Minggu, 21 Juli 2013

Adhi Widjaja Berharap dari “Empu” Kedelai

Ketika rata-rata produktivitas kedelai nasional baru mencapai 1,4 ton/ha, petani di Grobogan, Jateng, justru sudah menikmati rata-rata produktivitas dua kali lipatnya.

Tahun ini pemerintah membidik target produksi kedelai sebanyak 1,5 juta ton, tetapi Angka Ramalan I Badan Pusat Statistik 2013 menyatakan produksi hanya 800 ribu ton. Sebenarnya, bisakah kedelai tumbuh dengan baik di Indonesia?

Jika pertanyaan itu diajukan kepada Adhi Widjaja, pria 41 tahun ini akan dengan tegas menjawab, bisa! “Tinggal bagaimana upayanya. Potensinya besar. Kabupaten Grobogan saja produktivitas rata-ratanya sudah 2,4 ton/ha,” ujar Direktur Budi Mixed Farming (BMF), Purwodadi, saat dijumpai AGRINA.

Teknologi Sang Ayah

Adhi mengungkapkan, apa yang dikelolanya saat ini merupakan rintisan dari sang ayah, Tjandramukti. Lulus dari Fakultas Peternakan IPB pada 1970-an, Tjandra berniat mengembangkan peternakan yang diwariskan keluarganya. Sayang, teori yang didapatkannya dari bangku kuliah tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan.

“Dasarnya peneliti, ayah saya melihat apa yang dimakan sapi itu ‘kan produk pertanian. Ternyata ini yang menjadi masalah. Ini yang membuat beliau ngeliat ke pertanian,” kisah pria yang mendampingi ayahnya sejak 2003 ini.

Sang ayah menyimpulkan, tanaman di Indonesia banyak yang berasal dari daerah subtropis. Karena itu, dibutuhkan adaptasi yang sangat baik supaya seproduktif di tempat asalnya. Peningkatan daya adaptasi inilah yang kemudian dikembangkan oleh almarhum Tjandra.

Menggandeng Kelompok Tani Kabul Lestari di Desa Panunggalan, Kec. Pulokulon, Grobogan, Tjandra berhasil menemukan varietas kedelai lokal dengan nama kedelai grobogan. Produktivitas mencapai 3,4 ton/ha, bahkan potensinya bisa sampai 4 ton/ha.

Dengan hasil tersebut, pada 2007, kelompok tani tersebut meraih juara nasional Kelompok Tani Agribisnis Kedelai. Tidak hanya itu, hasil kerja keras Tjandra membuat kedelai grobogan diakui menjadi varietas unggul nasional pada 2008. Sayang beribu sayang, hasil ini tidak menjadikan kedelai grobogan dikembangkan semakin luas. “Banyak orang yang menggembar-gemborkan kalau kedelai grobogan itu hanya bagus di Grobogan, dan hanya di titik Desa Panunggalan saja. Itu kebohongan besar!” tukas sang empu kedelai ini dengan geram.

Adaptif

Peraih gelar Master dari Food Science & Technology, Victoria University, Melbourne, Australia, ini, menegaskan, budidaya kedelai bukan hanya masalah benih unggul. “Teknologi yang digunakan pun harus tepat. Itulah sebabnya kenapa kedelai grobogan tidak optimal jika ditanam di luar Grobogan. Padahal kedelai grobogan itu mempunyai daya adaptasi yang tinggi. Mereka tidak mengaplikasikan teknologi yang kami kembangkan,” tegasnya.

Teknologi seperti apa? “Simpelnya, apa yang kami lakukan adalah membuat formulasi supaya faktor-faktor pembatas di daerah tropis itu bisa terpecahkan. Faktor-faktor pembatas inilah yang kami patahkan,” tutur suami Sandra Dewi Nurhayati ini.

Teknologi temuan Tjandra tersebut berupa starter Rhizobium, kompos, dan pupuk cair. Ini diakui Adhi meningkatkan daya dukung tanah terhadap kedelai, bahkan memunculkan akibat yang tidak terduga, seperti tidak adanya gulma pada lahan. Starter Rhizobium meningkatkan aktivitas Rhizobium di sekitar perakaran kedelai. Komposnya mengoptimalkan perombakan bahan organik dalam tanah. Sementara pupuk cairnya berfungsi dalam mengoptimalkan potensi unggul tanaman.

“Kita bikin tanaman jadi ideal, mengoptimalkan potensi yang ada. Kami nggak pernah ngerti ya, kedelai grobogan itu menurut Balitkabi (Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian) tidak bercabang. Padahal, mereka adaptasi hasilnya dari sini. Sementara kami kalau tanam kedelai selalu bercabang, seperti kebanyakan kedelai daerah tropis. Ini yang ideal,” papar lelaki asli Purwodadi ini. Tidak hanya itu, untuk mencapai swasembada, persiapan pembenihan hingga petani penangkar yang cakap menjadi dua hal penting dipertimbangkan.

Teknologi budidaya kedelai khas tersebut mengantarkan bapak kelahiran 7 Juli 1962 ini menjadi pemenang kedua Mandiri Young Technopreuneur 2012 dari kategori Pangan dan Pertanian yang digelar Bank Mandiri. Harapan terhadap pengembangan teknologi budidaya kedelai secara luas pun mulai terbuka.

“Dari Bank Mandiri ini kita dapat proyek Rp1 miliar yang akan kita bikin untuk pembinaan petani dengan lahan seluas 1.100 ha. Kita bikin mereka jago supaya mereka siap menjadi penangkar benih. Penangkar benih ‘kan sebenarnya petani dengan kemampuan enterpreuneur yang bagus. Kita akan bikin kemampuan agronomisnya bagus hingga pada suatu titik dia akan punya kemampuan enterpreuneur yang bagus,” jelasnya penuh semangat menyudahi perbincangan.

Renda Diennazola

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain