Struktur vertikal industri sapi potong terdiri dari empat kegiatan pokok, yaitu pembibitan (breeding), perkembangbiakan (cow calf operation), pembesaran pedet (calf rearing and growing), dan penggemukan (fattening). Keempat rantai kegiatan dalam industri sapi potong ini saling terkait satu sama lain. Setiap rantai kegiatan mempunyai nilai tambah.
Kegiatan pembibitan menghasilkan bibit unggul melalui persilangan. Perkembangbiakan menghasilkan pedet (anak sapi) siap dibesarkan. Pembesaran menyiapkan pedet sampai menjadi sapi bakalan. Penggemukan meningkatkan bobot bakalan sampai sapi siap dipotong.
Di Indonesia, pembibitan dan perkembangbiakan banyak dilakukan peternakan rakyat. Tidak banyak perusahaan yang mau bergerak di pembibitan, perkembangbiakan, bahkan pembesaran karena biaya menghasilkan sapi bakalan cukup besar karena butuh waktu 630 hari, tanpa ada pemasukan. Penggemukan sekitar 110 hari, jauh lebih menjanjikan.
Padahal, kegiatan perkembangbiakan merupakan salah satu upaya meningkatkan populasi sapi potong di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan daging sapi nasional. Karena itu, diperlukan upaya menggalakkan perkembangbiakan yang berdaya saing tinggi. Lalu, apa yang mesti dilakukan agar bisa menghasilkan sapi bakalan yang relatif efisien?
Tahun ini kebutuhan nasional daging sapi sekitar 549,7 ribu ton. Sekitar 474,4 ribu ton (86%) dari sapi lokal (peternakan rakyat). Sekitar 32 ribu ton (6%) dari impor daging beku dan 48 ribu ton (9%) dari impor sapi bakalan 267 ribu ekor (yang setelah digemukkan selama sekitar 110 hari, maka diperoleh total setara daging sapi 48 ribu ton).
Persoalannya, mengapa harga daging sapi belakangan ini melambung? Pantaskah menyalahkan perusahaan penggemukan yang pangsa pasarnya 9% atau importir daging beku yang pangsanya 6%? Bagaimana peternakan rakyat yang pangsanya relatif besar?
Saat ini, harga sapi siap potong (bobotnya 350 kg) di peternakan rakyat Rp32 ribu/kg hidup. Ditambah margin dan biaya lainnya, maka harga di rumah potong di Jabodetabek sekitar Rp36 ribu/kg hidup. Jika rendemen yang bisa dijual (kulit, daging, jeroan, daging variasi, tulang, dan lemak) sekitar 245 kg atau 70%, maka harga daging balik modal minimal Rp 88 ribu/kg.
Umumnya, peternakan rakyat ini melakukan sekaligus pembibitan, perkembangbiakan, pembesaran, dan penggemukan. Cirinya adalah berskala kecil, manajemen sederhana, teknologi seadanya, lokasi tidak terkonsentrasi, serta belum menerapkan sistem dan usaha agribisnis. Karena itu, jangan heran jika kebanyakan peternakan rakyat ini kurang efisien.
Adalah PT Kalteng AndiniPalma Lestari (KAL), perusahaan patungan PT Kadila Lestari Jaya (industri sapi potong) dan PT Api Metra Palma (perusahaan sawit Grup Medco) mengembangbiakkan sapi di perkebunan sawit di Kalimantan Tengah dengan penggembalaan. Bahan bakunya sapi betina produktif impor dari Australia, dengan keluaran pedet sampai sapi bakalan. Model seperti ini sudah dilakukan di perusahaan sawit di Sabah, Malaysia.
Meski baru uji coba, hasilnya menjanjikan. Dari sekitar 298 ekor sapi betina produktif, rasio kelahirannya 70%. Dengan bobot pedet 70 kg/ekor dan dibesarkan menjadi bakalan 250 kg/ekor, diperkirakan harga pokok sapi bakalan (belum termasuk investasi dan biaya lainnya) sekitar Rp12 ribu/kg hidup, hampir setara harga pokok sapi bakalan di Australia.
Jika sapi bakalan yang dipanen di lahan sawit tadi dibesarkan secara insentif selama 110 hari dengan biaya Rp25 ribu/ekor/hari, maka bobotnya 350 kg, sehingga harga sapi siap potong Rp 16.500/kg hidup. Ditambah investasi dan biaya lainnya, katakanlah harga sapi siap potong Rp 25 ribu/kg hidup. Dengan rendemen 245 kg atau 70%, maka harga jual daging rata-rata supaya balik modal minimal Rp57 ribu/kg. Bukankah relatif terjangkau?
Bayangkan, jika 1 juta dari 8 juta ha lahan sawit di Indonesia digunakan untuk mengembangbiakkan sapi potong bisa dihasilkan 0,7 juta pedet setiap 14 bulan (sesuai jarak kelahiran). Asumsinya, seekor sapi betina produktif memerlukan sehektar lahan penggembalaan dan peluang kelahiran 70%.
Persoalannya, pertama, perusahaan perkembangbiakan di kebun sawit ini memerlukan sapi betina produktif dalam jumlah besar sehingga diperlukan regulasi impor sapi betina produktif. Kedua, secara politis, keberhasilan perusahaan perkembangbiakan di lahan sawit ini bisa dikambinghitamkan sebagai pemicu jatuhnya harga sapi peternakan rakyat.
Bagaimana solusinya? Salah satu caranya, perusahaan perkembangbiakan sapi potong di lahan sawit ini menjual sapi bakalannya untuk digemukkan peternak rakyat di sentra konsumsi dan perusahaan penggemukan. Dengan demikian, peternakan rakyat turut menikmati keberhasilan perusahaan perkembangbiakan sapi di lahan sawit.
Jika model ini berjalan mulus, maka perusahaan perkembangbiakan sapi potong di lahan sawit, peternakan rakyat, dan konsumen sama-sama memperoleh berkah. Di laih pihak, secara politis, pemerintah juga memperoleh manfaat karena bisa mewujudkan swasembada daging sapi dengan harga terjangkau.
Syatrya Utama