Minggu, 25 Agustus 2013

Sehat Ebenheizer Ginting, S.Ph.D. Berdayakan Masyarakat dengan Bertani

Keprihatinan melihat kehidupan masyarakat desa di pinggiran Kabupaten Garut, Jawa Barat, semakin membuatnya cinta akan dunia agribisnis.

Kegemarannya ber-hiking mengantar Ginting, sapaan akrab Sehat Ebenheizer Ginting S., seringkali melongok masyarakat di Desa Cikarag, Cigondok, Malangbong, Garut. Ia sangat prihatin melihat kehidupan para penebang kayu di hutan milik perhutani dan penambang batu kolin. Beberapa wanita penambang terkena sakit tulang dan juga jatuh terpeleset karena keberatan memanggul batu kolin ketika turun dari gunung.

Di kalangan penebang kayu, ada istilah konimah, yaitu kalau mengambil milik pemerintah untuk kehidupan rakyat itu halal. “Padahal itu tidak benar. Dari situlah saya coba memodali mereka,” cerita pensiunan Koordinator Kopertis Wilayah IV ini.

Kondisi tersebut membulatkan tekadnya untuk menyejahterakan masyarakat melalui usaha di bidang pertanian. ”Saya coba manfaatkan tanah saya yang tidak seberapa untuk mereka tanami cabai,” jelas Ginting.

Mulai lima tahun lalu, ia membuat proyek percontohan dengan mengajak 10 kepala keluarga untuk beralih profesi menjadi petani cabai. Tiap kepala keluarga dipinjaminya modal sebesar Rp2 juta. “Yang tidak punya lahan, menggunakan tanah saya dulu,” lanjut dia. Pokoknya, tambah pria kelahiran Medan ini, mereka harus bisa hidup dari pertanian dan usaha sendiri.  Pola budidaya mereka dapatkan dari melihat pengalaman petani di luar desanya.

Ibarat mendapat durian runtuh, saat panen harga cabai tinggi sekitar Rp40 ribu/kg di tingkat petani, sedangkan di pasar mencapai Rp65 ribu/kg. Padahal, harga pokok produksi hanya Rp4.000/kg. ”Mereka untung,” tandas Mantan Dosen Program Pendidikan Administrasi Akuntansi, Universitas Padjajaran.

Ajarkan Hitungan Ekonomi Pertanian

Petani pun senang dengan hasil penjualan cabai mereka. Pinjaman modal mereka kembalikan secara tunai. Sisa uang, mereka gunakan untuk modal tanam berikutnya juga melebarkan usaha dengan menyewa lahan lagi. Mereka pun mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menabung untuk membangun rumah. Semangat menanam cabai kian membara.

”Saya juga ajari petani untuk tidak ikut-ikutan menanam komoditas yang sedang ramai ditanam. Petani harus pandai melihat kondisi komoditas di pasar khususnya cabai. Jangan sampai komoditas yang ditanam membanjiri pasar sehingga akhirnya harga anjlok. Untuk itu, petani tidak hanya sekadar bertani dan tanam, tapi saya juga mengajarkan mereka melihat dan memperhatikan permintaan pasar. Kecuali kalau kita sudah punya pasar yang jelas dan permintaannya rutin. Itu berbeda,” ungkap Direktur Sekolah Tinggi Ekonomi Harapan Bangsa (Harapan Bangsa Business School-HBBS) di Bandung ini.

Selain itu, Ginting menyarankan rotasi tanaman dengan komoditas yang banyak dibutuhkan masyarakat, seperti sawi, tomat, dan kol. Alasannya, ketika musim kemarau di daerah tersebut tidak ada air dan hanya mengandalkan air hujan. Padahal tanaman cabai tetap butuh air dalam budidayanya.

Suami Dahlia Ketaren ini lalu memutar otak. Akhirnya ia bersama masyarakat menyalurkan air dari mata air di gunung ke lahan pertanian menggunakan bambu. Ia juga membuka akses jalan sepanjang dua kilometer agar petani bisa lebih mudah membawa hasil panen ke bawah dengan motor. Tidak berhenti sampai di situ. Berbekal latar belakang pendidikannya, Ginting pun membuat petani melek hitungan tentang bisnis pertanian mereka.

Sedikit mengilasbalik upayanya mengajak masyarakat untuk berkembang, Ginting berbincang pula dengan tokoh agama di desa tersebut. ”Saya nasrani dan mereka muslim. Awalnya ada keraguan, tapi ternyata mereka bisa menerima saya dengan baik,” kata pensiunan dosen Universitas Padjajaran ini.

Kini ia ingin petani bisa mendapatkan akses pasar yang baik dan memperoleh sentuhan teknologi dalam budidaya. “Mereka antusias sekali bila diajarkan cara meningkatkan hasil. Mereka akan ikuti dan taati aturan budidaya itu. Sentuhan teknologi ini agar petani bisa lebih efisien dan ekonomis dalam penerapan pola budidayanya. Ini yang membuat saya senang,” aku bapak dua anak ini.

Layaknya seorang guru yang senang melihat muridnya pintar dan berhasil. “Yah, mereka sangat senang bila ada pengetahuan baru. Tidak hanya petani, saya saja yang bukan ahli di bidang pertanian sangat tertarik,” komentarnya.

Siap Sejak Jelang Pensiun

Ketertarikan kakek empat cucu ini pada dunia agribisnis tidak terjadi begitu saja. Dia menyimpan keinginan untuk menekuni usaha pertanian sejak 15 tahun silam. “Saya sudah siap dari dulu. Setelah pensiun (2012) saya harus jadi petani karena pertanian ini prospektif. Orang butuh makanan dan makanan adalah hasil dari pertanian,” katanya

Untuk membeli tanah, Ginting terpaksa meminjam uang dari tempatnya mengajar. “Ketika saya pinjam uang, saya dibilang konsumtif. Padahal uang pinjaman itu saya belikan tanah untuk bekal pensiun,” kenangnya. Sekarang, lahan milik Ginting cukup luas, sekitar 30 ha. Sebagian ditanami albasia, kopi, jahe, cabai, tomat, dan komoditas hortikultura lain. Sebagian lainnya digarap petani dengan sistem pinjam lahan.

Terkait persiapan pensiunnya, ia teringat nasihat orangtuanya yang meminta jangan lupa mempersiapkan masa pensiun. “Benar juga. Kekuatan kita menurun, income menurun, kebutuhan makin banyak. Ini salah satu yang perlu dicerahkan untuk masyarakat, tidak hanya pegawai negeri saja,” ungkap pria yang masih mengajar di Program S1 HBBS. 

Sekarang Ginting tinggal menunggu hasil jerih payah yang sejak lama dipersiapkannya sembari memberdayakan ekonomi masyarakat setempat. Hari tua yang sungguh menyenangkan.

Tri Mardi Rasa

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain