Pertanyaannya, jika negara-negara produsen pangan seperti beras, kedelai atau jagung, mengalami bencana alam kekeringan, apakah penduduk Indonesia bakal mengalami malapetaka?
Lihat, saat Amerika Serikat, sebagai salah satu negara penghasil jagung dunia, mengalami bencana kekeringan berkepanjangan pertengahan 2012 ini, banyak pihak berteriak lantaran harga jagung di pasar dunia melonjak. Pabrik pakan kesulitan memperoleh jagung karena harga jagung impor mahal, sedangkan produksi lokal tak mencukupi. Padahal, kerap ditegaskan para pengusaha pakan ternak di Tanah Air, sejatinya mereka lebih suka membeli jagung lokal. Alasan mereka, kualitasnya lebih bagus dibandingkan jagung impor! Selain itu, harganya juga jauh lebih murah.
Bagaimana sebenarnya kondisi produksi jagung di negeri ini? Kalau menurut Udhoro Kasih Anggoro, Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, kondisi hiruk-pikuk menyangkut jagung disebabkan beberapa hal. Antara lain, persaingan lahan (dengan padi), sumber daya air atau curah hujan yang tak menentu, juga kurangnya alat pengering (corn dryer) yang berkaitan dengan pascapanen. Selain itu, disebabkan anjloknya harga saat panen raya di sentra jagung tertentu.
Itu sebabnya Anggoro selalu mengusulkan agar komoditas ini ditetapkan sebagai bahan pangan pokok yang wajib memiliki stok seperti halnya beras. Dan, bila ada stok jagung, harus ada pula instrumen harga pembelian pemerintah sebagai harga dasar.
Kesulitan atas jagung yang disebabkan bencana di negara lain itu sebenarnya merupakan babak lanjutan sebelumnya terkait kisruh pembuat tahu dan tempe di negeri ini mendapatkan bahan baku, yaitu kedelai. Tempe dan tahu yang merupakan makanan khas penduduk Indonesia itu kebanyakan memang dibuat dari kedelai impor. Dari 2,2 juta ton kebutuhan nasional, sebanyak 1,4 juta – 1,6 juta ton di antaranya masih didatangkan dari luar negeri.
Ketergantungan pada produksi negara lain, terutama untuk komoditas tanaman pangan, inilah yang acap jadi keprihatinan besar. Soalnya, kalau menoleh ke belakang, 60 tahun yang lalu, Bung Karno, proklamator negeri ini yang akhirnya mendapat gelar pahlawan nasional dari pemerintah pada 7 November 2012, menegaskan bahaya ketidakmandirian soal yang satu ini.
Tentu, banyak yang masih mengingat ucapan Bung Karno saat peletakan batu pertama pembangunan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (kelak menjadi Institut Pertanian Bogor) di Bogor, Jawa Barat, pada 27 April 1952. “Rakyat Indonesia akan mengalami celaka, bencana, malapetaka dalam waktu dekat kalau soal makanan rakyat tidak segera dipecahkan, sedangkan soal persediaan makanan rakyat ini bagi kita adalah soal hidup atau mati.”
Malah, dalam suatu kesempatan lain, di Jakarta, semangat untuk mandiri, khususnya terkait tanaman jagung, sempat digelorakan Bung Karno kembali. ”Saudara-saudara kaum wanita, dalam waktu saudara yang terluang, kerjakanlah seperti yang dikerjakan oleh Ibu Inggit dan saya sendiri. Tanamlah jagung. Di halaman muka saudara sendiri saudara dapat menanamnya cukup untuk menambah kebutuhan keluarga saudara,” katanya kala itu.
Bahkan, presiden kedua republik ini, Pak Harto, juga pernah berupaya keras, konon dengan biaya yang sangat besar pula, agar negeri ini mampu berswasembada, yang waktu itu terkait produksi beras. Masa itu, bidang pertanian memang mendapat perhatian cukup besar dengan berbagai program seperti intensifikasi massal (inmas), bimbingan massal (bimas), membangun lahan-lahan percontohan, membentuk Klompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pirsawan) di setiap desa untuk mengikuti bimbingan penyuluh pertanian melalui inmas dan bimas.
Dan Indonesia berhasil berswasembada beras pada 1984 dengan produksi 25,8 ton serta mendapatkan penghargaan dari organisasi pangan dan pertanian dunia, Food and Agriculture Organization (FAO), pada 1985. Ini suatu prestasi di bidang pertanian yang sampai saat ini belum pernah dicapai lagi oleh seorang pun Presiden RI.
Jika akhir-akhir ini sempat mencuat kesulitan kedelai dan jagung, mungkinkah itu lantaran bangsa ini telah melupakan upaya para pemimpinnya yang terdahulu terkait kemandirian?
Untunglah, belakangan situasi membagus. Seperti diungkapkan FX Sudirman, Ketua Umum Asosiasi Produsen Pakan Indonesia (GPMT), iklim produksi jagung di Tanah Air tengah membaik. Hingga Oktober tahun ini realisasi impor jagung baru 1,2 juta ton dari angka proyeksi impor jagung yang 2 juta ton.
Pemerintah sendiri sebenarnya berharap impor mentok pada angka 1,5 juta ton hingga Desember 2012 sehingga dialokasikan lagi sebanyak 300 ribu ton. Namun, menurut Sudirman, angka 300 ribu ton tersebut terlalu kecil dibanding perkiraan kebutuhan pabrik pakan --yang tengah berkembang pesat pertumbuhannya -- guna mengamankan kontinuitas produksi mereka, yaitu sebesar 500 ribu ton lagi.
Tampaknya, impor jagung akan jauh menurun dibandingkan 2011 yang totalnya mencapai 3,144 juta ton. Optimistis produksi bakal meningkat terus, dan akhirnya meraih swasembada? Ya, harus.
Syaiful Hakim