Pengalaman membuat bakso mengantarkan Karnadi menjadi wirausaha olahan daging, pemilik RPH serta penggemukan dan pembibitan sapi.
Semua itu berawal dari seringnya ia melihat usaha yang digeluti mertuanya, seorang pembuat bakso rumahan. Suatu hari, ia pun memutuskan keluar dari tempatnya bekerja untuk turut melakoni usaha pembuatan bakso.
Berbekal pinjaman dari mertua Rp12 juta, pada 1989 Karnadi Winaga merintis usaha barunya. “Uang itu untuk mengontrak tempat usaha selama enam tahun dan modal usaha,” ungkap Direktur PT Sumber Prima Anugrah Abadi ini.
Dari 25 Kg Daging
Awalnya ia mengolah 25 kg daging sapi tiap hari. Rutinitas memproduksi bakso ini dijalaninya dengan dukungan istri. Produksinya dijual sendiri ke beberapa pasar di sekitar rumahnya. “Saya menggunakan sepeda motor untuk mengirim ke pelanggan,” kenang ayah dua anak ini. Ia lalu meluaskan pemasaran ke beberapa pasar Cipinang, Jatinegara, Kebayoran Lama, dan Kramat Jati, semuanya di Jakarta.
Semangatnya makin menggebu saat utang modalnya lunas. Bahkan, sang mertua menghibahkan Rp4 juta dari sebagian utang yang terlunasi. “Lumayan, untuk menambah modal,” cetus pria kelahiran 17 April 1964 ini. Permintaan terhadap produksi baksonya pun makin besar lantaran konsumen makin mengenal bakso buatannya.
Perjalanan bisnis Karnadi tidaklah selalu mulus. Baksonya pernah ditolak pedagang, dibuang, dan dikembalikan gara-gara telat kirim. “Sejak itu saya tidak mau telat dan lebih menghormati mitra bisnis serta mengirim pesanan sebelum batas waktu,” cerita suami Oei Fendriani ini. Tak hanya itu, karena keteledorannya, jari manis tangan kanannya hampir putus akibat masuk ke dalam mesin penggiling bakso manual.
Kepercayaan diri Karnadi terus tumbuh sehingga usahanya kian berkembang. Pada 1993, bapak yang juga Direktur PT Karya Anugerah Rumpin ini memberanikan diri membeli sebidang tanah di Panunggangan, Karawaci, Tangerang, Banten. Di sinilah ia membangun perusahaan produsen bakso bernama Sumber Prima Anugrah Abadi.
Namun, pemilik olahan daging bermerek Sosis Harmoni dan Sumber Selera ini kerap kewalahan dengan naik-turunnya pasokan bahan baku. Saat pasar sepi, kiriman daging banyak. Tapi pas pesanan banyak, ia malah dikirimi daging sedikit. “Kalau saya bisa jadi pengusaha daging sapi, saya tentu bisa memproduksi banyak bakso. Dan kalau orang tidak dapat suplai daging, saya tetap bisa membuat bakso,” pikir ayah dari Audiany Sari Winaga dan Joshua Kelvin Winaga kala itu.
Karena itu, pada 1998, Karnadi coba merintis penggemukan sapi hingga layak potong meski hanya dua ekor. Hitung-hitungan dia, penggemukan sapi cukup menguntungkan. Apalagi, jika skala usahanya lebih besar. Semakin terpaculah ia mengembangkan usaha penggemukan sapi, sekaligus belajar memotong sapi secara halal. Karena itu, setahun kemudian, ia membangun rumah pemotongan hewan (RPH) di dekat pabrik baksonya.
Seiring waktu, RPH miliknya bisa memotong 200 ekor sapi sehari untuk diproses menjadi bakso dan menghasilkan daging untuk pasar Tangerang. RPH modern dengan standar internasional ini pun menjadi salah satu RPH percontohan di Indonesia. Di RPH inilah pria yang senang berinovasi itu sering melihat bibit-bibit sapi lokal berkualitas harus dipotong. “Kalau ada sapi bagus, saya ambil dan kembangbiakkan secara alami. Tapi jumlahnya sedikit karena terbentur modal,” jelasnya.
Kembangkan Pembibitan
Tak puas hanya menjadi pemilik RPH dan usaha pengolahan daging sapi, dengan modal cekak ia mencoba mengembangkan pembibitan sapi di bilangan Rumpin, Bogor. Ia berpandangan, sebaiknya pelaku usaha penggemukan sapi juga melakukan pembibitan, terutama sapi lokal. Pasalnya, populasi sapi lokal kini makin terjepit. “Memang pembibitan kurang menarik karena untungnya tidak cepat. Tapi, harus dilakukan guna menyelamatkan sapi lokal dan mengantisipasi kekurangan sapi,” bebernya.
Kemudian ia mengumpulkan sapi lokal unggul untuk dikawinsilangkan dengan sapi unggul lainnya. “Dengan keberhasilan cara ini, kita bisa mengurangi sedikit demi sedikit sapi bakalan dari luar,” kilahnya. Selain itu, kita juga sekaligus melakukan perbaikan dan pemurnian genetik sapi lokal dan membantu pendataan sapi agar terhindar dari kawin satu keturunan.
Saat ini, Karnadi juga diminta menjadi konsultan bagi badan usaha milik daerah (BUMD) Pemprov Nusa Tenggara Barat (NTB). Yaitu, PT Gerbang NTB Emas (GNE) yang tengah mengelola RPH Banyumulek di Kabupaten Lombok Barat. RPH ini akan dikembangkan menjadi Meat Business Centre (MBC) oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai bagian dari pengembangan Sistem Inovasi Daerah (SIDa) oleh Kementerian Riset dan Teknologi. "Saya akan mengawal pengembangan RPH Banyumulek sekaligus memberikan masukan agar nilai ekonomi sapi meningkat," ujarnya.
Karnadi berharap bisa berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Paling tidak, ia telah membuktikan kemampuannya mengembangkan bisnis, dari hanya pemilik usaha rumahan sampai bisa mempekerjakan ratusan orang. Sampai hari ini ia juga terus menjalankan perannya membantu pemerintah mencapai swasembada daging sapi. Semoga berhasil.
Tri Mardi Rasa