Berdasarkan hukum alam law of attraction, yang baik menarik yang baik, yang buruk menarik yang buruk. Kita perlu motor untuk menarik yang buruk menjadi baik.
Keluarga adalah unit terkecil masyarakat. Membangun agribisnis merupakan salah satu cara meningkatkan kesejahteraan keluarga dan juga berarti masyarakat. “Pemerintah Provinsi Bengkulu menginginkan pembangunan agribisnis itu untuk menyejahterakan masyarakat,” kata Drs. H. Sumardi, MM, 53, Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Provinsi Bengkulu kepada AGRINA saat ditemui di Jakarta, Jumat (28/9).
Di bidang perkebunan, komoditas andalan provinsi berpenduduk sekitar 1,7 juta jiwa ini adalah sawit, karet, dan kopi. Hortikultura seperti sayuran juga banyak dikembangkan. Begitu pun tanaman pangan (padi dan jagung). Yang berpotensi dan belum optimal tergarap adalah perikanan (tangkap dan budidaya) dan peternakan (ayam, kambing, dan sapi).
Dalam bidang perekonomian, Plt. Gubernur Bengkulu H. Junaidi Hamsyah, S.Ag., M.Pd. memang menggariskan, bertumpu pada industri rakyat dengan menggenjot nilai tambah komoditas lokal. Selain itu juga kemudahan pelayanan publik, termasuk investasi, di provinsi yang lahir 18 November 1968 ini. “Kemudahan perizinan di Provinsi Bengkulu sangat memuaskan. Indeks Penilaian Konsumen (IPK) mencapai 81%,” ungkap Sumardi bangga.
Pemanfaatan Pekarangan
Untuk meningkatkan ketahanan pangan keluarga, awal Agustus lalu H. Junaidi Hamsyah meluncurkan pemanfaatan pekarangan terpadu di Desa Bukit Peninjau I, Kec. Sukaraja, Kab. Seluma. Di lahan pekarangan antara lain ditanami terung, cabai, bawang, dan sawi. Hal ini sudah dipraktikkan di rumah dinas Gubernur Bengkulu. “Di pekarangan rumah dinas Gubernur sudah ada contohnya. Tamu bisa lihat,” terang Sumardi.
Dengan menanam sayur-mayur di halaman rumah, menurut perhitungan ayah tiga anak ini, bisa dipetik keuntungan sekitar Rp50 ribu/hari. “Ini sudah meningkatkan pendapatan keluarga dan masyarakat. Dengan agribisnis di pekarangan saja, sudah bisa menabung Rp50 ribu/hari. Kebutuhan dapur juga terpenuhi,” tutur alumnus UGM, Yogyakarta, ini.
Satu hal yang perlu dibangun ialah spirit untuk maju. Orang yang berhasil, menurut Sumardi, mengutip C.K Prahalad dari Harvard Business School, Amerika Serikat, adalah orang yang mempunyai spirit tinggi. “Siapa yang mempunyai spirit tinggi, dia pancangkan bendera (cita-citanya), dan dia ingin sampai ke sana. Orang yang mempunyai spirit ingin bangkit, orang itu pasti maju,” tandas anak pertama dari delapan bersaudara itu.
Di dalam komunitas diperlukan motor penggerak yang ingin maju. “Di kantong-kantong kemiskinan biasanya tidak ada yang mau menjadi penggerak utama supaya maju. (Karena itu perlu) Membangun budaya kerja kerjas,” paparnya. Di sisi lain, hukum alam law of attraction tak pernah loyo. Yang baik menarik yang baik, yang buruk menarik yang buruk. Kita perlu motor utama yang baik, untuk menarik yang buruk, agar menjadi baik.
Memberikan Contoh
Sewaktu menjadi camat di Sukaraja, Seluma, 1995 – 2000, suami Hj. Aini, SE, ini memberikan contoh keranjingan kerja. Usai subuh, ia sudah di kebun jagungnya (40 ha). Pada pukul 8.00 WIB, sudah berada di kantor. “Saya ingin memberikan contoh berkebun jagung yang benar. Apa yang terjadi? Setelah masyarakat demam berkebun jagung, saya menarik diri,” cerita ayah M. Dedy Supinno, Verty Memorindah, dan M. Haryo Julianto Putra, ini.
Budaya kerja keras sudah mengental di hati anak petani dari pasangan Yasima dan Saidi (alm) ini. Dengan tetap disiplin bekerja, sejak menikah ia tidak pernah tidak berusaha. Ia pernah melakoni profesi makelar motor, menjadi guru, bahkan berjualan kelapa, beras, dan pucuk daun singkong. “Kita harus berusaha keras sekuat tenaga,” sambung Sumardi, yang pernah menjadi Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bengkulu, dari 2008 sampai Juni 2011.
Pria yang pernah bercita-cita menjadi tentara ini sempat mengenyam pendidikan berbau militer semasa Sekolah Staf dan Pimpinan (Sespim) Pemerintahan Dalam Negeri di Pusdik Angkatan Darat di Cimahi, Bandung, 1993. “Ya, itu kesenangan saya. Cita-cita saya memang ingin (menjadi tentara),” kenang alumnus APDN di Palembang, 1989, ini.
Dari Sespim itulah ia menyerap tiga filosofi. Pertama, menerapkan disiplin. Kedua, mengambil keputusan. Ketiga, memilih strategi. Ia mencontohkan dalam membuat keputusan. Dengan menimbang kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman, keputusan diambil untuk mengatasi masalah jangka pendek dan jangka jangka, tetapi dengan meminimalkan risiko terburuk dari keputusan itu. “Ciri kepemimpinan, dia harus mengambil keputusan tegas dan lugas saat itu. Tidak pernah ragu,” tutur pemilik 25 ha kebun sawit dan 12 ha kebun karet ini.
Rasa Takut Itu Ada
Pasti ada yang menerima dan menolak suatu keputusan. Karena itu ia berani merevisi keputusan jika hasilnya memang kurang afdol. Misalnya, menempatkan seseorang. Ia pernah menerapkan manajemen konflik. “Saat keputusan itu diambil, sudah benar. Dari sana, saya tahu siapa yang bekerja sesungguhnya dan siapa yang penjilat. Keputusan itu saya revisi,” urainya.
Adanya rasa takut dalam bertindak, menurut Sumardi, itu manusiawi. Apalagi persaingan demikian ketat. “Rasa takut itu mungkin saja ada. Tapi, saya lebih takut lagi kalau sampai saya takut. Mengapa? Sebenarnya rezeki itu datangnya bukan dari siapa-siapa, kecuali dari Allah SWT, melalui perantaraan persahabatan. Kalau persahabatan sudah di atas 500 orang dan orang itu bekerja dengan sungguh-sungguh, insya Allah (dia) bakal sejahtera,” paparnya.
Rajin bersilaturahmi merupakan kebiasaan pria ini dalam memupuk persahabatan. Memadukan silaturahmi dan spirit membuat pria kelahiran Tebat Gunung, Seluma, 23 April 1959, ini menuai hasilnya. “Keberhasilan saya yang paling sempurna adalah ketika membawa istri dan ibu kandung menunaikan ibadah haji (tahun 2011),” cerita penggemar menu lele ini.
Barangkali, itulah berkah silaturahmi dan spirit. “Tidak pernah terbayangkan, dari anak orang miskin, anak peladang berpindah, saya bisa menjadi seperti sekarang ini,” ujar Sumardi menutup pembicaraan.
Syatrya Utama, Abdul Hamid