Kebutuhan jagung bagi pangan, pakan ternak, dan industri tak terelakkan lagi telah mengharuskan pelaku bisnis dan pengambil kebijakan segera mengambil tindakan. Situasi terkini menunjukkan industri pakan ternak, misalnya, mesti mengimpor 1,5 juta ton hingga 2 juta ton tiap tahun. Kebutuhan yang tinggi dari industri pakan ternak akan jagung itu disebabkan sekitar 51% bahan baku pakan ternak adalah jagung.
Memang, data produksi dalam negeri selalu memperlihatkan produksi jagung mampu mengatasi kebutuhan. Namun, kenyataannya, para pelaku industri kerap berkeluh kesah, “Tapi, jagungnya di mana?” Dan impor pun menjadi jalan keluar. Pemerintah beralasan, antara lain, jarak antara sentra produksi jagung dan pabrik pakan letaknya berjauhan sehingga sulit mempertemukan antara suplai dan permintaan tadi. Terlebih, negeri ini terdiri dari rangkaian pulau demi pulau yang memerlukan sistem distribusi dan transportasi yang efisien agar supply dan demand tadi bisa tersambung sesuai kaidah ekonomi, yang artinya mampu menghasilkan keuntungan bagi kedua pihak, petani jagung dan pelaku industri.
Persoalan klasiknya, tentu, adalah infrastruktur. Mengangkut jagung dari satu tempat di Tanah Air ke sebuah pabrik pakan yang berada di pulau lain ternyata bisa jauh lebih mahal ketimbang mengimpornya. Tak hanya soal biaya, akibat infrastruktur yang tak memadai tadi kualitas jagung pun jauh menurun, bahkan bisa tak bermanfaat sama sekali alias menjadi sampah.
Itulah sebabnya ide mewujudkan corn belt atau mungkin lebih tepatnya corn island mengingat wilayah kita berupa kepulauan, semakin mencuat. Tujuannya, untuk menjamin ketersediaan jagung bagi industri pakan ternak. Untuk tujuan itu, perlu diwujudkan kawasan yang khusus di pulau-pulau tertentu buat memproduksi jagung. Hal semacam ini telah dilakukan industri gula tebu melalui penyediaan lahan minimal buat ditanami tebu.
Pelaksanaannya sendiri lewat contract farming antara industri dengan koperasi, kelompok tani, atau pemda. Kontrak itu meliputi jaminan produksi, jaminan harga, dan jaminan kualitas. Diharapkan, pihak industri ikut membina peserta contract farming, baik secara langsung maupun melalui pihak ketiga. Pengelolaan jagung pada sebuah kawasan corn island harus dilaksanakan secara terpadu, baik di hulu maupun di hilir.
Fadel Muhammad, Ketua Umum Dewan Jagung Nasional dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, meyakini corn island bakal membuat industri jagung nasional lebih efisien sehingga daya saingnya meningkat. Selain itu, stakeholder pun lebih mudah melakukan bisnis. Bahkan, perkembangan peralatan serta mesin industri jagung juga akan maju lebih pesat.
Pengembangan corn island, menurut Fadel yang saat menjabat gubernur tercatat sukses menjadikan Provinsi Gorontalo sebagai provinsi penghasil jagung, perlu diselaraskan dengan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3I). Antar-pemerintahan di wilayah corn island juga harus membikin master plan bersama. Demikian pula, investasi harus ditanggung bersama antarpemda yang berada dalam satu kawasan corn island.
Di samping itu, pastilah diperlukan pengaturan pola tanam dan panen bersama. Termasuk, penetapan harga regional corn island. Juga pembangunan infrastruktur yang harus diselaraskan antarpemda guna mendukung corn island tersebut. Dan tentu saja dukungan kebijakan pemerintah pusat, seperti kemudahan berinvestasi, penyediaan kredit, dan kemudahan mendapatkan lahan.
Pemerintah, seperti ditegaskan Menteri Pertanian Suswono, pun melihat jagung sebagai komoditas ekonomi yang penting. Budidaya jagung sudah menjadi sumber penghidupan bagi 6,7 juta keluarga petani. Selain itu, budidaya jagung juga membangkitkan efek berganda pada sektor pendukung sejak dari penyediaan sarana produksi (benih, pupuk, pestisida), perdagangan dan pemasaran, yang diperkirakan melibatkan lebih dari lima juta rumah tangga.
Pengembangan corn island untuk pakan ternak, diakui Menteri Pertanian, memang bisa menjadi salah satu langkah mempertemukan ketaksesuaian antara produksi jagung dan kebutuhan industri pakan ternak. Namun, diperlukan dukungan infrastruktur yang baik dan sinergitas antara pemerintah, baik pusat maupun daerah, pelaku usaha tani jagung, produsen sarana, pedagang dan industri pakan untuk menjadikan hal itu sukses.
Dorongan untuk menggunakan jagung hasil rekayasa transgenik juga kian mengemuka dalam upaya mengatrol produksi jagung dalam negeri. Memang, untuk langkah yang satu ini prosesnya masih agak panjang, kendati sejak dua tahun lalu telah keluar Permentan No. 61 Tahun 2011 tentang Pengujian, Penilaian, Pelepasan, dan Penarikan Varietas yang bisa memberi jalan bagi penerapan teknologi rekayasa genetika itu di Tanah Air. Proses panjang itu tentu terkait uji keamanan pangan, keamanan pakan, dan keamanan lingkungan.
Sejumlah ide peningkatan produksi memang telah terlontar. Namun, berbagai pihak juga makin mendesak agar pelaksanaan, alias tindakan nyata, yang kini harus jadi pilihan utama. Ditimbang-timbang, desakan itu rasanya benar juga.
Syaiful Hakim