Semua pengalamannya selama jadi petambak dianggapnya menyenangkan. Padahal, beberapa kali masa sulit menghadangnya.
Karena semuanya berubah dan berkembang, dinamis, lelaki ini menyukai bisnis udang. Misalnya, ada periode satu jenis benih udang dianggap unggul, tapi setelah beberapa waktu ternyata memiliki kelemahan. Berbagai pihak pun berusaha keras lagi menghasilkan benih yang lebih baik.
“Contohnya, saya pernah pakai satu jenis yang awalnya bagus, tapi dua siklus sesudahnya udahan. Lantas, para pembudidaya benih berkompetisi memperbaikinya, ini menarik,” ujar Hardi Pitoyo, petambak udang asal Banyuwangi, Jawa Timur.
Makhluk Hidup
Berkompetisi untuk menjadi the best, tambah pria yang biasa disapa Yoyok itu, adalah hal yang baik. “Bisnis udang itu dinamis banget! Karena yang diurus itu live stock, barang hidup!” tutur Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) Banyuwangi, Jawa Timur.
Lantaran mengelola makhluk hidup itu pula, Yoyok kerap mengingatkan, meskipun segala prosedur budidaya telah dipersiapkan dengan baik, bisa saja sekali waktu terpeleset alias merugi. “Memang, ada yang bisa kita kontrol dengan parameter tertentu, dengan alat seperti DO (dissolved oxigen) meter atau pengukur salinitas dan pH. Tapi, ada yang di luar kontrol, misalnya banjir,” kata lelaki kelahiran Tegal, Jawa Tengah, 51 tahun silam ini.
Atau, sudah menggunakan benur Specific Pathogen Free (SPF) tapi ternyata tetap terserang penyakit. Jadi, selain yang terukur, banyak pula yang tak bisa diukur. “Untuk yang tak terukur ini jawabnya wallahua’lam, kembali ke Tuhan. Tapi, paling tidak, dengan melakukan pengontrolan dan kerja yang benar, diharapkan keberhasilan bisa diraih,” tandas anak ketiga dari tujuh bersaudara buah pernikahan pasangan almarhum Nungharjo dan Harjati, 76 tahun, ini.
Berjiwa Mandiri
Boleh jadi, karena menyukai hal dinamis, ia pun berani terjun ke usaha tambak udang. Padahal, kala itu, 1996, ia tak memiliki modal. Bekalnya tentu saja ilmu karena ia adalah lulusan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor tahun 1988. “Apalagi, waktu itu, siapa sih sarjana yang mau kerja di tambak? Semua cenderung jadi pegawai berdasi seperti diperlihatkan di sinetron televisi. Kerja di tambak bisa-bisa sulit dapat mertua,” ujar Yoyok mengenang masa merintis usaha.
Yoyok muda rupanya memiliki semangat berbeda dengan kebanyakan sarjana generasi zamannya. Kendati tak menggenggam modal usaha, ia memutuskan keluar dari tempatnya bekerja di salah satu perusahaan hatchery udang di Banyuwangi. “Waktu itu di Banyuwangi banyak tambak terpuruk, hanya 10% beroperasi. Awalnya saya sewa lahan. Modal dari teman-teman, saya jalankan uang mereka, kayak koperasi. Yah, modalnya cuma keberanian,“ beber suami Siti Rofiqoh ini.
Jadi, tambah ayah empat anak ini, ia sudah lebih dulu menjalankan revitalisasi tambak. Dan selama mengembangkan usahanya, ia tentu sempat merasakan beberapa situasi sulit. “Pada 2001, juga 2006, itu masa sulit buat saya,” ungkapnya.
Secara umum, lanjut Yoyok, petambak udang di Indonesia pernah mengalami kesulitan akibat masalah yang datang bukan dari persoalan budidaya itu sendiri, atau murni supply dan demand, tapi dari luar. Misalnya, saat Kaisar Jepang wafat pada 1989, hasil panen bagus tapi orang Jepang tak makan udang beberapa waktu karena berduka, sehingga harga jatuh. ”Juga saat krisis moneter dan isu dumping pada 2003-2004,” paparnya.
Kendati mengaku beberapa kali hilang uang, toh dia tidak kapok. Prinsip dia, kena pukul hari ini, besok bagaimana tidak kena pukul lagi. Terus begitu dan tidak berhenti. Dengan prinsip inilah Yoyok melalui semua kesulitan tersebut hingga akhirnya memiliki puluhan hektar tambak. “Buat saya, semua pengalaman penuh suka, pengalaman duka pun jadi suka. Memang, butuh konsentrasi. Dan karena saya fokus, saya terlibat sepenuhnya,” ujar Yoyok seraya menegaskan tak ingin memiliki tambak terlalu luas karena akan sulit dalam pengontrolan sistemnya.
Peran SCI
Satu hal kerap diingatkan Yoyok kepada mereka yang ingin terjun ke usaha ini. Selama ini, mereka cenderung ingin segera berekspansi saat menuai keberhasilan pada masa awal budidaya. Padahal, kesuksesan tahap awal itu biasanya lebih disebabkan “kemurahan” alam. “Nah, saat ia memperluas lahannya, feedback (umpan balik) penyakit datang. Proyek baru belum selesai, yang lama diserang penyakit, bisa gagal,” timpalnya.
Yoyok berbangga hati pada peran SCI yang tak hanya bisa menjadi penyumbang bahan baku bagi pabrik pengolahan udang, tapi juga mampu menyejahterakan petambak dan warga di sekitarnya. Tanah-tanah yang tadinya kosong, sepi, kini jadi terang benderang berkat lampu-lampu tambak. “SCI juga mau bergerak ke lokasi-lokasi pulau terpencil,” imbuhnya.
Bagi Yoyok, udang tak ada masalah pada pemasaran, persoalan umumnya ada di budidaya. “Tapi, yang penting, sejauh mana kita mampu mengontrol sistem yang kita jalankan agar prosesnya bisa selesai seperti tujuan kita,” ujarnya menutup pembicaraan dengan AGRINA.
Syaiful Hakim, Indah Retno Palupi (Surabaya)