Awalnya, ia tertarik teknologi karet hanya lantaran dosennya mudah meluluskan. Kini, berbagai penghargaan banyak diterimanya.
Bermodal ketekunan, Ir. H. Mohammad Solichin, M.S., 60 tahun, dapat menghasilkan Deorub (Deodorant Rubber), asap cair yang dapat menggumpalkan lateks dan menghilangkan bau pada proses pengolahan karet alam. Peneliti di Balai Penelitian Karet Sembawa, Pusat Penelitian Karet, di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, ini bekerjasama dengan PT Badja Baru, perusahaan pengolahan karet alam, yang berlokasi di Palembang.
Menurut suami Nikmatul Barokah ini, penelitian awal dilakukan pada 1999 dengan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Semula untuk pengharum (deodoran) lateks beku sehingga disebut Deorub. Setelah melalui penelitian yang panjang, Deorub dapat juga dimanfaatkan sebagai penggumpal lateks. Pada 2004, Deorub dikembangkan secara komersial di bawah bendera PT Global Deorub Industry, anak perusahaan PT Badja Baru. Selain Deorub murni, diproduksi juga formulasi Deorub K dan Deorub SOP.
Deorub ini dibuat dari cangkang sawit yang diarangkan di dalam reaktor berkapasitas 2 ton/hari. Di perusahaan ini terdapat 9 reaktor, yang juga dirancang Solichin, PT Badja Baru, dan sebuah perusahaan lain. Dengan tingkat utilisasi 90%, diperoleh asap cair 40% atau 6,48 ton/hari atau sekitar 1.700 ton/tahun, termasuk tar sekitar 5%. Sisanya, 60% arang atau karbon aktif. Tarnya untuk pengawet kayu, sedangkan arang juga bisa dijual.
Berdasarkan penelitian, menurut alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) ini, asap cair mengandung fenol, karbonil, asam, furan, alkohol, dan ester. Deorub Liquid Smoke ini dipatenkan untuk digunakan pada industri pengolahan karet alam, yaitu karet remah (crumb rubber), sit asap (ribbed smoked sheet), dan karet blok skim (block skim rubber). Tidak hanya paten di Indonesia, tapi juga di Malaysia, Thailand, dan Vietnam. “Selain itu, didaftarkan di 85 negara,” tuturnya ketika ditemui di pabrik Deorub akhir Oktober silam.
Bagi petani karet, penggumpalan lateks dengan Deorub bisa meningkatkan kadar karet kering (K3) dan menghilangkan bau. Walhasil, bahan olahan karet tidak berbau busuk dan bisa disimpan di dekat rumah. Di samping itu produk tersebut mampu meningkatkan mutu karet bongkah SIR (Standard Indonesian Rubber), terutama Po (plastisitas awal) dan PRI (plasticity retention index atau daya regang). Pada karet remah, waktu pengeringan blanket (sleb tipis) lebih singkat, menekan pertumbuhan cendawan pada blanket, dan lingkungan pabrik lebih bersih.
Mematikan bakteri
Di lapangan, petani karet banyak menggunakan cuka para atau asam sulfat (H2SO4), pupuk TSP, dan tawas atau aluminium sulfat (Al2(SO4)3) untuk menggumpalkan lateks. Setelah itu, gumpalan lateks direndam air 7-14 hari. Selain menurunkan mutu karet karena menggunakan bukan penggumpal anjuran, perendaman juga bisa meningkatkan populasi bakteri. Padahal, bakteri ini merusak lateks sehingga menimbulkan bau busuk. Bagusnya lagi, Deorub bisa mematikan bakteri.
Tapi, untuk menggunakan Deorub sebagai penggumpal lateks, kendalanya ada. Menurut ayah Imraatul Khalimah Yuliana, Istingadah Desiana, dan Istinganah Noviana, ini, awalnya pabrik ban Bridgestone mengirim surat ke pabrik-pabrik karet remah di Indonesia agar jangan menggunakan Deorub. Mereka takut dengan kandungan fenolnya.
Lalu dilakukan penelitian bersama antara Balai Penelitian Karet Sembawa dan Bridgestone. Bahkan, pihak Bridgestone membawa hasil penelitian ke Yokohama, Jepang. Ketika ditanya pendapatnya, petinggi Bridgestone tidak mau mengungkapkan hasilnya. Cuma bilang, “No comment. No news, that mean good news,” tiru Solichin. “Akhirnya, sekarang ini, Bridgestone paling banyak pakai crumb rubber yang dibekukan dengan Deorub,” papar bapak kelahiran Solo, 25 Desember 1952, itu kepada AGRINA.
Banyak penghargaan
Berkat penelitian Deorub itu, banyak penghargaan diperoleh pria yang bercita-cita menjadi dokter ini. Ada dari Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, sebelum berubah menjadi PT Riset Perkebunan Nusantara, yang menaungi Pusat Penelitian Karet. Ada dari Kementerian Perindustrian dan Perdagangan. Juga penghargaan 100 inovator Indonesia, yang langsung disematkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Yang menggiurkan adalah penghargaan intelektual dari Kementerian Pendidikan berupa uang Rp250 juta.
“Semua ini Allah yang mengatur. Alhamdulillah, saya bisa berkenalan dengan Pak Noerdhy Tedjaputra (Presiden Direktur PT Badja Baru). Ia businessman, tapi berjiwa peneliti,” jelas Solichin. Seandainya dulu ia tidak takut membedah kodok dan ikan sewaktu praktik Biologi di SMA, tentu sekarang ia sudah menjadi dokter. Meski kakek empat cucu ini tidak bisa menjadi dokter, toh dua anaknya, Istingadah (mengambil spesialis di Unpad Bandung) dan Istinganah (kuliah spesialis di Unair Surabaya), menjadi dokter.
Sebenarnya, Solichin mendalami teknologi karet bukan karena keinginannya, tapi karena dosennya di UGM enak, jadi mudah lulus. Ia memilih teknologi hasil pertanian. Sarjana mudanya teknologi tanaman industri. Sarjananya, ia memilih teknologi hasil perkebunan, juga fokus ke karet. Lalu, S2 juga mendalami karet. “Saya memilih processing karena penelitiannya cepat dan bervariasi,” kata pria yang terkesan rendah hati ini.
Sebelum menjadi peneliti di Balai Penelitian Karet Sembawa, ia menghabiskan waktu delapan tahun bekerja di Lembaga Tabung Getah Sabah (Sabah Rubber Fund Board) di Kinabalu, Malaysia. “Di sana, saya menangani karet rakyat. Ke kampung-kampung memberikan penyuluhan,” ceritanya. Bahkan, ia pernah melakukan penelitian bersama Rubber Research Institute Malaysia. Lantaran pengetahuannya diperlukan, ia pernah ditawari jadi warganegara Negeri Jiran itu, tapi keluarganya keberatan.
Sepulang dari Malaysia, ia menjadi peneliti di bagian teknologi pengolahan di Balai Penelitian Karet Sembawa. Didukung rekan-rekan dan atasannya, ia berhasil membuat Deorub. “Harapan saya, (semakin banyak) petani mau menggunakan Deorub,” pintanya. Dengan Deorub, dapat dibangun citra, bahwa industri karet alam itu ramah lingkungan.
Syatrya Utama, Renda Diennazola