Rintangan demi rintangan malah membuat hidupnya bersemangat. Kondisi kekurangan saat masa kecil dijadikannya pemicu motivasi.
Memulai hidup dari titik terbawah tak selalu berarti bakal sulit mencapai posisi puncak. Lelaki ini telah membuktikannya. Ayahnya meninggal dunia saat ia masih berusia tiga tahun dan pas akan kuliah ibundanya pun harus menjual kalung, toh ia akhirnya mampu meraih posisinya sekarang.
“Teman lain dengan mudah kuliah, tapi saya harus cari duit sendiri. Nah, saya pun memberi les kepada anak-anak SMA. Juga menerjemahkan buku kuliah berbahasa Inggris yang saya jual bab demi bab kepada teman-teman,” tutur Bambang Widjajanto, General Manager PT Agricon, produsen pestisida di Bogor, Jawa Barat. Berkat usahanya itu, ia tak lagi menunggu-nunggu kiriman orang tuanya di kampung, tetapi justru mampu mengirimi mereka uang.
Setelah bekerja, sekali waktu ia mendapat panggilan wawancara kerja dari perusahaan lain yang digelar di luar kota. Lagi-lagi ia terkendala lantaran tak ada biaya. “Waktu itu saya di Lampung, ada panggilan tes di Medan. Seizin istri, saya sampai menjual cincin kawin untuk biaya berangkat ke sana. Sampai Medan, masih ada masalah, rupanya tesnya diadakan di Jakarta,” katanya mengenang situasi genting kala ia baru berumah tangga selama dua tahun.
Ujian belum berakhir, karena saat mulai mengkredit rumah, yang ia bawa ke rumah barunya hanyalah selembar kasur. Istrinya, Metti Riyanti, waktu itu berprinsip kalau memiliki rumah sendiri, walaupun awalnya kosong tapi pasti akan dipaksa untuk berusaha memiliki perabotan rumah tangga. “Saat banjir, kasur satu-satunya itu pun mengambang di air,” ungkapnya.
Turun-Naik Karir
Toh, semua rintangan itu mampu dilaluinya. “Saya memang menyukai tantangan. Masa kecil saya mungkin yang menempa hal ini. Saya pun hobi memainkan game-game yang ada tantangannya,” ujar lulusan Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian IPB angkatan ke-18 ini.
Boleh jadi pula, lantaran selalu membutuhkan tantangan itu ia kerap berpindah tempat kerja. Tempatnya bekerja sekarang mungkin adalah yang kesekian karena sebelumnya ia telah berkarir di sejumlah perusahaan multinasional. Dan di berbagai perusahaan tadi ia pun sudah mencapai posisi bagus. “Saya mulai bekerja dari posisi paling bawah, di lapangan, meneliti sendiri, mengangkat tangki penyemprot sendiri,” tutur pria kelahiran Grobogan, Jawa Tengah, 17 November 1962 ini
Dalam satu kesempatan, sebuah perusahan yang ia kelola dari posisi nol sampai sistem perusahaan itu benar-benar berjalan dengan baik, belakangan malah dibeli satu perusahaan multinasional. “Karena dibeli, posisi saya yang sudah pemimpin perusahaan turun lagi sesuai sistem yang diterapkan pemilik baru,” katanya. Penurunan posisi ini, tambah Bambang, diterimanya sebagai tantangan. “Saya harus membuktikan sebenarnya saya memiliki kemampuan. Perlahan-lahan, posisi saya pun naik kembali,” imbuh ayah dari Ryan Gulfa Wijaya, M. Aristyo Wijaya, dan Adelia Safaira Wajayanto ini.
Kelemahan Petani
Petani, ulas Bambang, saat ini sangat minim pemahaman tentang dunia pertanian secara utuh. Contohnya, sikap petani yang cenderung ikut-ikutan menanam satu komoditas jika harganya naik di pasaran. Akibatnya, komoditas itu mengalami kelebihan suplai yang membuat harganya anjlok. Sementara itu, komoditas yang mereka tinggalkan justru menjadi mahal karena kekurangan suplai.
Semestinya, tambah Bambang, pemerintah lebih serius dalam upaya mendidik petani dalam hal ini. Jelaskan bahwa suplai untuk komoditas yang ditanam petani masih kurang, tak perlu cemas. Malah, kalau perlu pemerintah memberikan jaminan pasar bagi kelompok petani yang menanam suatu komoditas. Jadi, petani tak perlu mengikuti nalurinya untuk menanam komoditas tertentu berdasar harga sesaat.
“Kita ini semuanya masih kurang suplai, baik untuk padi, sayur, maupun buah. Kalau petani konsisten dengan komoditas yang ditanamnya, tak perlu terjadi kekurangan suplai. Pola tanam ini perlu diatur pemerintah,” tandasnya. Di samping itu, pemerintah juga perlu mengatur tata niaganya agar rantai perdagangannya tak terlalu panjang. Jadi, jika harga bagus, petani turut menikmati, bukan hanya tengkulak.
Kondisi petani yang masih memprihatinkan itu pula yang membuat ia selalu berupaya berbagi ilmu dengan mereka. Dengan kata lain, mendidik petani. “Namun, jangan diartikan seperti guru dalam kelas. Mendidik itu bisa informal dan nonformal. Bisa lewat penjelasan tentang produk pestisida, misalnya, ” ujar Bambang.
Dalam upaya mendidik petani ini, Agricon sendiri memiliki sejumlah sarana. Misalnya, ratusan sekolah lapang yang tersebar di seluruh provinsi. Lalu, lewat Sahabat Agricon, yaitu upaya mendidik petani yang bisa mengajarkan lagi kepada petani lainnya. “Ada pula Rumah Pintar. Di sana ada lahan yang bisa dipakai untuk belajar sambil bermain,” terang pria yang hobi menyanyi ini.
Perhatian Berlandaskan Nurani
Setiap kesempatan turun bertemu petani di lapangan adalah saat-saat yang membahagiakan bagi Bambang. Pendidikan yang dijalankan Agricon menyasar seluruh tingkatan petani. Bahkan, ditujukan juga bagi generasi kedua petani ataupun distributor produk pertanian.
Dalam bekerja, Bambang sangat memegang teguh filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantoro. Di belakang mendorong, di tengah bekerja bersama-sama, sedangkan di depan memberi teladan. “Memang latar belakang keluarga saya ada dua, yakni petani dan guru. Kakek kerja di dinas pertanian, paman saya petani, ayah saya guru,” ungkapnya.
Melalui bidang yang dikuasainya, ia memang ingin bisa berkontribusi bagi kemajuan negeri ini. Sebab, tulang punggung negeri ini sejatinya adalah pertanian. “Indonesia bisa menjadi negara maju bila pertaniannya mendapat perhatian yang dilandasi hati nurani,” tegasnya mengakhiri percakapan dengan AGRINA.
Syaiful Hakim, Untung Jaya