Senin, 10 Desember 2012

Lemahnya Daya Saing dan Etika Kerja yang Buruk

Dalam “Agribusiness Outlook 2013” yang digelar tabloid ini di Jakarta, pekan lalu, salah seorang pembicara, Bustanul Arifin, mengungkapkan bahwa revitalisasi yang dilaksanakan pada perkebunan karet kita masih sangat rendah. Padahal, peremajaan tanaman karet tua merupakan hal yang sangat penting.

Setidaknya, apa yang disampaikan Guru Besar Universitas Lampung itu bisa memberikan sedikit gambaran kepada kita mengenai sejauh mana upaya peningkatan produksi yang dicanangkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan), melalui program peremajaan tanaman karet 2012.

Betapa pentingnya peremajaan itu lantaran dari sisi usaha budidaya tanaman karet seluas 3,445 juta ha sebenarnya 85%-nya (2,934 juta ha) merupakan perkebunan rakyat. Apa artinya? Tentulah itu bermakna sebagian besar kondisi kebun masih berisikan tanaman karet tua yang kurang terawat, tidak dipupuk, menggunakan benih asalan, dan mutu bokar yang rendah. Tak pelak, kondisi itu akan menghasilkan produktivitas yang masih jauh di bawah potensi normal.

Jika dibandingkan, produktivitas kebun yang diolah oleh pengusaha kecil atau petani itu masih lebih rendah sekitar 30% dibanding hasil perkebunan swasta besar atau BUMN. Lihat saja, pada 2011, produktivitas kebun karet rakyat baru 926 kg/ha tiap tahun. Hasil itu jauh di bawah produktivitas perkebunan negara yang 1.327 kg/ha tiap tahun.

Apalagi, kalau dibanding dengan produktivitas perkebunan besar swasta yang sudah mencapai 1.565 kg/ha tiap tahun. Jelas, keuntungan petani bakal jauh dari harapan.

Bukan hanya kesejahteraan petani yang tersendat, tapi juga manfaat lain, sebagai multiplier effect, yang akan terganjal bila luasan peremajaan masih rendah. Sebutlah kesempatan dan peluang kerja baru. Dari aspek penyerapan tenaga kerja, saat ini pertanaman karet mampu menyerap lebih dari 2 juta tenaga kerja, belum termasuk tenaga kerja subsistem lainnya.

Jelas, ada sejumlah tujuan mulia lain di samping terbukanya kesempatan kerja baru. Seperti tujuan menjaga kelestarian lingkungan hidup, percepatan peremajaan karet di sentra produksi karet rakyat, dan peningkatan produksi dan produktivitas karet rakyat itu sendiri.

Achmad Mangga Barani, Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB), yang juga berbicara pada acara itu, pun memaparkan sejumlah kelemahan dunia perkebunan. Berbicara perkebunan, menurut mantan Dirjen Perkebunan ini, sejatinya berbicara tentang kebun rakyat. Dan menyangkut yang satu ini banyak masalahnya. Pertama adalah produktivitas yang  rendah.

Jadi, yang perlu dikerjakan saat ini adalah melakukan intensifikasi yang sebesar-besarnya sehingga negeri ini tetap menjadi produsen hasil perkebunan yang terbesar di dunia. Namun, diakuinya, perwujudan langkah intensifikasi tidaklah mudah. Misalnya, bagaimana intensifikasi berjalan sesuai keinginan dan harapan bila pupuk untuk tanaman perkebunan tak disubsidi?

Itu sebabnya, ditekankan Mangga Barani, betapa soal intensifikasi harus jadi perhatian bersama. Semua pihak diajaknya menjadikan masalah intensifikasi sebagai pekerjaan rumah (PR). Ia meyakini jika pelaksanaan intensifikasi berlangsung dengan baik, maka angka ekspor hasil perkebunan negeri ini pun bakal melonjak. Termasuk, tak ada lagi produk perkebunan Indonesia yang ditolak negara konsumen..

Mangga Barani juga menilai masih lemahnya pembangunan infrastruktur guna mendukung peningkatan hasil perkebunan. Digambarkannya, sebagus apapun hasil produksi, tapi bila sarana jalannya buruk, maka produksi yang bagus itu seolah tak ada artinya.

Mencermati daya saing negeri ini, ia pun memprihatinkan benar terjadinya penurunan peringkat Indonesia yang kini bercokol pada posisi 55 lantaran sebelumnya berada pada posisi 50. Ia pun memastikan penyebab menurunnya peringkat daya saing tadi adalah birokrasi yang tidak efisien, dengan etika kerja yang buruk.    

Efisensi dan pengubahan pola pikir pun ditawarkannya sebagai solusi. Tapi, apa maksudnya perubahan pola pikir? Menurut Mangga Barani, jika menanam tanaman tahunan, pakailah pula pola pikir jangka panjang. Lantas, bagaimana dengan fluktuasi harga yang disebabkan turun-naiknya permintaan pasar dunia? Turun-naiknya harga adalah seni, tandasnya.

Sedikit melongok masa lalu, aneh juga jika dulu –justru di zaman Hindia Belanda, khususnya periode 1920 hingga 1925 dan 1937—petani karet rakyat di Jambilah yang menikmati kemakmuran. Dari sumber kolonial, pada masa itu akumulasi pendapatan  penjualan getah karet rakyat mencapai 46 juta gulden, jumlah sangat besar waktu itu.

Perkebunan murni milik rakyat itu --bukan milik pengusaha Eropa atau Belanda-- tersebar di Kota Jambi sekarang, Muaro Tembesi, Muaro Tebo dan daerah lainnya. Karet rakyat itu terbagi dalam perkebunan besar dan kecil milik perseorangan yang digarap secara kekeluargaan. Sayang, periode “emas” itu berlalu pada 1930 saat harga karet anjlok di pasar dunia

Toh, Bustanul, memberikan gambaran yang optimistis untuk kondisi karet pada 2013. Tahun depan,  produksi bakal mencapai lebih dari 3 juta ton. Melegakan?

Syaiful Hakim

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain