Kuota impor daging sapi tiba-tiba jadi pembicaraan hangat di seluruh negeri. Yang memilukan, ini terjadi lantaran terkuaknya dugaan skandal suap yang melibatkan petinggi salah satu partai dan direksi salah satu perusahaan importir.
Kasus ini mengejutkan bukan hanya karena duit suap Rp1 miliar, tapi juga lantaran sudah jauh hari kuota impor daging sapi untuk 2013 telah ditetapkan. Seperti diungkapkan Menteri Pertanian Suswono, Jumat (1/2), mekanisme penentuan kuota itu dilaksanakan tiga kementerian, yaitu Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan, di bawah payung Kementerian Koordinator Perekonomian.
Hasilnya, kuota impor tahun ini 80 ribu ton setara daging sapi. Dari jumlah itu, 40% atau 32 ribu ton impor dalam bentuk daging beku dan 60% dalam bentuk sapi bakalan 267 ribu ekor. Sapi bakalan yang berbobot setara daging 100 kg/ekor ini setelah digemukkan 90 hari bobotnya jadi 180 kg setara daging/ekor. Maka dari total sapi bakalan impor yang digemukkan ini diperoleh 48 ribu ton setara daging.
Menurut Suswono, mekanisme kuota sangat terbuka, dengan kriteria yang jelas pula sehingga siapa dapat berapa sudah diketahui 67 perusahaan (khusus importir daging beku) yang tahun ini kebagian jatah. Kok, bisa ada dugaan skandal suap yang kini diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu?
Sampai 2012, pelaku impor (dalam bentuk daging beku) hanya 30 perusahaan, sedangkan tahun ini ada 67 perusahaan. Tentang ini, Thomas Sembiring, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Importir Daging Sapi Indonesia (Aspidi), berucap, “Dipukul rata, masing-masing hanya 500 ton. Dievaluasilah.”
Kenyataannya? Data terbaru yang dilansir Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Jumat (1/2), satu perusahaan yang diduga terlibat skandal suap ini mendapat jatah impor daging beku 15% untuk industri dan 3% bagi hotel, restoran, dan katering (horeka), sehingga totalnya 18%. Jatah 18% itu bermakna 5.760 ton daging sapi beku. Sisanya, 26.240 ribu ton, diperebutkan 66 perusahaan.
Mengapa banyak yang tergiur memasok daging sapi? Seperti dipublikasikan McKinsey Global Institute (MGI), September 2012, lewat laporan The archipelago economy: Unleasing Indonesia’s potential, tahun 2011 peringkat perekonomian negeri ini pada urutan ke-16 dunia, dengan indikator Produk Domestik Bruto atas harga berlaku sekitar US$0,8 triliun. Diprediksi pula, pada 2030 Indonesia di peringkat ke-7, di atas Jerman dan Inggris.
Tergambar juga, mobilitas penduduk yang naik ke kelas menengah tinggi sekali. Pada 2030 itu, 135 juta orang berada di ranah middle class. Seperti diungkapkan Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec., Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB, dampaknya adalah perubahan kebutuhan hidup pada masyarakat Indonesia tadi. Pola konsumsi masyarakat, misalnya, bakal bergeser dari makanan pokok ke sayur-mayur, buah-buahan, daging, susu, telur, dan ikan.
Khusus daging sapi, perubahan pola konsumsi itu gamblang terbaca. Tahun ini saja tingkat konsumsi per kapita/tahun mencapai 2,2 kg, naik dari sebelumnya yang hanya 1,9 kg. Kebutuhan total daging kini sekitar 500 ribu ton, naik dari tahun sebelumnya yang 480 ribu ton. Bayangkan, kebutuhan daging sapi pada 2030!
Repotnya, bagaimana jika terjadi salah hitung dalam penetapan kuota impor itu, mengingat cepatnya pertumbuhan kelas menengah tadi? Soalnya, harga daging sapi di pasar sampai menembus Rp90 ribu – Rp100 ribu/kg, yang disebut-sebut termahal di dunia karena harga di pasar internasional berkisar US$5–US$6/kg.
Seorang pengusaha pernah menghitung. Jika konsumsi daging sapi 2,2 kg/kapita/tahun, semestinya kebutuhan daging sapi nasional tahun ini sekitar 520 ribu ton. Kemampuan sapi lokal untuk memenuhi kebutuhan itu sekitar 400 ribu ton atau 77%. Berarti diperlukan impor 120 ribu ton setara daging sapi.
Apa maknanya? Artinya pasar daging sapi di Indonesia terbuka lebar. Persoalannya, siapa yang akan memanfaatkan pasar ini? Perusahaan importir daging beku, yang tidak memerlukan banyak investasi? Atau perusahaan penggemukan sapi, yang jika dihitung total investasinya (dari puluhan perusahaan penggemukan sapi) sudah mencapai Rp1 triliun? Di sinilah diperlukan kebijakan pemerintah yang kondusif.
Dalam jangka pendek, termasuk memenuhi kebutuhan daging sapi yang bermutu seperti untuk hotel dan restoran kelas atas, masih diperlukan impor daging bermutu. Juga untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan, masih diperlukan impor. Tapi, dalam jangka panjang, untuk mendapatkan nilai tambah yang relatif tinggi, mendorong industri penggemukan dan peternakan sapi rakyat sangat diperlukan.
Namun, jika dugaan skandal suap ini memang benar, maka dorongan untuk mengimpor daging beku semakin besar. Selain inefisiensi birokrasi, seperti dikatakan Arief, korupsi merupakan faktor utama menghambat daya saing pembangunan agribisnis di Indonesia. Dan, dalam jangka panjang, korupsi ini bisa menjadi musuh utama dalam meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia.
Betapa berabenya jika langkah membangun agribisnis terus diganggu kejadian semacam ini….
Syaiful Hakim