Minggu, 6 Januari 2013

Made Yudiasa Idamkan Petani Pulau Dewata Makmur

Akibat pembangunan menggebu, kelestarian alam Bali pun terancam. Untunglah, masih ada putra daerah yang gigih berjuang demi konservasi hutan dan penghijauan. 

Terlahir sebagai anak dari keluarga petani di Kabupaten Buleleng, Bali, Made Yudiasa merasa tidak puas dengan hasil yang diperoleh para petani di kampung halamannya. Ketidakmampuan memperoleh manfaat maksimal dari potensi yang ada itu lalu memotivasinya untuk ulet memperjuangkan nasib sesama petani.

“Hasil yang kurang maksimal juga membuat petani kehilangan semangat untuk berbudidaya,” tutur Made kepada AGRINA di salah satu lahan pertaniannya seluas setengah  hektar di Desa Kedis, Kec. Busungbiu.

Lelaki kelahiran Desa Bengkel, Busungbiu, 1 April 1979, ini pun lantas bertekad mengubah keadaan. Ia, misalnya, mulai menekuni perikanan budidaya secara mendalam pada 2007.  “Saya tak ingin baru mulai usaha tapi langsung gulung tikar,” ungkap Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Pemuda Tani Indonesia, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Provinsi Bali ini.

Solusi Pascapanen

Yang pertama dipelajarinya adalah budidaya lele. Sebelum akhirnya menguasai teknik budidaya lele dengan benar dan menguntungkan, ia harus rela kehilangan 100 ribu bibit lele dari kolamnya karena salah urus. “Setelah menguasai ilmunya, saya baru mulai usaha. Saya ingin konsisten, jadi tiap komoditas selalu saya pelajari dulu,” timpalnya.

Setelah itu, usahanya berkembang pesat. Dua tahun menekuni lele, ia mengembangkan lagi nila. Belum puas, ia merambah ke peternakan sapi bali, padi, toko sarana pertanian, dan kebun pembibitan. “Untuk padi, saya ada sawah satu hektar yang ditanami padi Ciherang di Desa Bengkel.” tambahnya.  

Sesuai tekadnya untuk membuat petani makmur, Made mulai memperkenalkan sistem kemitraan. Ia mengupayakan agar kelompok tani mampu mengakses permodalan. Made pun membina 7 kelompok tani di 7 desa di bidang budidaya lele, nila, dan gurami yang tergabung dalam Paguyuban Eka Mina Santi.

Dari pengalamannya selama ini, Made memahami betul kesulitan pembudidaya dalam penanganan pascapanen. Misalnya, dibutuhkan semacam lembaga penyangga yang bisa menampung hasil panen. “Pengepul modalnya terbatas untuk menampung jika panen booming. Memang pemerintah sudah bantu dengan kredit budidaya. Tapi, agaknya masih harus ada bantuan pada pengepul agar produksi petani tak terputus,” usulnya seraya menegaskan tekadnya membentuk koperasi simpan-pinjam untuk pembudidaya ikan.

Penyelamatan Sapi Bali

Tapi, itu baru langkahnya di perikanan. Padahal, bidang yang ingin dimajukan Made demikian luas, dari perikanan, pertanian, peternakan, perkebunan hingga kehutanan. Untuk kehutanan saja, contohnya, ada 32 kelompok tani yang saat ini dibinanya. Tak mengherankan jika akhirnya kelompok tani binaannya mencapai 150 untuk seluruh Buleleng.

Di subsektor peternakan, Made juga tak ketinggalan mengupayakan pembibitan sapi bali. “Di Desa Subuk, saya mengembangkan pembibitan sapi bali dengan memelihara 24 ekor. Di Desa Bengkel juga tengah disiapkan lagi pembibitan dengan 33 ekor sapi bali,” tutur lulusan Fakultas Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Terbuka ini.

Terkait perkembangan sapi bali, ia mencermati kenaikan harga yang disebutnya cukup fantastis. Sebulan menjelang 2013, seekor pedet dihargai Rp3 juta- Rp 4 juta, padahal sebelumnya Rp2,5 juta. Memang, imbuh Made, hal ini meningkatkan pendapatan peternak. Tapi, pemerintah juga perlu memikirkan penciptaan bibit yang tergerus langkah peternak menjual sapinya karena harga tinggi ini. “Di sinilah pentingnya program penyelamatan sapi betina demi pengamanan bibit sapi,” katanya mewanti-wanti.

Pelestarian Lingkungan

Saat ini yang juga getol diperjuangkannya adalah pelestarian lingkungan alam Bali. “Bali itu pulau kecil tapi banyak dikejar orang. Tingkat kerusakan alamnya tinggi,” ungkap duda satu anaknya ini. Contoh, pesatnya pembangunan vila dan hotel di kawasan resapan air. Andai pembangunan itu terus berlanjut, tambahnya, bisa saja menyebabkan kerusakan hutan dan hilangnya air tanah. Apalagi, Buleleng adalah satu kabupaten yang dianugerahi dua danau, yakni Danau Buyan dan Tamblingan, sebagai tempat penampungan air. 

Rusaknya hutan dan hilangnya daerah resapan air jelas bakal membuat petani pembudidaya ikan kesulitan. “Otomatis nanti kami tak bisa pelihara ikan lagi,” tandasnya. Karena itu ia terus menggalakkan upaya konservasi hutan dan penghijauan. Untuk penghjauan, tak segan ditebarnya bibit mahoni gratis bagi masyarakat. Pada sejumlah ruas jalan dengan mudah bisa dilihat barisan tanaman muda.      

Di sejumlah lokasi kebunnya, ia pun tengah mengembangkan pembibitan tanaman penghasil kayu, seperti mahoni, jabon, gamelina, dan sengon. Untuk upaya konservasi hutan di sejumlah kawasan di Buleleng itu ia bekerjasama dengan lembaga adat desa, dinas kehutanan, dan kelompok tani.

“Kami ingin ciptakan kawasan-kawasan hutan rakyat yang lima tahun lagi bisa dimanfaatkan hasil kayunya sehingga desa-desa di sini menjadi kaya. Dengan menjadi sentra kayu, tentu bisa menjawab kebutuhan kayu dunia,” timpalnya.

Memang, saat ini upaya konservasi hutan dan penghijauan lingkungan alam itu masih dalam skala Buleleng. Tapi, bukan berarti Made tak berusaha menyebarluaskan “virus” pelestarian alam itu. “Langkah serupa di kabupaten lain juga saya dorong lewat DPD Pemuda Tani HKTI Bali. Arahnya nanti kesejahteraan petani,” timpal Made mengakhiri percakapan dengan AGRINA.

Syaiful Hakim

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain