Jadi juru runding antarnegara negara tak gampang. Tapi, berkat kepiawaiannya berdiplomasi, perempuan ini pernah dipercaya jadi Duta Besar Indonesia untuk WTO.
Hubungan perdagangan internasional sarat dengan kepentingan masing-masing negara. Terlebih jika terkait perdagangan bilateral dua negara, tentu kedua belah pihak memiliki kepentingan sendiri-sendiri yang harus bisa dipertemukan. Hubungan dagang Indonesia dengan negara lain misalnya, harus membuat kedua negara bisa sama-sama mendapatkan keuntungan.
“Memang ada yang harus kita perhatikan, seperti menjaga hubungan baik dengan negara lain, namun jangan lupakan keuntungan timbal balik yang harus didapat. Masalahnya, apakah negara lain itu juga mempertimbangkan kepentingan kita?” ujar Halida Miljani, mantan Duta Besar RI untuk World Trade Organization (WTO) di Jenewa, Swiss, periode 1997-2002.
Kepentingan Negara
Dalam berbagai perundingan internasional ia dikenal “ngotot” jika sudah terkait kepentingan timbal balik yang harus didapat Indonesia. Tapi, sebagai seorang perempuan, ia juga dinilai kadang dipengaruhi emosi ketimbang seorang juru runding pria. Akibatnya, “Sampai-sampai, pernah ada delegasi dagang negara lain yang lebih dulu mencari tahu mengenai suasana hati alias mood saya saat akan melakukan perundingan,” ujarnya sambil tertawa ketika berbincang dengan AGRINA di Jakarta awal Juni ini.
Terkait hubungan dagang dengan negara lain, tambah Halida, jika kita hendak memperjuangkan kepentingan petani dalam negeri, yang penting adalah alasan yang kita ajukan. “Kadang, kelemahan kita pada kemampuan berdiplomasi. Kita tidak bisa hanya mengatakan, pokoknya tak bisa masuk ke Indonesia! Harus dijelaskan alasan dan tujuannya. Apa saja dampaknya. Dan produk yang kita bela kepentingannya itu tentu yang bisa dihasilkan di negeri kita,” kata alumnus Jurusan Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Unair Surabaya, 1976, ini.
Perempuan kelahiran Banjarmasin, Kalsel, ini pun melihat produk-produk Indonesia masih belum mampu bersaing dengan produk negara lain. Di bidang hortikultura, misalnya, buah-buahan dari negara lain demikian mendominasi pasar dalam negeri. Padahal, “Kita boleh kok meminta penundaan importasi dari negara lain dengan alasan produk tersebut sedang masa panen sehingga tak mengganggu harga (lokal). Tapi, selama masa penundaan itu kita harus meningkatkan kualitas produk,” lanjut Ketua Komite Anti Dumping Indonesia 2007–2010.
Produk asing juga demikian mudah menguasai pasar dalam negeri karena masyarakat kita masih mementingkan harga ketimbang kualitas. Jadi, jika produk dari luar negeri dijual murah, tak peduli kualitasnya, produk itu yang akan dipilih konsumen Indonesia. Memang, sudah ada yang mementingkan kualitas di kalangan masyarakat Indonesia, tetapi persentasenya masih kecil. “Akibat berorientasi pada harga murah inilah negara lain itu mudah sekali memasarkan produknya di negara kita,” jelas ibu dua anak ini prihatin.
Daya Saing
Upaya meningkatkan daya saing produk Indonesia menjadi salah satu perhatiannya. Semua instansi pemerintah terkait, menurut Halida, harus fokus pada upaya peningkatan daya saing produk ini. “Tentu, banyak yang harus diperbaiki. Seperti persoalan infrastruktur dan transportasi. Lihat saja, mengangkut sapi dari NTT (Nusa Tenggara Timur) jauh lebih mahal ketimbang impor dari Australia. Belum lagi soal bunga perbankan,” urainya.
Apalagi, konsumen di luar negeri sangat memperhatikan kualitas produk. Di negara-negara Eropa, misalnya, konsumen tak hanya melihat pada kualitas produk, namun sudah mengaitkannya pada persoalan lingkungan hidup saat produk dibuat. “Jadi perdagangan internasional tak sesimpel yang kita bayangkan. Banyak regulasi dan aturan dari negara-negara lain yang harus kita patuhi,” tuturnya.
Namun, pengusaha Indonesia tak perlu berkecil hati. Ia juga mengingatkan betapa sangat besar potensi pasar domestik Indonesia sendiri. Jadi, jika belum mampu masuk ke perdagangan internasional, tak ada salahnya pengusaha kita berkonsentrasi ke pasar lokal. “Negara lain sangat mengincar pasar kita kok, aneh jika kita tak memperhatikan pasar dalam negeri,” tandasnya.
Dulu, lantaran kepiawaiannya berdiplomasi, ia kerap dianggap berasal dari Kementerian Luar Negeri. Padahal, ia adalah pegawai Kementerian Perdagangan. “Sebenarnya, kemampuan berdiplomasi ini saya dapatkan secara otodidak. Belajar ‘kan tak harus formal. Saat saya junior, saya sering ikut atasan-atasan saya melakukan perundingan. Tatkala tiba giliran saya, saya sudah terlatih,” tutur Halida tentang kemampuannya memimpin perundingan dagang antar-negara.
Nasib Anak Bangsa
Mengenai semangat nasionalisme yang tinggi saat memperjuangkan kepentingan Indonesia, Halida menjelaskan itu lantaran ia melihat sebagian besar anak bangsa ini masih tertinggal kesejahteraannya. Masih banyak rakyat negeri ini yang harus dibantu. “Tapi, bagaimana saya bisa menolong mereka? Setidaknya melalui pekerjaan saya,” tandas Staf Khusus Menteri Perdagangan 2005 -2011 ini.
Ia memang memandang setiap tugas yang diberikan kepadanya sebagai suatu amanah. “Jadi, saat saya ditugaskan melindungi industri dalam negeri, saya pun memperjuangkannya habis-habisan. Mengapa? Karena banyak buruh yang kehidupannya bergantung di sana,” tegasnya.
Dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari, ia selalu berupaya agar setiap tugas yang diberikan kepadanya bisa diselesaikan dengan cepat dan sebaik mungkin. Jika suatu pekerjaan cepat selesai, tentu ia bisa mengerjakan yang lain lagi. “Saya sebenarnya pembosan, jadi tak bisa diminta memikirkan suatu hal terus-menerus, makanya suatu pekerjaan berusaha saya selesaikan secepatnya,” aku perempuan yang dulu gemar bermain bowling ini.
Bila pekerjaannya telah selesai, ia pun bisa segera menikmati hobinya, yakni membaca dan menulis, melukis, menonton film, atau mendekorasi. Dulu, sebelum disibukkan urusan perdagangan internasional, ia juga sering menulis untuk satu majalah wanita terkemuka. Hari Sabtu dan Minggunya juga selalu diperuntukkannya bagi keluarga dan pribadi, tak ingin terganggu urusan kantor.
Memandang jejak langkahnya, Halida cukup merasa puas. “Saya telah berupaya berbuat sebaik mungkin. Soalnya, saya paling takut jika kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia keliru lantaran saran saya,” tutupnya.
Syaiful Hakim, Peni Sari Palupi