Industri peternakan, khususnya unggas, termasuk industri paling komplet di Indonesia. Rantainya terbentuk sempurna dari hulu hingga ke hilir. Kemajuannya dicapai minim bantuan pemerintah. Salah satu pemicu kemajuannya adalah pameran. Pameran bidang peternakan di dunia cukup banyak dan sudah ternama. Sebut saja SPACE di Rennes, Perancis, yang digelar setahun sekali. VIV yang dipentaskan dua tahun sekali di suatu negara. Belum lagi Ildex yang membawa ahli dan teknologi dari luar negeri untuk kemajuan industri di negara penyelenggara.
VIV yang berbasis di Utrecht, Belanda, berkembang sejak 30 tahun silam. Kini penyelenggaranya, VNU Exhibitions menggandeng mitra lokal di Rusia, Turki, Thailand, India, dan China menggelar event dua tahunan itu. Di kawasan Asia, VIV menangguk sukses besar terutama di Bangkok, Thailand. Mengusung konsep feed to meat, penyelenggara berhasil mendapatkan dukungan pemerintah setempat dan industri dari hulu hingga ke hilir. Event ini sudah mampu merebut hati kalangan pelaku bisnis terkait di Asia Pasifik, sehingga menjadi gelaran yang wajib mereka hadiri. Tak mengherankan bila kali terakhir VIV Asia 2013 lalu diramaikan 700 perusahaan dari 48 negara dan dihadiri hampir 30 ribu pengunjung dari 101 negara.
Mengapa penyelenggara bisa sesukses itu? Pastinya itu karena masing-masing pihak merasakan keuntungan berpartisipasi dalam gelaran internasional tersebut. Perusahaan pemasok sarana produksi peternakan dapat meraih respons sesuai target. Sementara peternak atau industri peternakan bisa memperbarui pengetahuan dan alat/mesin dengan yang terkini.
Di Indonesia ada dua pameran peternakan. Indolivestock yang tahun ini sudah berlangsung delapan kali. Formatnya mirip pameran di Bangkok itu, hanya saja skalanya jauh lebih kecil. Di antara para peserta pameran asing telah biasa berpartisipasi di Thailand. Lalu 3-5 Oktober lalu pemangku kepentingan industri peternakan dan masyarakat di Tanah Air mulai dapat menikmati Ildex Indonesia 2013 untuk kali pertama. Yang membedakannya dengan Indolivestock adalah stan-stan yang memamerkan ternak hidup. VNU Exhibitions Asia Pacific menggandeng mitra lokal di Indonesia mengusung konsep trade show, edu show, dan consumer show.
Melalui ajang kedua inilah para pemangku kepentingan berharap dapat mencapai target masing-masing. Edukasi pentingnya konsumsi protein hewani bagi masyarakat akan mendongkrak konsumsi per kapita yang memang masih rendah. Sebut saja konsumsi daging ayam baru sekitar 7,6 kg/kapita/tahun. Masyarakat kemudian diajak menikmati aneka produk protein hewani. Mereka juga bisa mengetahui bagaimana produk-produk tersebut dihasilkan. Sementara para pemasok teknologi produksi hingga pascapanen ternak dapat mengenalkan produk andalan mereka kepada para calon pengguna. Pengguna ini akan memperoleh teknologi yang efisien sehingga kelak produknya cukup kompetitif.
Dalam pandangan internasional, menurut Ladda Mongkolchaivivat, General Manager VNU Exhibitions Asia Pacific, Indonesia itu pasar yang sangat besar, 250 juta jiwa. “Kalau Anda dapat meningkatkan 5%-10% saja konsumsi daging ayam, itu perlu jumlah produk yang besar. Untuk para pebisnis internasional, mereka bisa membawa masuk keahlian dan teknologi guna membantu Anda menekan biaya produksi dan meningkatkan hasil. Inilah yang saya bilang, win-win situation. Konsumen makan lebih banyak ayam, peternak memperoleh pendapatan lebih banyak, juga pemasok dapat menjual produk mereka,” kata Ladda.
Pernyataan Ladda paling tidak terlihat dari langkah Alltech Biotechnology Indonesia. Perusahaan imbuhan pakan ini mempromosikan penggunaan produk penyerap mikotoksin (penyerap racun cendawan). Pasalnya, mikotoksin dapat mengancam kesehatan ternak, sekaligus kesejahteraan si peternak. Karena itu Hery Santoso, Business Manager, mengatakan, perusahaan tersebut tengah mengembangkan produk yang merupakan solusi di level peternak, bukan hanya melayani pabrikan pakan.
Kalangan pemerintah, yaitu Badan Litbang Pertanian, memanfaatkan pameran ini untuk merintis salah satu jalan keluar dari kekurangan sapi potong dengan menggelar seminar integrasi sapi-sawit. Bila potensi pakan di kebun sawit dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi pengembangan sapi, bisa diharapkan populasi sapi nasional akan bertambah karena biaya pengembangannya lebih terjangkau. Impor pun tak banyak-banyak masuk sehingga peternak lokal dapat menikmati harga yang baik.
Pun kalangan industri yang memproduksi daging ayam, telur, juga olahannya menggunakan kesempatan ini untuk mengenalkan produknya kepada pengunjung pameran, baik masyarakat umum maupun pelaku bisnis yang lain. Mereka berharap, permintaan produk protein hewani akan terkerek oleh meningkatnya kesadaran masyarakat tentang gizi. Pada level nasional, pertambahan permintaan terhadap produk ini diharapkan dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri, bukan mengandalkan impor. Walhasil, peternak dan industri peternakan senang, masyarakat pun kenyang. Yuk, kita kembangkan pameran atau promosi yang masif agar ketahanan pangan kita semakin kuat.
Peni Sari Palupi