Kelak tren budidaya udang mengarah pada efisiensi dan daya saing melalui strategi peningkatan produktivitas dan nilai tambah berbasis ekonomi biru.
Sekarang ini masih banyak petambak yang hanya mengandalkan pengalaman dalam berbudidaya. Jadi, hasilnya tidak sesuai harapan. Bahkan, biaya produksinya makin meningkat dan berdampak buruk bagi lingkungan.
Situasi itu membuat Dr. Ir. Hasanuddin Atjo, MP, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (Kadis KP) Provinsi Sulawesi Tengah, prihatin. “Keterbatasan akses teknologi, trauma kegagalan, menyebabkan petambak pasrah dengan keadaan dan kurang termotivasi berkembang sesuai perubahan,” katanya.
Padahal, petambak seyogianya bisa lakukan hal itu, tinggal bagaimana membangun kemauan. “Sebab, petambak dituntut kreatif, berinovasi, dan bekerja keras tentu dengan memanfaatkan teknologi atau memodifikasi teknologi,” urai Atjo, demikian sapaan kepala dinas yang juga petambak udang vaname sukses di Buaka, Desa Kupa, Kec. Mallusetasi, Kab. Barru, Sulawesi Selatan, ini.
Inovasi
Atjo melakukan serangkaian percobaan sejak kuliah hingga bekerja untuk menemukan formula pas tentang tatacara budidaya yang efektif dengan hasil tinggi. Setelah benar-benar berhasil, ia lalu berusaha mencontohkan metode temuannya itu kepada masyarakat. “Pokoknya, jangan pernah berhenti berinovasi,” tegas pria yang menyelesaikan disertasinya tentang manajemen lingkungan di perbenihan dan pertambakan pada udang windu ini.
Inovasi temuan Ketua Shrimp Club Indonesia Sulawesi ini membuat orang nyaris tidak percaya. Budidaya yang dilakukannya sedikit nyeleneh. Sebab, dalam kolam bak semen ukuran 1.000 m2 ditebar 720 ribu ekor benur atau padat tebar 720 ekor/m2. Padahal belakangan ini padat tebar anjuran hanya 100 ekor/m2. “Intinya, udang dibuat nyaman dengan memelihara lingkungan budidaya dan airnya, oksigen dan pakan cukup. Inilah yang dilakukan dalam budidaya secara supra intensif,” jelas alumnus program S2 dan S3 di Fakultas Ilmu kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar, ini.
Rupanya padat tebar sebegitu tinggi masih belum cukup bagi Atjo. Pada siklus ke-6, di kolam yang sama setelah berbagai perbaikan, padat tebar kembali ditingkatkan menjadi 1.000 ekor/m2. Fantastis, panennya 15,3 ton udang atau 153 ton/ha. ”Menurut beberapa teman, melebihi panen udang di China dan Meksiko. Jadi, bukan suatu yang mustahil untuk dicapai,” ucapnya bangga.
Inovasi terus diupayakannya untuk mengumpulkan data time series kepadatan dan ukuran kolam (400 ekor m2 – 1.000 ekor m2 dan kolam 100 m2 - 1.600 m2). “Data ini untuk membuat simulasi rekomendasi kisaran padat tebar dan ukuran kolam yang berskala ekonomi serta tidak merusak lingkungan,” imbuhnya.
Inspirasi karena Penasaran
Model supra intensif tersebut, diakui Atjo, terinspirasi dari rasa penasaran karena teknologi yang ada belum bisa mendongkrak produksi. Pengalaman sebelumnya di hatchery udang lantas menjadi referensi mengutak-atik teknologi agar bisa dikembangkan di lahan lebih luas. “Teknologi ini membantu petambak mengontrol dan mengefisiensikan usaha yang digeluti,” ungkapnya.
Wakil Ketua Asosiasi Pembenihan Udang Sulawesi Selatan ini pun tak segan membagikan temuannya itu ke petambak lain setelah beberapa kali berhasil panen udang tanpa kendala besar. Memang, aplikasi inovasinya membutuhkan modal besar, tapi hasilnya sebanding. Kini sudah mulai banyak petambak yang meniru cara budidayanya.
Atjo merelakan tambaknya menjadi “laboratorium” penelitian dari pihak pemerintah dan kalangan masyarakat. “Pemerintah bisa memanfaatkan untuk penelitian sekaligus memberikan akses teknologi bagi petambak yang bisa diterapkan di wilayah Sulawesi dan daerah lain di Indonesia,” jelas pengurus Masyarakat Akuakultur Indonesia ini.
Mencermati rekam jejaknya kembali, Atjo mengakui sudah serius menggeluti budidaya udang sejak masih kuliah. Alumnus Jurusan Budidaya Perikanan IPB, Bogor, 1983 ini pun makin tertarik mengamati teknologi budidaya saat pulang kampung dan bekerja di balai benih milik pemerintah.
Meski ada fasilitas yang bisa dimanfaatkan, Atjo tetap saja melakukan pengembangan dan berinovasi di rumahnya. Kocek pribadinya pun harus dirogoh. Bahkan, menurut istrinya, Hj. Hurian Fatimah Hasanuddin, S.Pi., M.Si., mobil mereka juga sampai terjual waktu itu. Kendati kegagalan kerap menghampiri, tapi semangatnya tak kendur. “Saya ingin tahu bagaimana dampaknya jika terus dilakukan, dan mengetahui antisipasinya,” alasan ayah dari Rezan Achmad, Dewi Nurul Sakinah, Rama Rhamzani, dan Devi Nurul Halizah ini.
Harus Produktif
Pria kelahiran Poso, Sulawesi Tengah, 14 Mei 1960, ini berkarakter pantang menyerah. "Kita harus kerja keras, cerdas, selalu berinovasi, ikhlas, dan jujur," tegas anak pasangan H. Atjo Abdul Fattah (alm) dan HJ. Andi Dewi Balana (alm) ini.
Dalam menjalani hidup, ia tak mau bergantung kepada orang lain. “Kita harus mandiri, agar tetap eksis dan produktif. Semuanya harus dibangun dan kita ciptakan,” ucap Atjo serius. Untuk itu, sebagai pegawai pemerintah, ia bertekad harus bisa menjadi yang terbaik dan mampu memberikan contoh nyata kepada rekan sejawat dan bawahan serta warga masyarakat. “Jika tidak, mana ada yang percaya,” tukas pria yang suka googling ini.
Ia selalu mengajak pegawai di kantornya mengerjakan hal-hal sederhana sesuai rencana. Upayanya juga dilakukan bersama segenap stafnya guna menelurkan inovasi baru, termasuk mereplikasi tambaknya. Misalnya, uji coba budidaya di lahan 158 m2 yang mampu menghasilkan 2.066 kg udang.
Meski mengakui masih banyak impiannya terkait pengembangan bidang perikanan belum terwujud, Atjo tak pelit ilmu. Ia berbagi kunci sukses budidayanya kepada siapa saja. “Ibarat aki (baterai) kendaraan yang terus melepas energi guna menggerakkan sistem, aki tetap terisi energi listrik lagi,” ujar pria yang berprinsip tak mau menyia-siakan waktunya ini. Jadi, tak perlu takut menunjukkan semua teknologi yang kita tahu karena akan datang inspirasi yang lebih dahsyat lagi.
Pada akhir perbincangan dengan AGRINA bulan silam, Atjo menambahkan, jika negeri ini mau maju, aparatur negara dan pelaku usaha harus memiliki dua kapasitas, yakni sebagai transformator dan perancang skenario bisnis. Jadi, aparatur negara bisa menangkap fenomena dan realita untuk dituangkan dalam perencanaan. Sedangkan pelaku usaha harus berimprovisasi mengikuti perubahan karena sesuatu yang pasti di dunia ini hanyalah perubahan.
Tri Mardi Rasa