Senin, 29 April 2013

Menjaring Nikmat dari Si Bongkok

Pebisnis udang di kawasan Asia kini tengah girang di tengah seretnya pasokan udang dunia. Anton Churakov, Manajer Pembelian dari Agama Seafood Group dari Rusia, mengungkap dalam Shrimp News International, harga udang di Thailand April lalu di tingkat petambak senilai US$6,9/kg ukuran 60 ekor/kg. Harga ini melambung hingga 72% dibandingkan periode yang sama tahun silam. Angka ini pun lebih tinggi 5% ketimbang Maret 2013. Produksi udang Thailand terganggu penyakit Early Mortality Syndrome (EMS) dan penyakit virus lain sehingga anjlok 11% pada 2012.

Pun di China, harga naik 25%-30%. Pasokan China jauh berkurang, antara lain, terkait penyakit EMS yang melanda wilayah selatan negeri itu. Tambahan lagi, mereka juga tengah menghadapi wabah flu burung H7N9 pada peternakan ayamnya. Banyak orang takut makan produk ayam sehingga mereka mengganti sumber protein hewaninya dengan udang. Tak pelak, permintaan komoditas berjuluk Si Bongkok ini menguat.

Untuk meladeni pasar itu, menurut media massa di Vietnam, pelaku bisnis pengolahan udang dari China sampai bergerilya ke Vietnam buat membeli udang langsung ke petambak. Berbicara di Brussel, Belgia, Cui He, Wakil Presiden Eksekutif Asosiasi Produsen dan Pemasaran Akuakultur China, mengatakan EMS masih menjadi masalah di China bagian selatan. Walhasil, negaranya akan mengimpor lebih banyak udang dari India, Indonesia, dan Ekuador.

Bagaimana di Indonesia? Petambak tengah berbahagia meskipun gerogotan penyakit virus white spot dan myo tak kunjung habis. Bersyukur sampai saat ini penyakit EMS belum merambah negeri ini. Prof. Dr. Chalor Limsuwan, pakar udang dari Kasetsart University, Bangkok, Thailand, memastikan itu dalam seminar di pameran VIV Asia 2013 & Aquatic Asia 2013, 14 Maret silam.

Agus Muhtiyanto, petambak di Kelurahan Karang Sari, Kecamatan Kendal, Kab. Kendal, Jawa Tengah, misalnya, menyebut harga udang ukuran 60 ekor/kg (size 60) sebesar Rp60 ribu/kg (akhir April). “Harga tertinggi yang saya alami dari sebelum-sebelumnya karena jarang udang,” ujar Bendahara Kelompok Tirta Minasari itu gembira. Agus mewakili petambak yang dulu “tiarap” gara-gara white spot saat menebar windu.

Untuk menangkap peluang pasar internasional, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berupaya menggenjot produksi nasional. Pendataan KKP menunjukkan ada 800 ribu hektar (ha) tambak telantar. Dari luasan itu, 135 ribu ha layak direvitalisasi. Dimulailah program merehabilitasi 20 ribu ha tambak di Banten dan Jawa Barat dengan memperbaiki saluran irigasi primernya.

Perkembangannya, dari target 20 ribu ha, hanya 5.000 ha yang akan mendapat bantuan saprodi lengkap. Namun, entah kenapa lagi, luasan yang hendak diperbaiki tinggal 1.000 ha untuk dijadikan demonstration farm (demfarm). Bekas tambak udang windu ini coba dihidupkan kembali. Hasil menggiurkan dari demfarm diharapkan melecut petambak di sekitarnya untuk kembali menggeluti udang.

Mengandalkan teknologi rakitan para perekayasa Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, 1.000 ha itu dipecah-pecah jadi klaster-klaster. Tiap klaster seluas 10-20 ha dengan “merangkai” petak-petak hamparan tambak berukuran 2.000-6.000 m2.

Sistem budidayanya diharapkan seperti budidaya semi-intensif dan intensif yang menerapkan biosekuriti. Menjaga areal tambak dari potensi pemasukan sumber penyakit dari luar dengan membuat kolam tandon untuk pengolahan air sebelum dialirkan ke petak budidaya. Juga pemberian pagar tertutup sekeliling areal dan menerapkan prosedur tertentu untuk keluar-masuk tambak dengan tujuan meminimalkan risiko infeksi. Sistem minim ganti air ini sebenarnya sudah dirintis sejak 1994 ketika virus white spot mulai masuk tambak udang windu di Indonesia.

Kelompok Agus tadi termasuk salah satu hasil binaan BBPBAP. Agus sendiri petambak udang windu yang terpaksa gulung tikar karena serangan penyakit. Kapok mengusahakan windu, ia mencoba bandeng. Lalu pada 2010 berkenalanlah ia dengan vanname yang lebih bongsor ketimbang windu. Capek mengurus petak banyak tapi produksi sedikit, ia bergabung dalam klaster bersama 10 petambak lain menerapkan sistem semi-intensif.

Klaster lain ada di Desa Sampang Tigo, Kecamatan Pekalongan, Kab. Pekalongan, Jawa Tengah, dipimpin Bachrudin dan beranggotakan 12 orang. Memang modal yang disiapkan lebih banyak, tetapi produksi dan labanya berlipat. Sebelum bergabung dalam klaster, seorang petambak menjaring udang 50-80 kg/petak seluas 2.000 m2. Setelah bergabung produksi menjadi 3,2-4,2 ton. Walhasil, laba ke koceknya makin tebal. Peningkatannya, menurut Bachrudin, cukup “wow”, bisa 150%.

Sukses penerapan sistem ini diharapkan mampu memantik gairah pemilik tambak telantar kembali beroperasi. Di Pulau Jawa saja, pertambahan produksi pastinya signifikan. Dari sinilah kita akan menjaring devisa dari pasar internasional yang tengah dirundung pasokan seret. Diharapkan pula aplikasi sistem ini menjadi upaya swadaya kelompok, bukan bergantung kepada pemerintah. Kalau terus bergantung, bukan tak mungkin kita kena tuduhan dumping di pasar internasional.

Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain