Menjadikan produk kelapa sawit Indonesia terkemuka di pasar internasional adalah tekadnya. Beragam tantangan yang muncul tak menggoyahkan perempuan ini.
Tentu tak bakal mulus jalan menuju cita-cita yang diusung Desi Kusumadewi itu. Direktur Rountable on Suistainable Palm Oil (RSPO) Indonesia itu misalnya pernah menghadapi mundurnya Gabungan Asosisasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dari keanggotaan RSPO. Meskipun mundur dari RSPO, organisasi itu memang tetap membolehkan anggotanya bergabung dengan RSPO.
Lalu, juga ada tantangan agar RSPO lebih dikenal kalangan persawitan di Indonesia. Atau, rintangan berupa pandangan keliru sejumlah pemangku kepentingan persawitan yang masih memandang RSPO sebagai beban. Padahal, tambah perempuan kelahiran Bogor, 26 Desember 1973 ini, mestinya RSPO dipandang sebagai investasi bagi perusahaan, bukan beban. Sebab, dengan menjadi anggota RSPO bisa memberi nilai tambah bagi produk sawit yang mereka hasilkan.
“Ada pula tantangan untuk memperkenalkan RSPO trade mark (produk berlogo Certified Suistainable Palm Oil/CSPO) di pasar Indonesia,” tutur ibu satu putra ini.
Menikmati Beragam Rintangan
Salah satu perusahaan yang mulai menerapkan produk berlogo CSPO itu adalah supermarket internasional asal Perancis, Carrefour, yang membubuhkan logo tadi pada kemasan minyak goreng yang mereka jual. Perusahaan ini bahkan bertekad menerapkan hal itu secara 100% pada 2015. Apa artinya hal ini? Semua perusahaan pemasok bahan baku minyak goreng sawit kepada mereka harus memenuhi ketentuan RSPO. Jadi, sosialisasi RSPO trade mark itu mesti cepat dilakukan.
Belum lagi mengupayakan agar kebijakan pemerintah bisa lebih mengakomodasi praktik pengelolaan kelapa sawit secara berkelanjutan di Indonesia. Lantas, bagaimana agar pengelolaan sawit berkelanjutan tadi mampu berkontribusi pada penurunan gas rumah kaca. “Memang, tantangannya jauh lebih luas, mulai dari kebijakan pemerintah, penerimaan RSPO di kalangan sawit, merek dagang, sampai aspek greenhouse gas (gas rumah kaca),” timpalnya.
Toh, menghadapi beragam tantangan tersebut, Desi –sapaan akrab perempuan ini—mengambil sikap menikmati pekerjaannya saja. Baginya, apapun tantangan yang hadir sejatinya justru menjadi pemicu agar orang memperbaiki diri lebih baik lagi, baik secara individu maupun organisasi. “Tantangan selalu bersifat dinamis, berubah-ubah seiring perjalanan waktu. Nah, itu adalah kesempatan bagi kita untuk belajar lagi dan lagi,” tuturnya.
Bagi Desi, ia merasa enjoy dengan situasi yang terjadi karena ia melihat sebenarnya para pemangku kepentingan persawitan Indonesia, baik itu pengusaha perkebunan (grower), pemerintah, maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM), kini justru bahu-membahu dalam upaya mewujudkan pengelolaan sawit berkelanjutan. “Saya terkadang merasa peran saya tak ada sama sekali. Itu adalah peran dari stakeholder Indonesia, saya hanya di belakang layar, tapi saya enjoy,” ungkapnya.
Mencintai Sawit
Persoalan sawit bukan barang baru bagi Desi. Soalnya, setelah lulus dari Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), pada 1997 ia sudah langsung bergabung dengan sebuah perusahaan perkebunan sawit di kawasan hutan Kalimantan. Sempat bertugas di pedalaman hutan Kalimantan Barat sekitar satu tahun tentu membuat kecintaannya akan sawit tumbuh.
Bahkan, ia pernah menyebut saat bekerja selama enam tahun di perusahaan perkebunan sawit itulah kecintaannya akan komoditas satu ini mulai merekah. Dan kecintaan Desi pada sawit terus bersemi lantaran hingga saat ini produksi sawit Indonesia terus meningkat dan menjadi produsen sawit terbesar di dunia.
Pada 2006, ia bergabung dengan RSPO Indonesia sebagai liaison officer. Kemudian, ia memperdalam pengetahuannya di Belanda, tepatnya pada University of Twente untuk menyelesaikan pendidikan master di bidang studi environmental & energy management. Sepulang dari belajar di Negeri Kincir Angin itulah ia kemudian didaulat sebagai Direktur RSPO Indonesia.
“Perjalanan hidup saya bergabung dengan RSPO hingga menduduki posisi sekarang itu mungkin memang sekadar lantaran rezeki saja, soalnya saat bergabung itu RSPO masih belum dikenal di Indonesia,” ujar Desi dengan rendah hati.
Anak Kolong Masuk Hutan
Mengapa Desi mencintai sawit dan berani hidup di tengah rimba Kalimantan? Boleh jadi anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Soedarsono dan Dewi Rita ini mewarisi sikap tegar ayahnya. Sang ayah adalah pensiunan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD). Ya, Desi tentu akrab pula dengan sebutan sebagai anak kolong (julukan berkonotasi miring untuk anak yang berasal dari keluarga TNI AD).
Toh, dukungan orang tuanya diakui Desi sangat besar dalam menguatkan langkahnya terjun ke bidang sawit. “Ayah saya sering bilang, kalau kamu sudah menyukai suatu bidang, ya kamu tekuni saja!” kenangnya.
Bukan hanya dukungan sang ayah yang telah mengantarnya pada kedudukannya saat ini. Tapi, juga dari sang suami, Irwan Djaoharri. Bagaimanapun, papar Desi, seperti juga dialami semua wanita yang bekerja, mereka harus bisa membagi waktu antara kantor dan keluarga. Ia, misalnya, menyediakan waktu khusus, pada Sabtu-Minggu, untuk menikmati hobinya membuatkan kue bagi keluarganya. “Saya rasa dukungan keluarga sangat penting sehingga saya bisa bekerja di RSPO sampai sekarang,” ujarnya.
Ke depan, menurut Desi, tantangan baginya adalah mensinergikan antara kiprah RSPO dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). “Sejarah pendiriannya saja yang beda, tapi arah dan tujuannya sama sehingga harusnya keduanya bisa saling melengkapi,” ujar Desi penuh semangat sekaligus mengakhiri percakapan dengan AGRINA.
Syaiful Hakim, Windi Listianingsih