Di bidang pertanian, misalnya, ketika pemerintah bicara tentang pertumbuhan ekonomi 6,5%, siapa yang merasakan? Yang terlihat justru petani kentang tak bisa menjual kentangnya. Lalu, petani garam tak bisa menjual garamnya.
“Lihat, petani bawang pun tak bisa menjual bawangnya di negeri sendiri! Di sini tak ada satu karakter yang kuat, tak jelas mau dibawa ke mana pertanian kita,” ujar Heppy Trenggono, Presiden Direktur United Balimuda Group, salah satu grup perusahaan yang usahanya di bidang sawit amat diperhitungkan di Tanah Air.
Kehilangan karakter ini pula yang membuat bangsa ini tertinggal jauh dari China, Jepang, atau Singapura, dalam segi perekonomian meski saat mulai membangun bersamaan. Singapura, tambah Heppy, tak memiliki perkebunan, pertambangan, tetapi nilai ekspornya dua kali Indonesia.
Yang Sungguh Dibela
Ada bangsa yang tak memiliki apapun, tapi bisa maju, misalnya Singapura. Ada bangsa yang kaya sumber daya alam (SDA) dan bisa maju, itu biasa, sebutlah China. Namun, ada bangsa yang kaya SDA tapi tak bisa maju, inilah yang aneh! Itulah dampak dari melupakan pembangunan karakter tadi.
Tapi, apa yang dimaksud karakter ini? Ditegaskan Heppy, karakter itu harus ditumbuhkan oleh pemimpin, dan meliputi tiga hal. Pertama, kesadaran akan jatidiri, baik sebagai bangsa maupun pribadi. “Amerika Serikat dan China berseteru dalam perdagangan itu karena keduanya menyadari jatidiri masing-masing,” tutur penulis buku laris “9 Pertanyaan Fundamental Strategi Membangun Kekayaan Tanpa Riba” ini.
Kedua, keyakinan. “Apakah bangsa ini masih yakin dengan landasan Pancasila? Gelagatnya sih tidak,” kata kelahiran Batang, Jawa Tengah (Jateng), 20 April 1967 ini.
Ketiga, hal yang sungguh-sungguh dibela. Sebab, Indonesia merdeka dulu juga lantaran benar-benar membela kemerdekaan. “Kami cinta damai, tapi lebih cinta kemerdekaan,” ucapnya menirukan tekad para pejuang.
Dan jika pemimpin bangsa ini memilih memajukan kesejahteraan bangsa Indonesia, tentu mereka akan selalu membela kepentingan bangsa ini. “It’s all about character! Apalagi, di bidang pertanian,” tambahnya. Mengapa karakter amat penting dalam pandangan Heppy? Ia beralasan, jika karakter yang lebih dulu dibangun, masalah fisik akan mengikutinya. Dicontohkannya, Nabi Muhammad SAW lebih dulu membina akhlak umatnya ketimbang membangun kerajan yang megah seperti raja-raja yang lain.
Gerakan Beli Indonesia
Bukan hanya karakter telah dilupakan, yang muncul di negeri ini justru pembangunan merek alias citra. “Kejujuran hanya jadi merek, kesopanan hanya merek, bukan karakter,” timpal lulusan S2 Komputer Universitas Indonesia ini.
Bahkan, kehilangan karakter telah menyebabkan dampak sangat parah. Nyaris semua produk yang dipakai bangsa ini, bahkan di dapur atau di kamar mandi, adalah buatan bangsa asing. Sejumlah perusahaan asing menangguk untung sampai triliunan rupiah dengan memanfaatkan pasar Indonesia. “Dan nyaris semua usaha sawit sudah dikuasai bangsa asing,” kata suami Dewi Yuniati Asih ini prihatin.
Melihat bahaya besar jika negeri ini hanya dijadikan pasar produk asing, ia pun menggelorakan Gerakan Beli Indonesia. Bersama 513 pengusaha dari 42 kota ia mencanangkan gerakan ini pada 27 Februari 2011 di Semarang, Jateng. Semangat perjuangan ini berlanjut hingga digelarnya kongres pertama di Solo pada Juni 2011 yang mengukuhkan Heppy sebagai pemimpin perjuangan.
Ada tiga sikap yang diperjuangankan, pertama, membeli produk Indonesia. Jadi, membeli produk itu bukan karena murah atau lebih baik, namun karena itu produksi Indonesia. Kedua, membela bangsa Indonesia. Ini merupakan sikap jelas dalam pembelaan atas martabat bangsa dan kejayan bangsa Indonesia. Dan yang ketiga, menghidupkan semangat persaudaraan. “Ini bermakna aku ada untuk kamu, kamu ada untuk aku, kita ada untuk tolong-menolong,” urai ayah dari Jihan Putri, Apta Archie, Hana Claresta, dan Jodie Bintang ini.
Heppy menjelaskan, ia bukan anti-asing. Tapi, hendak menunjukkan bahwa pembelaan atas masa depan bangsa adalah yang terpenting. Ia sendiri tak sedikit bermitra dengan asing dalam bisnisnya. Semangat Beli Indonesia ini ia buktikan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di perusahaannya. Ia dan karyawannya hanya memakai buatan Indonesia, apakah itu untuk pakaian atau sepatu.
Bangkit dari Keterpurukan
Lelaki ini pasti tak melupakan kisah terpahit hidupnya saat mengalami kebangkrutan dengan lilitan utang Rp62 miliar. Kala itulah ia menyadari kejatuhan tersebut lantaran langkah bisnisnya kerap tak sejalan dengan tuntunan Tuhannya. Ia mengakui pula dirinya dulu terlalu cepat sukses saat berbisnis. “Kita biasanya menyalahkan orang lain, pihak lain, tapi sebetulnya masalah ada pada diri kita,” tuturnya.
Salah satu tuntunan Tuhan yang disangat diyakininya adalah berbagi dengan sesama alias bersedekah. Tak ada satu pun agama di dunia ini yang menyebut berbagi itu akan mengurangi harta seseorang, tapi sejatinya akan menambah. Namun, “Sedikit yang bisa meyakini kebenarannya,” papar pendiri Indonesian Islamic Business Forum (IIBF) ini.
Karena itulah salah satu kiat dalam buku best seller-nya, yaitu menyisihkan uang (giving) 10% untuk orang yang membutuhkan, berapa pun penghasilannya. “Setelah itu, sisihkan untuk investasi juga 10%, sisanya baru untuk yang lain. Keduanya harus dilakukan pertama,” urainya menutup percakapan dengan AGRINA.
Syaiful Hakim, Eli Nurlaili