Senin, 4 Maret 2013

Koko Sugiarto “Lokomotif” dari Kota Metro

Sukses di kancah bisnis unggas tak membuatnya abai terhadap sektor lain. Giliran pembudidaya ikan mendapat sentuhannya.

Koko Sugiarto bukan orang baru di bidang agribisnis. Ia dan keluarganya sudah malang melintang dalam peternakan ayam pedaging dan petelur serta menjadi pedagang pengumpul besar ayam dan telur di Kota Metro, Provinsi Lampung sejak 15 tahun silam. Bahkan ia juga distributor bibit ayam (DOC), pakan, dan obat-obatan untuk peternak unggas di kotanya. Keluarganya pun memiliki armada khusus buat memasok telur dan ayam ke pasar utama Jabodetabek, Sumatera Selatan, dan Bengkulu.

Kendati bisnis unggasnya sudah cukup besar, Koko, begitu biasa disapa, merasa belum puas. Bagaimana dengan peternak ikan air tawar? Begitu pikir Koko. Ia melihat potensinya cukup besar, tetapi selama ini mereka berjalan sendiri-sendiri, baik dalam budidaya maupun pemasaran ikannya. Karena itu, ia terpanggil untuk membina pembudidaya ikan yang jumlahnya banyak dan tersebar di dua kabupaten, yakni Lampung Tengah dan  Lampung Timur serta Kota Metro sendiri.

Membina Kelompok

Koko lantas membentuk kelompok pembudidaya ikan air tawar dengan nama Mina Tirtho Plus. Kini anggotanya hampir 100 pembudidaya lele, gurami, dan nila yang tersebar di tiga wilayah itu. Untuk berhasil membina para pembudidaya lele, gurami, dan nila ini Koko tidak sekadar menampung hasil panen lalu menjualnya, tetapi juga melakukan budidaya lele sendiri sejak 2011. “Dengan begitu saya mengetahui kendala dan hambatan dalam mengusahakan budidaya ikan air tawar,” ungkap Koko kepada AGRINA di rumahnya yang mentereng di Kota Metro, baru-baru ini.

Kini kolam pembesaran lelenya di kawasan Pekalongan, Lampung Timur di bawah bendera Sumberjaya Farm menghasilkan 1,1 ton lele dua hari sekali. Karena anggota kelompoknya sering kekurangan benih lele, ia juga terjun dalam usaha pembenihan Sangkuriang. Kini produksi benihnya mencapai 50 ribu ekor/hari. Untuk meningkatkan produksi benih, Koko mendatangkan 200 ekor induk lele unggul.

Menyinggung soal kualitas anggota kelompoknya, Koko menilai mereka punya kemauan kuat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Pembudidaya mudah mengadopsi teknologi baru, terutama dalam hal pengendalian penyakit dan pembesaran ikan. Untuk mendukung peningkatan kualitas anggotanya, ia membangun ruangan diklat khusus di lantai dua tempat usahanya berkapasitas sekitar 80 orang.

Suami Linda ini memandang, modal adalah salah satu kendala yang dihadapi pembudidaya dalam mengembangkan bisnisnya. Ia lalu menjalin kerjasama dengan PT Perkebunan Nusantara VII. BUMN perkebunan ini mengucurkan dana corporate social responsiblity (CSR) sebesar Rp75 juta untuk memodali 20 anggota Kelompok Mina Tirtho Plus. Modal berbunga 6%/tahun ini menjadi dana bergulir di antara anggota kelompok.

Ingin Ekspor Ikan

Di samping modal, sambung Koko, tantangan lain dalam mengembangkan lele dan gurami adalah penyakit. Pada 2012, banyak lele anggotanya yang terserang bakteri Aeromonas dan Pseudomonas. Banyak anggota yang belum mengetahui cara pengobatannya. Tak pelak produksi ikan kelompok pun merosot.

Kendala lain adalah fluktuasi harga yang menyulitkan pembudidaya untuk menjaga kesinambungan usaha. Sementara harga benih dan pakan tidak pernah turun. Misalnya tahun lalu harga lele anjlok hingga Rp8.000/kg. Baru mulai tahun ini harga lele bergerak naik hingga Rp14 ribu/kg. Harga Rp8.000/kg jelas tidak menguntungkan bagi pembudidaya sehingga mereka beralih ke gurami dan patin.

Untuk mengatasi kendala pasar tersebut, pengguna dan distributor pakan ikan STP ini membentuk tim pemasaran dalam kelompoknya. Ia beralasan, agar suatu usaha maju, produksi dan pemasaran harus seiring dan sejalan sehingga pembudidaya tidak dipermainkan pedagang. “Ini mungkin terobosan dalam kelompok pembudidaya ikan,” jelasnya.

Kini kelompoknya sukses merambah pasar di wilayah Sumatera Selatan. Selain memasok rumah makan, lele juga dipasok ke perajin ikan asap sehingga kebutuhannya terus meningkat. Setiap hari Koko memasok 5 ton lele hidup ke Palembang dan sekitarnya dari permintaan 8-10 ton/hari.

Keinginannya seolah tak terbendung. Ia ingin kelompoknya mengembangkan ikan mas karena yang selama ini Lampung mendatangkannya Jawa Barat sampai 30 ton/hari. Ia juga memendam obsesi, suatu saat lele produksi anggotanya diekspor ke mancanegara. “Peluang ke arah sana terbuka lebar, namun kita harus penuhi pasar lokal dulu baru berupaya untuk mengekspor ikan,” pungkas lokomotif pembudidaya ikan ini.

Syafnijal Datuk Sinaro (Lampung)

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain