Sistem pascapanen terdiri dari satu rangkaian yang mencakup periode dari panen hingga konsumsi. Sistem pascapanen yang efisien bertujuan meminimalkan kehilangan hasil dan menjaga kualitas produk hingga ke tangan konsumen. Ketika kehilangan bisa diminimalkan, ketahanan pangan sekaligus peningkatan pendapatan tercapai. Ini penting bagi petani berskala kecil hingga menengah di negara berkembang, termasuk Indonesia. Dalam perspektif sosial-ekonomi, implementasi sistem pascapanen harus menguntungkan semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Sebuah studi di China mengungkapkan, kehilangan hasil dalam pascapanen mencapai 8-26%. Fase kritis terjadi pada penyimpanan dan pengeringan. Sementara di Indonesia, menurut Pending Dadih Permana yang mengutip data BPS 2012, dari 12 provinsi sentra angka kehilangan mencapai 10,43%. Hitungan Direktur Pascapanen, Ditjen Tanaman Pangan, Kementan, angka ini setara 6,8 juta ton dari produksi 68,89 ton gabah kering giling (GKG). Sebanyak itu pula yang tidak bisa dibawa pulang petani. Tercecernya bisa terjadi pada proses panen, perontokan, pengeringan, dan penggilingan. Kehilangan terbanyak berada di proses pengeringan. Pemerintah memasang target tahun ini untuk menekan susut panen tinggal 1,79%.
Idealnya, penekanan kehilangan hasil dimulai dari proses panen. Alat dan mesin pertanian (alsintan) yang disarankan produsen adalah paddy reaper dan combine harvester. Paddy reaper memotong batang padi dan meletakkannya di jalur yang dilewati. Alsintan ini mampu menyelamatkan 4-6 kuintal gabah/hektar. Tenaga panen lantas memungut batang-batang tadi lalu memasukkannya ke mesin power thresher untuk merontokkan gabahnya.
Sementara combine harvester lebih canggih dan tentu lebih mahal. Mesin ini memanen batang padi, lalu merontokkan gabahnya, bahkan merajang jeraminya sampai halus sehingga bisa langsung dikembalikan ke lahan sebagai pupuk organik. Jadi, keluarannya berbentuk gabah. Daya kerjanya bervariasi dari 2-6 jam/hektar.
Contoh pemanfaatan combine harvester di Sulawesi Selatan, berdasarkan data lapangan yang dikumpulkan CV Rutan, produsen alsintan di Surabaya, cukup menggembirakan. Tanpa mesin ini, petani meraup 50 goni yang masing-masing berisi 100 kg (5 ton/hektar). Setelah menggunakan mesin, hasil panen bertambah signifikan hingga 65 goni (6,5 ton/hektar) atau 30%.
Tahapan berikutnya adalah menekan kehilangan dalam pengeringan menggunakan dryer yang berbahan bakar biomassa, bisa berupa jerami atau sekam. Di sini, sekali lagi, ada pencegahan kehilangan dalam kasus pengeringan gabah dengan lantai jemur dari gangguan pemakan gabah.
Bila rangkaian itu bisa terlaksana, sudah cukup banyak penyelamatan hasil panen, sehingga dalam skala nasional pekerjaan perluasan lahan dan intensifikasi tak lagi dalam tekanan berat. Apalagi bila mekanisasi dilanjutkan sampai aplikasi mesin penggilingan atau rice milling unit (RMU) modern. Nilai tambah produk beras akan makin tinggi dan pelaku bisnisnya pun mampu meraih harga premium.
Namun, adopsi teknologi pascapanen dengan memanfaatkan alsintan di lapangan tak selalu mudah. Ada aspek-aspek sosial-ekonomi yang perlu dipertimbangkan. Di daerah sentra produksi yang kekurangan tenaga kerja, kehadiran alsintan sangat membantu. Kendati untuk itu petani atau kelompok tani harus dididik menjadi pengusaha tani. Mereka didorong agar mau berinvestasi membeli alsintan. Di Karawang, Jawa Barat, misalnya, tenaga panen bisa dibilang terbatas. Petani mesti mengantre kelompok pemanen menggarap sawahnya.
Sulawesi Selatan juga termasuk wilayah yang petaninya cukup cepat mengadopsi teknologi. Tak mengherankan bila banyak cerita indah petani, atau tepatnya pengusaha padi, yang berhasil mendongkrak produksi dan penghasilan dari sana.
Sebaliknya, di daerah padat tenaga kerja, seperti di Subang, Jawa Barat, introduksi alsintan ke wilayah itu “mengancam” periuk nasi mereka. Bahkan, ada fakta lapangan, penggunaan combine harvester yang baru memanen 100 meter pertanaman padi terpaksa ditarik dari lahan gara-gara didemo buruh tani. Memang dilematis. Di satu sisi, mekanisasi bakal meningkatkan produksi, di sisi lain sepertinya menghilangkan lapangan kerja. Bila kondisi ini dibiarkan berarti kita menambah beban sektor pertanian. Kepemilikan lahan pertanian yang sekarang saja sudah di bawah setengah hektar per orang bisa saja makin sempit. Di sinilah perlunya pilih dan pilah daerah sentra yang memungkinkan adopsi alsintan dan mana pula yang perlu waktu untuk sosialisasi lebih baik. Harapannya, tujuan peningkatan produksi tercapai, dan semua pihak juga kecipratan untung dari teknologi itu.
Peni Sari Palupi