Merebaknya serangan virus avian influenza (AI) H5N1 varian baru 2.3.2 pada itik alias bebek sejak September silam terasa menyentak perhatian. Unggas yang selama ini dianggap “sakti” terhadap H5N1 pada ayam, akhirnya takluk juga. Ratusan ribu itik pun meregang nyawa gara-gara invasi virus yang sampai sekarang masih misterius asal-muasalnya itu.
Kasus ini mengingatkan kita kembali pada serbuan H5N1 yang lebih dulu mampir pada ayam ras nasional satu dekade lalu. Miliaran rupiah melayang akibat daya rusak virus varian 2.1.1, 2.1.2, dan 2.1.3. Dan sampai sekarang, virus ini masih betah hidup di Indonesia menjadi virus endemik. Kita juga pasti tidak lupa, virus itu telah merenggut jiwa manusia. Na’udzubillahi mindzalik. Jangan sampai kejadian lagi.
Terlepas dari argumentasi ilmiah yang berbeda di antara para pakar tentang kedatangan musuh besar unggas itu, AGRINA kali ini mengetengahkan antisipasi yang sebaiknya dilakukan masyarakat agar dampaknya lebih terkendali. Tidak hanya pada itik, tapi juga mencegah penularan yang jauh lebih merugikan bagi industri ayam ras. Industri ayam dan telur yang menghasilkan transaksi senilai Rp55 triliun ini jelas perlu dibentengi dari keambrukan lantaran berpotensi menyeret banyak sektor di hulunya.
Penelusuran di sentra-sentra itik memperlihatkan masih jarang peternak memelihara dengan sistem intensif. Kebanyakan itik masih digembalakan untuk menekan biaya pakan. Penggembalaan ke daerah lain ini bisa menjadi salah satu cara penyebaran virus yang perlu dihindari. Tak mudah memang mengubah kebiasaan peternak yang berlangsung berpuluh tahun tersebut. Para pakar menganjurkan peternak untuk mengandangkan ternak mereka supaya gampang disemprot disinfektan.
Dalam mengandangkan itik, mereka juga perlu disadarkan tentang pentingnya mengatur kepadatan per meter persegi. Prof. Emerita Peni S. Hardjosworo, pakar itik dari Fakultas Peternakan IPB yang banyak melakukan studi tentang itik menyoroti hal ini. Kebanyakan peternak terlalu irit tempat, sehingga sang itik berdesak-desakan. Kotoran yang cenderung encer mengumbar amonia yang bikin ternak ini gampang sakit.
Para dokter hewan menganjurkan, dalam situasi virus yang masih belum sepenuhnya terkendali itu, kandang rada sering disemprot dengan disinfektan. Cara seperti ini dulu cukup ampuh mencegah masuknya virus ke beberapa kandang ayam petelur di daerah Penebel, Tabanan, Bali.
Penyucihamaan tidak sebatas di kandang, tapi itik yang diantardaerahkan pun perlu diamankan. Di satu sisi, ini mencegah penyebaran virus, namun di sisi ekonomi membikin warung-warung bebek kelabakan akibat kekurangan pasokan. Mungkin ke depannya kita perlu membangun rantai pasok yang dingin dan higienis. Pasokan tak lagi berbentuk unggas hidup, melainkan berupa karkas beku. Pemotongan itik dilakukan di rumah-rumah potong seperti yang sudah banyak dilaksanakan pada industri ayam ras.
Proses pemotongan, menurut pakar, juga termasuk yang tidak boleh luput dari perhatian. Demi menghindari terpapar virus baru, si pemotong hendaknya menutup mulut dan hidungnya lantaran organ pernapasanlah yang dulu juga diincar virus varian lama. Jangan pula terlalu sayang untuk memusnahkan itik yang sakit.
Kalaupun terpaksa memusnahkan itik sakit, seyogianya jangan pula berharap mendapatkan penggantian kerugian dari pemerintah. Anggap saja itu bagian dari risiko bisnis budidaya itik yang selama ini mungkin belum diperhitungkan karena belum pernah terjadi.
Sebenarnya, menurut Prof. Peni, risiko penyakit yang perlu diatasi juga bukan sekadar AI, cacing dan bakteri Pasteurella. Karena itu, ia mengusulkan dinas peternakan di daerah membuat panduan pencegahan penyakit pada itik dan kemudian disosialisasikan kepada para peternak.
Sembari menunggu produksi vaksin yang kini tengah diupayakan produsen vaksin, pemerintah menganjurkan penggunaan vaksin lama untuk ayam, tetapi harus ada pengulangan. Meskipun ada juga yang mengkhawatirkan langkah ini bakal memicu mutasi si virus. Kita tunggu saja langkah para produsen vaksin yang kini tengah membentengi sekaligus dua komoditas, itik dan ayam ras.
Kita memang sebaiknya pintar mengambil pelajaran dari kasus terdahulu. Sebab, akibat kepanikan dan ketidaksabaran, peternak waktu itu menggunakan segala vaksin yang ditawarkan, termasuk vaksin ilegal untuk mencoba mengamankan ternak mereka. Bisa jadi, inilah salah satu penyebab kayanya bumi Indonesia akan varian virus AI.
Vaksin memang bukan satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan peternakan itik di Nusantara ini. Pasalnya, keberhasilan vaksinasi ditopang banyak hal. Mulai dari efikasi vaksin, cara memvaksin, juga biosekuriti. Yang terakhir ini justru garda pertamanya supaya itik tak sampai terkena penyakit, tak cuma AI.
Pengamanan itik dari virus anyar ini memang perlu diperjuangkan bersama-sama. Selain empati terhadap para peternak rakyat yang rata-rata berskala kecil, keberpihakan kolektif ini penting dikembangkan agar itik tak lagi menjadi anak tiri di negeri sendiri. Bersediakah kita melaksanakannya, sungguh-sungguh, tanpa banyak berbasa-basi lagi?
Peni Sari Palupi