kegiatan gemar minum susu segar. ”Ya, anak-anak itu menabung tiap hari Rp500, jadi tiap minggu bisa menikmati susu yang menyehatkan,” terang Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Jakarta Timur periode 2009-2014 ini.
Lestarikan Budaya Betawi
Bagi pemilik sekitar 60 ekor sapi perah jenis Friesian Holstein (FH) ini, melanjutkan peternakan milik ayahnya dulu itu adalah semacam tugas mulia demi melestarikan budaya Betawi. “Beternak sapi perah ini warisan budaya masyarakat Betawi sejak masa Hindia Belanda dulu. Tak bisa dipisahkan dari budaya Betawi lainnya yang perlu dilestarikan. Ini juga tugas Pemda DKI sekarang ini,” tandasnya.
Ayah tiga anak ini masih ingat benar masa-masa kecilnya kala dulu ia biasa diminta sang ayah membantu memandikan sapi atau mencarikan rumput untuk pakan. “Saya cari rumput di Kuningan Timur, masih banyak sawah waktu itu. Membantu ayah saya yang cucu ulama besar Jakarta, Guru Mughni, yang pernah kirim surat ke Snouck Hurgronje minta dibangunkan mesjid. Sampai kini ada mesjidnya di Jalan Gatot Subroto,” kenangnya.
Dan sapi perah beserta susu yang dihasilkannya, bagi Rachmat, adalah sumber penghidupannya. Ia tumbuh remaja, bersekolah, kuliah, hingga berumah tangga juga berkat berjualan susu. Malah, saat kuliah, karena ia dikenal sebagai mahasiswa yang berjualan susu di kantin kampus, ia kerap dicandai temannya sebagai Rachmat Sapi. “Itulah sebabnya, saya pakai nama Baghory, artinya ya sapi juga.. ha.. ha.” ia tergelak mengenang saat studi di Jurusan Hukum Pidana Perdata Islam, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Gerakan Indonesia Putih
Untuk berusaha sebagai peternak sapi perah, ia menyarankan setidaknya calon peternak memiliki 10 sapi perah. “Dengan komposisi sapi yang laktasi 60%-70%, atau 6 atau 7 ekor. Yang 3 ekor lagi dara dengan kebuntingan 3, 6, 8 bulan. Nanti dia muter dengan yang laktasi,” katanya seraya menambahkan produksi minimal sebaiknya 10 liter per ekor, meski idealnya 15-20 liter.
Salah satu penyebab tak kondusifnya perkembangan industri sapi perah nasional, menurut Rachmat, adalah minimnya ilmu pada kebanyakan peternak, tak kreatif membuka pasar, minimnya tingkat konsumsi susu segar oleh masyarakat, serta kurang berminatnya investor menanam modal di bidang ini. Ia sendiri berusaha keras agar ada adiknya ada yang kuliah di bidang peternakan. Akhirnya, seorang adiknya berhasil menjadi sarjana peternakan IPB dan diserahinya tanggung jawab mengurus peternakan.
Agar industri sapi perah nasional berkembang, ia berharap pemerintah membangun sentra-sentra sapi perah di berbagai pelosok Tanah Air. Sebab, selama ini, ia melihat permintaan akan susu segar mulai tumbuh namun sulit memenuhinya karena lokasi penduduk yang tersebar. ”Kalau masyarakat Indonesia banyak yang pelihara sapi saya senang. Kenapa? Sebab, artinya masyarakat Indonesia bisa mengonsumsi susu murni dari keringat petani perah Indonesia!” tegasnya.
Itu sebabnya, ia juga memiliki semboyan yang terus diusungnya melalui Gerakan Indonesia Putih, yakni dari saung Cibugari akan tumbuh satu juta peternak sapi perah di seluruh Indonesia. ”Itulah cita-cita saya,” ucapnya menutup percakapan dengan AGRINA.
Syaiful Hakim