Minggu, 6 Januari 2013

Mematil Rezeki dari Lele

Lele itu membawa nikmat. Meski patilnya tajam, tetapi dari pengolahan ikan yang berkumis ini, setiap bulan Anda bisa meraup omzet sampai ratusan juta rupiah. Anda bisa bergerak pada olahan kuliner (seperti restoran dan warung pecel lele) atau olahan massal (seperti keripik, kerupuk, abon, bakso, sosis, nuget, surimi, rollade, ataupun kaki naga).

Bayangkanlah, Anda membuka restoran lele, seperti yang dilakukan Yogi Indrayana, pemilik Patilele di Bandung, Jawa Barat. Atau Romelan, sang empunya Pecel Lele Ny. Hartini di Kotabaru, Jambi. Atau Ferry Setiadi, juragan Raja Lele di Bekasi, Jawa Barat. Atau seperti dilakukan Rangga Umara, bos restoran Pecel Lele Lela di Jakarta.

Ukuran lele sebagai bahan bakunya bermacam-macam, mulai dari size (ukuran) 5 (5 ekor/kg atau 200 gr/ekor) sampai size 8 (sebanyak 8 ekor/kg atau 125 gr/ekor). Jenis lele yang digunakan bisa Dumbo, Masamo, atau Sangkuriang. Ukuran dan jenis lele yang digunakan tergantung pada segmen pasar dan daerah sasaran.

Coba umpamakan memilih lele Sangkuriang size 6 seperti yang diterapkan Patilele. Katakanlah setiap cabang bisa menjual minimal 50 kg (300 ekor) lele/hari. Harga satu paket atau porsi pecel lele (nasi, satu ekor lele goreng, lalapan, tempe-tahu, dan sambal) Rp9.000. Omzetnya mencapai Rp2,7 juta/hari atau sekitar Rp81 juta/bulan. Dengan memiliki empat cabang, berarti mampu meraup omzet minimal sekitar Rp324 juta/bulan.

Biasanya keuntungan bersih bisnis restoran itu berkisar 30% sampai 100%. Jika strateginya adalah meraup margin yang tinggi, maka penentuan harga jualnya relatif lebih tinggi. Tetapi jika yang dikejar volume penjualan, maka penetapan harga jualnya relatif rendah. Warung pecel lele jelas lebih mengejar volume penjualan.

Dalam bahasa Yogi, restoran yang tradisional-modern. Bahannya tradisional, tetapi kemasannya secara modern. Jika dulu lele dianggap makanan murah pinggiran, tetapi kini naik kelas menjadi makanan murah dengan tempat yang lebih layak alias modern.

Konsumen restoran berbasis lele ini tidak hanya kalangan menengah-bawah, tapi juga kalangan menengah atas. Tetapi sebagai pengusaha, tentu Anda harus memilih siapa yang akan menjadi pasar sasaran (target market). Yogi lebih memilih kalangan menengah bawah, seperti mahasiswa dan karyawan. Yang dicarinya, loyalitas pembeli, sehingga yang menjadi strateginya adalah volume penjualan yang tinggi, bukan margin yang tinggi.

Jika Anda memilih segmen atau komunitas kelas menengah-bawah, penentuan lokasi restoran harus oke. Misalnya tempat yang dekat dengan kampus atau mal-mal, karena bisa mengincar kalangan mahasiswa dan karyawan. Selain ramai dan bisa diakses 24 jam, dalam memilih lokasi juga harus memperhatikan keberadaaan warung pecel lele. Karena keberadaan warung kaki lima ini juga dapat menjadi pesaing restoran.

Menu yang ditawarkan dapat menjadi salah satu daya tarik restoran lele. Seperti yang ditawarkan Raja Lele, ada rollade, sup bola lele, dan otak-otak. Ada juga yang menawarkan lele goreng atau original, lele saus padang, lele tepung (idenya dari tempura) fillet, lele kremes, lele bakar, dan lele asap. Selain menu berbasis lele, kadang-kadang dilengkapi juga menu pendamping yang berbasis ayam, bebek, gurami, cumi, atau udang.

Yang tidak kalah penting, yang menjadi keunggulan masing-masing restoran lele terletak pada sambalnya. Misalnya Raja Lele menawarkan sambal original (lebih berasa terasi), judes (pedes banget), ijo, asam manis, lada hitam, dan sambal asap. Biasanya, pada bumbu sambal inilah yang menjadi rahasia keberhasilan bisnis pecel lele.

Keunggulan pada konten (rasa), keunggulan pada konteks (cara penyajian), atau keunggulan pada infrastruktur (seperti sumberdaya manusia, lokasi, dan tampilan restoran) belumlah cukup jika ingin berbisnis jangka panjang. Ketiga keunggulan ini perlu dipayungi dengan merek sebagai penciri bagi konsumen dalam memilih pecel lele.

Dengan menggunakan merek, yang didukung keunggulan konten, konteks, atau infrastruktur yang cocok dengan pasar sasaran, maka dalam jangka panjang akan terbangun loyalitas. Konsumen tidak lagi sekadar menikmati makanan yang enak dengan harga sepadan, tetapi juga menikmati makanan lezat yang mudah penciriannya.

Dalam konsep agribisnis, restoran merupakan salah satu rantai yang berpengaruh sangat besar dalam mendorong peningkatan konsumsi lele di Indonesia. Diperkirakan, pada saat ini, secara nasional produksi lele sekitar 400 ribu ton atau sekitar 1,6 kg/kapita/tahun.

Bayangkan, jika industri pengolahan lele berkembang pesat, yang didukung dengan peningkatan konsumsi ikan berkumis ini, betapa besar perputaran uang pada agribisnis lele ini. Pada tingkat on-farm (usaha tani) saja, misalnya, dengan harga lele segar sekitar Rp 14.000/kg, maka omzetnya sekitar Rp5,6 triliun, termasuk marjin sekitar Rp2 triliun.

Belum lagi omzet dari industri pengolahannya, baik olahan kuliner maupun olahan massal. Jangan sampai Anda terpatil oleh patil lele yang bisa membuat Anda menggigil, tetapi lebih baik “menggigil” karena terpatil pada rezeki yang melimpah dari restoran lele.

Syatrya Utama

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain