Tanaman kelapa sawit sudah menjalani riwayatnya seabad lebih di Indonesia. Mulai dari dibukanya kebun komersial pertama di Tanah Itam Hulu, Pulu Raja, dan Marihat, Sumatera Utara. Benihnya dari Afrika tetapi bukanlah varietas unggul, melainkan dipungut dari tanaman pinggir jalan.
Ternyata, menurut penuturan Soedjai Kartasasmita, pelopor kebun sawit di sini bukan orang Belanda seperti komoditas perkebunan lain, tetapi warga Jerman. Memang, orang Belanda yang membawanya ke Indonesia pada abad ke-18. Namun, tak ada perkembangan berarti hingga pada 1902 digelar lomba teknologi pengolahan buah sawit agar tidak ditumbuk lagi untuk mendapatkan minyaknya di Berlin, Jerman.
Pemenang lomba, lanjut tokoh senior perkebunan itu, adalah desainer Jerman yang lalu mencoba mengaplikasikannya di Kamerun, Afrika. Waktu itu, negaranya pesepakbola kenamaan Roger Milla ini masih jajahan Jerman. Ternyata hasil ujicoba itu bagus. Inilah titik tolak kemajuan kebun sawit lantaran pengusaha-pengusaha Jerman lalu menyebar ke bagian dunia lain, termasuk Indonesia, buat mendirikan kebun.
Di Indonesia, pabrik pengolahan sawit pertama berdiri pada 1911 yang dicatat sebagai awal sejarah perkebunan sawit nasional. Di antara sekian banyak penyebaran sawit, pertumbuhan paling bagus terjadi di negeri ini. Tak ayal para investor internasional kian deras mengalir ke Indonesia untuk menanamkan modalnya. Pun sampai kini investor asing masih melirik bumi Nusantara untuk mendulang “emas cair” itu.
Berawal dari Sumatera, kini merambah ke pulau-pulau besar lainnya seperti Kalimantan, Sulawesi, bahkan Papua. Malah pada masa krisis ekonomi, akhir 1990-an, laju pembukaan lahan sawit dipelopori petani, bukan lagi perusahaan. Tak pelak, luasan perkebunan sawit membesar. Akhirnya, sekitar 2007, Indonesia membalap Malaysia sebagai negara produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar dunia. Pengusaha negeri jiran pun menyeberang ke sentra sawit di Sumatera dan Kalimantan untuk juga berkebun karena keterbatasan lahan di negaranya.
Produksi CPO yang membanjiri pasar minyak nabati dunia mengancam pangsa pasar minyak nabati dari biji-bijian andalan negara-negara subtropis. Indonesia, bersama Malaysia, menguasai 86% produksi dunia. Produsen minyak nabati lain pun waswas melihat perkembangan sawit yang jauh lebih efisien, hingga 7 kali lipat, dalam pemanfaatan lahan ini.
“Perang” melawan sawit dengan berbagai kampanye hitam pun dimulai. Muncul tudingan lahan sawit menimbulkan kerusakan lingkungan, mengonversi hutan, memantik masalah sosial, seperti konflik dengan masyarakat seputar kebun, memancarkan gas rumah kaca ke atmosfer, dan mengganggu kelestarian orangutan.
Penolakan minyak sawit di pasar Eropa membuat para pelaku bisnis sawit, baik produsen maupun pengguna, lalu meriung pertama kali untuk mendirikan organisasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Lantas RSPO terdaftar di Zurich, Swiss, pada 8 April 2004, sebagai sebuah asosiasi beranggotakan tujuh pilar pemangku kepentingan, yaitu produsen kelapa sawit, pengolah minyak sawit, pedagang, produsen barang-barang konsumen, pengecer, bank dan investor, LSM lingkungan hidup atau konservasi dan sosial.
Tujuan utama RSPO, antara lain, mempromosikan produksi dan penggunaan minyak sawit berkelanjutan melalui kerjasama dalam rantai pasokan dan dialog terbuka antara para pemangku kepentingan. Nah, lalu mereka menyusun standar bagi produksi minyak sawit berkelanjutan (certified sustainable palm oil-CSPO), mulai dari kebun hingga pengolahannya di pabrik kelapa sawit (PKS). Minat produsen mengajukan sertifikasi RSPO kian besar karena berharap penerimaan produk di pasar internasional makin luas.
Pun Indonesia, meskipun organisasi penaungnya, GAPKI, melangkah keluar dari RSPO, toh anggotanya makin banyak memburu sertifikat RSPO. Kini 96 institusi menjadi anggota RSPO, sekitar 50 di antaranya perusahaan perkebunan sawit. Wajar bila produksi CSPO Indonesia kian besar, bahkan sejak Maret 2012, menurut Desi Kusumadewi, Direktur RSPO Indonesia, lagi-lagi menyalip Malaysia. Pangsa produksi “sawit hijau” kita mencapai 48% total produksi dunia.
Di dalam negeri, tekanan internasional dan komitmen Presiden SBY untuk menekan emisi gas melahirkan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Bila sertifikasi RSPO disetir oleh bisnis, maka sertifikasi ISPO dimaknai sebagai aturan pemerintah yang wajib diikuti paling lambat 2014. Meminjam istilah Joko Supriyono, Sekjen GAPKI, “ISPO itu bukan market driven. Jadi orang mensertifikasi ISPO itu bukan supaya bisa jual ke Eropa. Kita sih sertifikasi ISPO supaya kita patuhi peraturan pemerintah. Nanti bisnisnya laku atau tidak, nggak ada urusan.”
Respons perusahaan sampai kini beragam. Ada yang belum mengajukan sertifikasi. Ada yang tengah dalam proses, seperti terlihat dalam pengumuman situs ISPO. Ada pula yang sudah mengantongi RSPO, tapi mau segera menyusul sertifikasi ISPO. Dan yang mau sekalian repot, sertifikasi RSPO ataupun ISPO diajukan bersamaan. Toh, visinya sama, sama-sama menuju produksi dan penggunaan produk sawit berkelanjutan.
Peni Sari Palupi