Minggu, 17 Pebruari 2013

Harus Diatur, Tapi dengan Lebih Baik

Ihwal merajalelanya produk impor hortikultura, terutama buah dan sayuran, memang telah lama jadi sorotan masyarakat. Lihat saja kehadiran jeruk mandarin, apel merah, apel fuji, pir, lengkeng, juga anggur sangat marak, mulai di gerai ritel modern, toko buah, hingga kios pinggir jalan. Bahkan jeruk dan lengkeng dijajakan pengasong di terminal dan kereta listrik Jabodetabek. Meski kualitasnya tak selalu bagus, toh masyarakat menyerbunya.

Dilihat dari volume, menurut Ahmad Dimyati, dari Puslitbang Hortikultura, sebenarnya impor produk hortikultura masih di bawah 10% dari total produksi nasional. Mantan Dirjen Hortikultura ini menambahkan, saat panen raya buah lokal, kehadiran buah impor menurun tajam. Namun, karena penampilannya menarik dengan tingkat keseragaman tinggi, ditunjang penataannya di gerai mencolok, kehadiran produk itu bikin keok beberapa produk domestik.

Menyadari impor yang makin besar dari tahun ke tahun, mula-mula pemerintah mempromosikan buah lokal dengan nilai tambah lebih segar dan lebih sehat. Kurang masif pengaruhnya, mulailah pemerintah mengatur impor dengan membatasi pintu masuk produk hortikultura sejak Juli 2012. Impor hanya boleh masuk lewat Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Soekarno-Hatta Makassar, Belawan Medan, dan Bandara Soekarno-Hatta Tangerang. Pintu utama, yaitu Pelabuhan Tanjung Priok, menjadi terlarang bagi produk hortikultura impor.

Di sinilah importir mulai protes karena mereka butuh biaya lebih untuk membawa produknya ke sekitar Jakarta yang notabene daerah konsumsi paling besar. Resistensi juga datang dari Pemda Jawa Timur, yang merasa terancam dengan kehadiran produk impor, sementara wilayah itu terbilang sentra produksi hortikultura.

Gebrakan terakhir adalah peraturan lintas institusi, yaitu Bappenas, Kemenko Perekonomian, Badan POM, Kementerin, Kementan, dan Kemendag. Semuanya bersepakat mengatur impor lagi dengan melahirkan Permentan No. 60/2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) yang merupakan revisi Permentan No. 3/2012 dan Permendag No. 60/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura (KIPH), yang merupakan revisi Permendag No. 30 & No. 38/2012. Pagar baru ini berlaku mulai 28 September 2012.

Dari aturan itu, diturunkanlah kebijakan mengatur impor 13 komoditas hortikultura periode Januari – Juni 2013. Meski bunyinya mengatur, tapi faktanya tanpa ada penerbitan izin impor pada selang waktu tersebut. Jadi, kesimpulannya ya memang ada pelarangan kendati Adhi S. Lukman, Ketua Umum GAPPMI, lebih suka menggunakan kata pengendalian. 

Pemangku kepentingan lokal tak semuanya menyambut positif kebijakan itu. Mereka beralasan, produksi lokal, baik dari sisi volume maupun kualitas, belum siap. Apalagi infrastruktur belum mendukung. Hasilnya, terjadi kekosongan pasokan. Impor tak bisa masuk, lokal tak cukup. Harga pun melambung signifikan. Sebagian konsumen juga tak rela membayar lebih untuk kualitas yang tak sebanding. Padahal, konsumsi per kapita buah masyarakat kita belum memenuhi standar FAO. Namun tak kurang ada yang melihat sisi positifnya. Permintaan buah lokal meningkat.

Di sisi mitra dagang internasional, kebijakan teranyar ini tentu bikin peluang ekspor mereka berkurang. Amerika Serikat, salah satu pengekspor produk hortikultura ke Indonesia, sampai meminta konsultasi dengan Indonesia di forum WTO pada 10 Januari silam. Negeri adidaya ini menilai pembatasan perdagangan yang diterapkan Indonesia tak adil dan menurunkan akses konsumen Indonesia terhadap produk berkualitas tinggi dari Amerika. 

Terlepas dari kontroversi itu, menurut UU No. 13/2011 tentang Hortikultura, pemerintah dan atau bersama pemda dan pelaku usaha berhak menjaga keseimbangan pasokan dan kebutuhan produk hortikultura setiap saat sampai di tingkat lokal dengan memberikan informasi produksi dan konsumsi yang akurat atau mengendalikan impor dan ekspor.

Bahkan WTO juga memberikan ruang untuk itu. Dalam kasus tertentu, organisasi ini masih memberi peluang anggotanya menerapkan hambatan perdagangan dengan alasan melindungi konsumen, mencegah penyebaran penyakit, dan memproteksi lingkungan.

Toh, kita tentu senang bila produk lokal dapat merajai pasar domestik dengan volume cukup dan kualitas prima. Untuk menjadi raja di negeri sendiri, kita juga perlu mendongkrak daya saing produk sendiri dengan berbagai cara. Menyiapkan infrastruktur, membangun kawasan terintegrasi dengan industri pengguna produk, melatih petani untuk menerapkan best management practices, penerapan pascapanen yang baik, hingga kampanye konsumsi produk dalam negeri.

Bila sudah maksimal, kita bisalah berharap serbuan produk impor tak bikin babak-belur. Jadi, kita masih perlu waktu menguatkan produk lokal sehingga impor tetap perlu diatur pada komoditas yang kita memang punya peluang berjaya. Mengutip pendapat Prof. Bungaran Saragih yang sudah didengungkannya sejak masih menjabat Menteri Pertanian, proteksi sekaligus promosi. Sementara produk lain yang memang tak bisa diproduksi di sini atau bisa diproduksi tapi tak kompetitif, silakan masuk.

Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain