Jatuh-bangun dalam merintis usaha telah menempanya menjadi pengusaha udang yang sukses.
Tidak memiliki latar belakang keilmuan yang memadai bukan berarti tidak bisa sukses. Ini dibuktikan Haji Mimin Hermawan, pengusaha udang vaname di Mandalawangi, Subang, Jawa Barat. Hanya berbekal pengalaman dan belajar dari keberhasilan teman-temannya, ia telah menjadi salah seorang pengusaha udang vaname yang disegani.
Suksesnya berawal dari usaha budidaya cabai yang kurang memberikan nilai maksimal karena harga produk merosot saat panen tiba. “Modal usaha yang saya keluarkan untuk produksi tak sebanding dengan hasil panen yang saya dapat,” cerita pria yang akrab disapa H. Mimin ini.
Lantas, ada temannya yang mengajak untuk berusaha budidaya udang vaname. Ia pun langsung mengamini. Bekerjasama dengan dua rekannya, Mimin menyewa lahan di Desa Patimban, Kec. Pusakanagara, Subang. “Saat itu, saya langsung banting setir jadi petambak udang,” tandasnya.
Penggagas Mulsa di Tambak
Awal memulai usaha, ayah tiga anak ini buta tentang budidaya udang, baik itu soal pemeliharaan udang, penyakit, maupun pemberian pakan. Keruwetan budidaya “si bongkok” ini membuatnya harus meninggalkan usaha yang baru dirintis bersama sang teman.
Pria asli Kota Subang ini lantas lebih memilih menjadi pemasar atau berjual-beli udang, khususnya udang kebutuhan ekspor. Ternyata bisnis ini memberikan hasil lumayan. Apalagi Mimin mampu menjalin hubungan dengan pembeli dari luar negeri, seperti Singapura dan Korea Selatan. “Usaha di budidaya saat itu kurang menggiurkan uangnya, yang paling enak yah jadi penjual udang,” kenangnya.
Tak berselang lama, pria kelahiran 16 Juni 1967 ini menelan pil pahit, yaitu tertipu. Ketika itu, ada pembeli yang meminta dikirimi udang, tapi setelah barang sampai tujuan tak ada pembayaran. Tak pelak ia mengalami kerugian cukup besar.
Lantas, Mimin merantau ke Sidoarjo, Jawa Timur, untuk mencoba peruntungan. Kali ini, Korea Selatan menjadi negara tujuan ekspor udangnya. Sayang, hasilnya kurang memuaskan dan usaha ini cuma dilakoninya selama 6 bulan.
Sementara itu, budidaya udang yang ditinggalkannya mulai memperlihatkan kondisi membaik. “Saya kembali lagi menekuni usaha budidaya udang dan terus mengembangkannya,” ujar Mimin.
Pada 2006, Mimin menyewa lahan di Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat. Ketangguhannya kembali diuji dengan kegagalan yang datang menerpa. Kali ini kondisi alam yang tidak bisa ditanggulanginya. Tambaknya yang di Pangandaran disapu tsunami, sementara yang di Subang diterjang banjir. Tak pelak modalnya pun ludes. Namun setelah bencana berakhir, justru ia mendapatkan berkah. Pemilik tambak yang disewanya justru ingin menjual tambak.
Berbekal kepercayaan, anak pasangan Surya Gandamanah dan Sri Haryati ini meminjam ke bank meski dengan bunga cukup besar. “Saya harus ambil itu karena saya ingin tetap usaha dan mengembangkan tambak udang,” imbuh pria yang memulai usaha sejak tahun 2000 ini.
Pinjaman tersebut makin menyulut semangat Mimin. Ia pun mempelajari beberapa teknik berbudidaya kemudian menerapkannya di tambak. Salah satu inovasinya adalah memanfaatkan plastik mulsa untuk melapisi dasar tambak udang intensif. "Tidak mudah merintis dan mengembangkan usaha seperti sekarang ini. Saya terus berupaya mencari peluang dan memahami secara jeli budidayanya,” jelas Ketua Shrimp Club Indonesia Jawa Barat ini. Hasilnya, produktivitas meningkat dari 2-3 ton/ha menjadi sekitar 10 ton/ha.
Inovasinya tersebut lantas banyak diaplikasikan petambak di berbagai daerah, seperti Surabaya, Semarang, Cirebon, dan di Kalimantan. “Sistem ini murah dan tepat guna, pertumbuhan udang jauh lebih baik dibandingkan cara biasa. Inilah yang diharapkan petambak, termasuk saya, bahkan tingkat hidup udang bisa lebih baik,” jelasnya.
Penggunaan mulsa bermanfaat untuk menjaga kualitas tanah serta mengurangi pengikisan tanggul dan tanah dasar tambak akibat arus kincir. “Mencegah terjadinya air koloid dan memudahkan terkumpulnya limbah tambak sehingga feeding area lebih bersih,” tambahnya.
Untuk inovasinya itu Kementerian Kelautan dan Perikanan menganugerahi Mimin penghargaan Adibakti Mina Bahari pada 2012 sebagai penggagas penggunaan plastik mulsa di tambak.
Sukses Mimin tak terlepas dari didikan orang tuanya yang selalu mengajarkan kedisiplinan. “Orangtua mendidik saya dengan keras. Waktu kecil, itu saya anggap siksaan. Namun, buahnya saya rasakan kemudian, saya jadi mandiri,” cetus bapak yang acap bicara ceplas- ceplos ini.
Kondisi keuangan orangtuanya yang tak stabil mendorong Mimin muda bekerja sejak masih duduk di bangku SMA. “Saya bekerja dibayar seribu rupiah, tapi saya jalani dengan senang hati,” akunya. Bahkan, ia pun harus memupus cita-cita menjadi insinyur pertanian meski diterima di Universitas Padjadjaran, Bandung. “Yang penting orang tua sudah memberi ilmu tentang hidup mandiri,” tegasnya.
Sejahterakan Petambak
Kegagalan baginya bukan sebuah kehancuran, tapi awal kebangkitan dan keberhasilan. “Demikian pula di agribisnis, tiap kegagalan harus dipelajari penyebabnya. Sebaliknya, kalau berhasil itu karena apa,” ia berpetuah.
Kini, Mimin berusaha agar petambak memiliki nilai tukar produk yang lebih baik. “Kalau ada petambak yang mau belajar dan sharing dengan saya, silakan. Pintu terbuka lebar bagi petambak yang ingin belajar,” tutur Sekretaris DPD I Partai Golkar Subang ini. Mimin juga ingin mewujudkan cita-cita agar petambak udang lebih sejahtera dan menjadikan Subang sebagai “Kota Vaname”.
Kendati demikian, kalau cita-cita tersebut tidak terwujud, ia tak ingin mewariskannya kepada anak-anaknya. Pasalnya, ia ingin mereka tumbuh menjadi dirinya sendiri. “Bahkan, kalau bisa lebih baik dari orang tuanya,” pungkas ayah dari Wahyu Rizki Pratama, Karina Putri Dwiaulia, dan Renaldi Tri Ananda ini.
Tri Mardi Rasa