Senin, 18 Maret 2013

Budhi Hendarto, Berpesan Jangan Kelamaan Jadi Karyawan

Tapi, untuk menjadi usahawan, bekal utama yang harus dimiliki  adalah keterampilan menjual, bukan sekadar ilmu tata buku.

Banyak siswa sekolah kejuruan atau bahkan mahasiswa bidang bisnis dicekoki pelajaran pembukuan belaka. Padahal, bukan itu yang akan menjadikan mereka usahawan kelak. “Diajari pembukuan itu dididik sebagai karyawan. Sedangkan bekal menjadi wiraswastawan adalah keterampilan menjual!” tegas Budhi Hendarto, pencipta produk minuman kesehatan Lada Hitam.

Itu sebabnya,  Budhi selalu berupaya mengajarkan keterampilan menjual atau salesmanship kepada mahasiswanya di tempatnya mengajar, STIE-GICI Business School Jakarta. Ia selalu mengumpulkan orang tua mahasiswa dan meminta izin lebih dulu saat akan mengajarkan kewiraswastaan kepada anak-anak mereka. 

Belajar dari Menjual

“Bapak-Ibu, jika ingin putra-putrinya kelak jadi usahawan, izinkan mereka langsung berjualan. Pokoknya, berjualan produk apa saja. Bukan soal produknya, yang penting belajar dari pengalaman itu,” ujarnya kepada para orang tua mahasiswa.

Tak hanya itu, ia juga selalu menekankan hal serupa ketika beberapa kali diminta membimbing ratusan kepala sekolah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) terbaik dari berbagai wilayah di Indonesia. “Mengapa tak meminta salesman untuk mengajar? Tak harus pakai sertifikat mengajar, cukup jadikan mereka mentor!” saran Budhi.

Lelaki kelahiran Solo, Jawa Tengah, 8 Agustus 1949 ini meyakini, jika para pelajar SMK di desa-desa diajari keterampilan menjual serta dibekali pula ilmu kewirausahaan secara benar, maka perekonomian di desa-desa bakal berkembang pesat.

Malah, anaknya sendiri yang sudah memiliki posisi mapan pada sebuah perusahaan ditantangnya berwirausaha. “Jangan seperti saya, jadi karyawan selama 35 tahun. Indonesia kaya dengan berbagai potensi untuk menjadikanmu usahawan. Apa hobimu? Bikin bisnis sesuai hobimu itu,” kata Budhi  “mengompori” anaknya.

Belakangan, si anak yang sudah memiliki posisi art manager itu pun merintis usaha di bidang fotografi. Kini,  ia dikenal sebagai fotografer profesional yang memiliki banyak pelanggan di mancanegara. “Penghasilannya kini jauh lebih besar. Tapi, istri saya bilang mungkin saya satu-satunya orang tua yang menganjurkan anaknya berhenti jadi karyawan,” tutur Budhi.

Tersadar Jelang Pensiun

Budhi memang baru di usia 50 tahun merintis usaha sendiri. Sebelumnya, ia bekerja di Tiga Raksa Grup. Meski posisi terakhirnya direktur, saat menjelang pensiun ia tersadar harus memiliki bisnis sendiri. Ia memang mengakui sempat dididik orang tuanya untuk menjadi karyawan. “Jadi pengusaha bisa bangkrut, karyawan tidak, bolos pun masih digaji,” ujarnya seraya tersenyum mengenang nasihat ayahnya.

Waktu itu, ia mula-mula merintis resto. Bekerjasama dengan istrinya, Yosephine, yang hobi memasak, ia pun mampu mengembangkan Resto Nusukan yang kini sudah memiliki beberapa cabang di Jakarta.  Belakangan, ia merintis pula waralaba warung tenda bandeng. “Beruntung istri saya jago masak. Ia selalu berusaha mengalahkan citarasa masakan resto yang saya puji,” papar ayah tiga anak ini.

Sejalan perkembangan restonya, ia pun mulai mencari komoditas asli Indonesia yang bisa diolah dan dijajakannya. Tapi, harus produk yang belum diperhatikan banyak orang. “Saya ingin ekspor sesuatu dari negeri ini. Tapi, dalam dunia pemasaran, kalau orang ke kiri, kita ke kanan. Tak perlu ikut-ikutan,” timpal alumni Teknik Sipil Universitas Parahyangan Bandung ini.

Fokus ke Pertanian

Perhatiannya pun tertumpu pada lada hitam yang banyak dipakai dalam campuran bahan baku sejumlah minuman tradisional. Khasiat lada hitam pun sangat baik untuk kesehatan, antara lain mampu mengurangi risiko stroke dan sakit jantung.

Akhirnya, lahirlah produk minuman lada hitam instan dalam saset dengan beragam pilihan rasa. “Minuman ini better than alcohol (lebih baik dari alkohol), itu selalu saya katakan pada warga asing. Inilah salah satu kekayaan alam kita sendiri,” paparnya.

Dari sinilah ia merasa prihatin melihat pemimpin-pemimpin bangsa ini yang belum mampu memberdayakan rakyat lewat kekayaan alam negeri ini yang melimpah, misalnya lewat pertanian. Yang dikejar, tambahnya, justru pembangunan industri mobil atau pesawat terbang.

Padahal, sulit mengejar kemajuan yang telah dicapai negara lain di bidang itu. “Tapi, kalau di bidang hortikultura, misalnya, kita sebenarnya bisa bersaing dengan negara lain, masih bisa mengejar Thailand. Tapi, pada ke mana sarjana pertanian kita?”  tandasnya menutup percakapan dengan AGRINA.

Syaiful Hakim, Ratna Budi Wulandari

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain