Minggu, 9 Juni 2013

Saatnya Introspeksi Diri

Pasar Indonesia ini sungguh seksi. Sudahlah penduduknya 240 juta jiwa lebih, pertumbuhan ekonominya pun di atas rata-rata dunia. Siapa tidak ngiler melihat kekinclongan pasar Indonesia yang kelas menengahnya diprediksi tumbuh terus sampai 135 juta jiwa pada 2030. Mereka yang berdaya beli kuat ini ikut membuka peluang pasar dengan nilai US$1,8 triliun.

Produk apa saja nyaris punya kesempatan menikmati pasar kita. Mulai dari kebutuhan primer seperti pangan, sandang, papan, kemudian barang kebutuhan sekunder seperti elektronik. Bahkan, posisi produk seperti ponsel, beserta pulsanya, sudah berubah mendekati kebutuhan primer. Perangkat komunikasi ini bukan lagi monopoli kelas menengah atas, melainkan rakyat kebanyakan pun, terutama di perkotaan, juga membutuhkannya.

Di antara produk tersebut, pangan tentu saja termasuk yang besar. Sekarang saja impor pangan Indonesia mencapai triliunan rupiah, apalagi kelak ketika jumlah penduduknya sampai 286 juta jiwa. Nilai impor ini akan makin bengkak kalau pemerintah dan masyarakat tidak berupaya lebih keras menggenjot produksi untuk menyediakan pangan bagi seluruh warga.

Dalam era perdagangan yang kian terbuka, peningkatan produksi saja tak cukup. Kita juga semakin dituntut membuat produk yang berdaya saing tinggi dalam harga dan kualitas.  Tanpa daya saing, kita hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri karena pasar kita dikuasai produk asing. Sebelum semua komoditas pangan kita telanjur dikangkangi negara lain, kita sebaiknya segera bangun dari tidur yang panjang ini.

Dalam soal pasokan daging misalnya, produksi daging sapi masih jauh dari cukup. Kita masih menambal kebutuhan dari Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Kanada berupa sapi bakalan dan daging beku. Sementara terkait daging ayam, bolehlah kita bangga mampu memenuhi kebutuhan secara mandiri, meskipun komponennya banyak yang masih impor.

Kendati kita telah mandiri dalam memasok daging ayam, konsumsi per kapita kita tergolong masih rendah, baru sekitar 7 kg/orang/tahun. Inilah yang jadi incaran eksportir daging ayam di dunia. Dua tahun lagi, pintu Masyarakat Ekonomi ASEAN akan terbuka. Tak usah jauh-jauh, Thailand, yang sudah sejak lama mengekspor produknya ke berbagai negara dengan daging ayam halalnya, bisa saja ikut menggarap Indonesia. Produk Malaysia pun, yang biasanya menyambangi kawasan sekitar Riau dan perbatasan Entikong, Kalimantan Barat, dapat meluaskan pemasarannya ke kawasan lain.

Lebih jauh lagi, tentu tak bisa meniadakan potensi Amerika Serikat dan Brasil yang sudah lama mengincar dengan produk-produk berdaya saing tinggi. Keduanya eksportir utama produk ayam dunia. Amerika berhasrat memenuhi kebutuhan daging ayam, khususnya dalam bentuk paha utuh, yang di pasar domestiknya hanyalah pilihan kedua. Jadi, harganya cukup miring. Brasil, seperti dikatakan Gordon Butland, konsultan industri unggas internasional ternama, memproduksi ayam untuk diekspor sehingga daya saingnya jangan ditanya, pasti kuat. Tahun lalu saja Negeri Samba ini mengekspor sampai 4 juta ton ke lebih dari 100 negara tujuan.

Sejak tahun 2000 hingga sekarang, produk dua negara terakhir tersebut tidak masuk ke Indonesia. Pasalnya, kita mensyaratkan produk ayam itu harus ASUH alias aman, sehat, utuh, dan halal. Unsur terakhirlah yang masih berat mereka penuhi. Memang, kita minta peninjauan menyeluruh (overall review) terhadap semua rumah potong unggas (RPU) di sana untuk menjamin produk yang masuk ke sini benar-benar halal. Tujuannya jelas melindungi kepentingan konsumen yang mayoritas muslim dari kemungkinan terkonsumsi produk nonhalal.

Halida Miljani, Dubes Indonesia untuk WTO 1997-2002 yang kini membantu Kementerian Pertanian, menegaskan Indonesia tidak melarang masuk produk ayam bila memang memenuhi syarat tadi. Persyaratan ASUH itu juga berlaku bagi produk dari dalam negeri. Kalaupun akhirnya secara alami produk asing tak bisa masuk, apa boleh buat. Produk domestik pun secara tidak langsung menjadi terproteksi. Namun, kondisi ini bisa saja tidak berlangsung selamanya bila eksportir memandang penting pasar Indonesia dan negara-negara Islam lainnya. Mereka tentu berupaya keras memenuhi permintaan kita. Jika suatu saat berhasil, kita harus mau mempersilakan produk mereka masuk.

Sementara itu, banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah dan para produsen lokal untuk tetap mampu menguasai pasar. Pemerintah segera menelurkan regulasi yang kondusif dan menyediakan infrastruktur yang memadai agar produsen sukses mendongkrak efisiensi di segala lini. Produsen pun punya tugas membangunkan kesadaran di kalangan masyarakat konsumen. Masih menurut pemikiran Halida, konsumen hendaklah dipasok informasi yang tepat tentang produk ayam ASUH. Jadi, konsumen tak hanya menomorsatukan harga yang murah, tetapi juga mempertimbangkan kualitas. Dengan tanggung renteng dalam pembiayaan lewat asosiasi, produsen bisa memasang promosi yang berkesinambungan lewat televisi dan radio. Mari kita beli produk dalam negeri yang berkualitas dan memberikan ketenteraman batin.

Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain