Senin, 1 April 2013

Hikayat Bawang Putih dan Daya Saing Kita

Seiring gonjang-ganjing harga bawang merah dan bawang putih, soal daya saing negeri ini pun kembali mengemuka. Bagaimana tidak, kali ini bawang merah dan bawang putih telah mencapai harga tertinggi dalam sejarah negeri ini. Bawang putih sempat dijual Rp100 ribu-an/kg dan bawang merah pada kisaran Rp60 ribu-Rp70 ribu/kg.

Kinilah saatnya menyoal daya saing negeri ini seluas-luasnya mengingat situasinya kian mendesak. Bukankah akhir Desember 2015 nanti negara-negara di ASEAN bakal tergabung dalam ASEAN Economic Community? Komunitas Ekonomi ASEAN ini jelas bisa menjadi ancaman sekaligus peluang.

Bayangkan situasi ini: ASEAN menjadi pasar tunggal dan basis produksi internasional dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil, serta aliran modal yang lebih bebas. Bila Indonesia tak siap, maka aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil dan modal bakal tersebut bakal condong jadi ancaman belaka. 

Salah satu bukti masih lemahnya daya saing negeri ini jelas terpampang dari hikayat bawang putih. Sebab, Indonesia pernah berjaya memproduksi bawang putih sekitar 1990-an. Kala itu, luas areal bawang putih mencapai 21.500 ha. Pada 2011, berdasar data Ditjen Hortikultura, Kementerian Pertanian, luasnya hanya tersisa 1.800 ha. Pada masa jaya dulu, petani kita menguasai 80% kebutuhan bawang putih nasional. Bandingkan dengan situasi terkini yang cuma bisa berkontribusi 5%.

Masa keemasan itu kini hanya bisa dikenang sebagai era “haji bawang putih” karena banyaknya petani yang pergi haji dari hasil budidaya komoditas satu itu. Bahkan, seorang petani asal Desa Tuwel, Kec. Bojong, Kab. Tegal, Jawa Tengah, masih ingat benar bagaimana ia dulu bersama petani lainnya mampu membangun mesjid dengan dana Rp1,5 miliar hanya dari bawang putih. 

Tahun-tahun “emas” itu akhirnya berlalu akibat gempuran bawang putih dari China, juga India, yang jauh lebih murah. Harga bawang putih lokal pun tertekan habis-habisan. Perlahan petani mulai meninggalkan bawang putih, beralih ke komoditas lain memberikan hasil lebih sepadan.

Mirip dongeng asli Bawang Merah dan Bawang Putih itu sendiri, nasib bawang merah lumayan lebih baik saat ini. Jika produksi bawang putih Indonesia pada 2012 berkisar 25 ribu ton, bawang merah mencapai 959.500 ton. Kendati tahun itu mampu mengekspor 18.865 ton bawang merah, pada periode Januari - April sebanyak 121.478 ton bawang merah masih perlu diimpor guna mengantisipasi penurunan produksi saat petani lebih memilih menanam padi.

Dan kegemparan itu akhirnya meledak ketika harga bawang putih dan bawang merah meraih posisi termahal tahun ini pada periode Januari-April yang memang rawan. Saling tuding mencari siapa yang salah pun berhamburan. Umpamanya, ini ulah importir nakal yang menahan kontainer bawang putihnya agar harga makin melambung dan kian gampang meraup untung. Atau, ada mafia kartel bawang yang bermain.

Muncul pula tudingan ini dampak kelalaian pemerintah, dalam hal ini Kementan, yang telat mengeluarkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) sehingga importir tak mampu segera mengisi kekosongan bawang. Pejabat pemerintah terkait dinilai tak memahami tahapan impor bawang dari China lewat jalur laut yang makan waktu sampai satu bulan untuk sampai di pasar tujuan.

Namun, ketimbang mencari kambing hitam, banyak pula yang berupaya mengingatkan agar bangsa ini lebih memfokuskan perhatiannya pada peningkatan daya saing. Antara lain, dengan memperbaiki infrastruktur, baik on farm ataupun off farm, juga meningkatkan produktivitas, baik dengan teknik budidaya yang terus dimutakhirkan, termasuk menerapkan bioteknologi, maupun dengan menghadirkan benih-benih unggul. Tak lupa, memperbaiki sistem distribusi.   

Terkait benih, salah satu produsen benih di Tanah Air misalnya, siap menawarkan Tuktuk, benih bawang dari biji yang teruji tahan penyakit dan bisa ditanam kapan saja karena diproduksi di Indonesia. Ada pula yang dijagokan Dewan Bawang Merah Nasional, yaitu Manjung, varietas benih yang tahan terhadap musim hujan atau kemarau dan menawarkan produktivitas lebih tinggi daripada bawang yang biasa ditanam.   

Dan yang belakangan kian hangat dibicarakan, karena di sinilah salah satu titik lemah Indonesia, yaitu upaya membangun cold storage alias gudang pendingin, baik untuk bawang konsumsi maupun benihnya. Dengan membangun gudang-gudang pendingin ini diharapkan masa-masa rawan Januari-April bisa aman dilewati. Keberadaan gudang-gudang pendingin itu pula yang membuat China mampu menjadi pengekspor bawang putih terbesar dunia meski setiap tahun hanya menanam pada Juni, Juli, dan Agustus.

Waktu tentu terus berjalan dan 2015 kian mendekat. Pada 2012 lalu, Indonesia masih bercokol di posisi lima dalam pemeringkatan indeks daya saing di ASEAN, di bawah Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand berdasar data World Economic Forum (WEF). Bertindak cepat amatlah pentingnya. Sebab, negeri ini tentu tak hanya ingin menjadi pasar produk-produk negara lain saja, bukan?   

Syaiful Hakim

 

 

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain