Dalam agribisnis, kita harus menguasai pembibitan dan pengolahan untuk mendapatkan nilai tambah yang tinggi. Dalam mengarungi hidup, janganlah mencla-mencle.
Di antara rantai pasokan agribisnis, mulai input, usahatani, pengolahan, sampai pemasaran, menurut Prof. Dr. Ir. Abdul Aziz Darwis, M.Sc., nilai tambah yang tinggi itu terletak pada input, pengolahan, dan pemasaran. “Nilai tambah pertanian itu di hulu dan di hilir. Kalau dua-duanya nggak kita pegang, kosong aja (yang kita dapat),” katanya.
Hal itu diungkapkan doktor Ilmu dan Teknologi Pangan dari University of the Philippines Los Banos (UPLB) tersebut pada peluncuran buku biografinya, Meniti Jalan Ilahi, di IPB ICC, Bogor, Jawa Barat. Buku setebal 210 halaman ini diterbitkan PT IPB Press.
Salah satu nilai tambah input bersumber dari bibit. Untuk itu, suami Farida Zulfikar Ilyas ini, misalnya, mengembangkan laboratorium kultur jaringan di Pesantren Darul Fallah, Bogor. Banyak bibit yang sudah dihasilkan dari laboratorium ini, seperti pisang, jati, dan kentang. “Laboratorium ini mendapat sertifikat internasional. Sekarang menjadi laboratorium kultur jaringan nomor dua di Indonesia setelah (milik) Monsanto,” ungkapnya bangga.
Bibit sebagai KunciBibit atau benih, menurut anak ketiga dari lima bersaudara ini, merupakan kunci keberhasilan pertanian (agribisnis). “Kalau nggak ada bibit, mau apa itu pertanian. Nah, saya masuk ke sana,” urai pakar bioteknologi tersebut kepada AGRINA usai peluncuran buku.
Ketua Yayasan Rumah Sakit Islam Bogor ini melanjutkan, nilai tambah industri pengolahan juga tinggi. Di Pesantren Darul Fallah, guru besar emeritus IPB Bogor ini misalnya mengembangkan yoghurt. “Harga (yoghurt) lebih tinggi dari susu. Jika susu itu seliter Rp5.000, kalau saya jadikan yoghurt, harganya bisa jadi Rp10 ribu/liter,” katanya.
Sebagai orang yang melewati tiga peperangan (kemerdekaan, PRRI, dan Gestapu), ia sangat merasakan pahitnya kehidupan. “Saya merasakan pahitnya (kehidupan di desa) kalau tidak damai. Inilah yang mendorong saya bekerja di perguruan tinggi. Lebih netral. Saya bisa berbicara dengan mahasiswa, meriset, dan menyebarkan hasil riset,” paparnya.
Pria yang lahir di desa dan lama mengenyam kehidupan di perkotaan ini juga menginginkan titik berat pembangunan harus di desa, terutama melalui agribisnis. Pasalnya, sumber kehidupan di kota itu dari desa, termasuk bahan makanan. Apalagi sekitar 70% rakyat Indonesia itu banyak bermukim di pedesaan.
Karena itulah mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini gundah dengan berkembangnya ekonomi kapitalis di Indonesia. Ia berpendapat, ekonomi kapitalis lebih mendorong individualistik dan materialistik. “Itu (ekonomi kapitalis) tidak cocok dengan kita. Yang cocok itu ekonomi yang berpihak kepada yang lemah,” alasannya.
Selain berusaha menumbuhkan agribisnis di pedesaan sebagai upaya membela kaum dhuafa, ia juga memikirkan pentingnya pengembangan bioteknologi dalam upaya meningkatkan nilai tambah. Salah satunya, konsep Bioisland, yaitu kawasan yang terdiri dari fasilitas dan infrastruktur terpadu untuk penelitian dan pengembangan bioteknologi.
Halal dan Haram
Masalah halal dan haram juga menjadi perhatiannya. Pada Desember 1988, ia bersama Ir. Priyono, KH Sholeh Iskandar, KH Hasan Basri (Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia waktu itu), Dr. Amin Aziz (Sekum MUI) mengadakan rapat di Jl. Bangka, Bogor, di rumah Priyono. Dalam rapat itu tercetus konsep Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM).
Ada tiga misi utama LPPOM MUI. Pertama, penelitian senyawa tidak halal yang digunakan dalam pangan, minuman, obat-obatan, dan kosmetika. Kedua, penelitian dan pengembangan produk alternatif yang halal sebagai pengganti bahan haram. Ketiga, pengecekan (audit) terhadap makanan, minuman, dan obat-obatan tidak halal di lapangan.
Tapi, sebagai inisiator LPPOM MUI, ia kecewa dengan perkembangan lembaga ini. Lho, kenapa? “Misi pokoknya itu bukan benar atau nggak makanan itu halal. Pemberian sertifikat (halal) ini hanyalah alternatif. Misi pokoknya, jika ada bahan makanan tidak halal, dicarikan alternatifnya. Misalnya gelatin (pengemulsi) dari lemak babi, apa bisa diganti dari kedelai. (Bahan) itu yang harus diriset,” tegasnya.
Aziz Darwis memang konsisten dengan pendiriannya. Misalnya, pada 1965, ia berani mencabut poster Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang berafiliasi dengan PKI. Padahal, banyak aktivis CGMI yang dipersenjatai. “Kalau mereka tahu, saya ditembak. Tapi saya yakin dengan kebenaran. Walau saya (harus meninggal), saya memperjuangkan sesuatu,” kenangnya.
Semasa kuliah di UPLB, ia difitnah dekat dengan muslim Moro sehingga paspornya pernah akan dicabut pemerintah Indonesia. Apalagi semasa di Filipina ia terlibat dalam membentuk International Moslem Student Association (IMSA), mengadakan Moslem Week, dan mendirikan Islamic Centre. Tak pelak dirinya sempat dimintai klarifikasi oleh Kedubes Indonesia. Untunglah pihak kedutaan bisa mengerti kiprahnya.
Pilihan dan Risiko
Dalam kehidupan, Aziz Darwis memang teguh dengan pilihan hidupnya. “Setiap orang bebas memilih, tapi juga harus berani untuk menerima risiko. Hanya saja bagaimana meminimalisir risiko itu,” jelasnya.
Toh, bagi Aziz, sampai hari ini risiko besar akibat keputusan jalan hidupnya tidak pernah datang. “Kalau kita berani menanggung risiko dan kita yakin, Allah akan melindungi. Tapi jika Anda ragu-ragu dalam sesuatu, Anda akan kena (risiko),” katanya.
Karena itu ia prihatin melihat banyak orang mencla-mencle. “Sekarang ini, sebagian besar orang mencari aman. Sayang, dia mencari aman bukan kepada yang menciptakan (Allah),” ujarnya menutup obrolan.
Syatrya Utama
Tanggal Lahir : Senin, 5 November 1942
Tempat lahir : Desa Subarang, Kenagarian Bukikbatabuah, Agam, Sumatera Barat
Nama istri : Farida Zulfikar Ilyas
Orangtua : Darwis Angku Mangiang dan Rohana
Pendidikan : 1. Sarjana Perikanan (Teknologi Hasil Laut) Faperikan IPB (1967)
2. Ph.D dari University of the Philippines Los Banos/UPLB (1981)
Karir :
1. Dosen Teknologi Ikan Departemen Hasil Pertanian, Fatemeta IPB
2. Ketua Jurusan Teknologi Industri Pertanian IPB (1981 – 1985)
3. Direktur PAU Bioteknologi IPB (1992 – 1998)
4. Asisten Menristek di bidang Pengembangan IPTEK (1998 – 2004)