Latar belakang ekonomi keluarga pas-pasan sering dijadikan alasan untuk ketidaksuksesan. Tapi, pria ini menunjukkan hal sebaliknya.
Inilah yang telah diperlihatkan Nellys Soekidi, “juragan” beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), Jakarta Timur. Kesuksesan menjadi pedagang beras beromzet Rp500 juta per hari itu dititinya nyaris tanpa modal. Bahkan, kini ia tak hanya berjualan beras, tetapi telah juga merambah bisnis jasa perawatan dan kebugaran tubuh.
Berawal dari keinginan mengubah nasib lantaran kondisi ekonomi keluarga yang serba pas-pasan, selepas SMA Nellys memutuskan merantau ke Jakarta pada 1988. Namun, datang ke Jakarta tanpa keahlian, layaknya kaum urban lain ia hanya bisa menjadi pekerja kasar di proyek bangunan. “Saya kerjakan apa saja, yang penting bisa makan dan tak melanggar aturan,” tutur pria kelahiran Ngawi, Jawa Timur, 9 Januari 1968 ini.
Ketika proyek bangunan itu berakhir, ia pun tak sungkan menjual suara alias mengamen dari satu bus ke bus di Terminal Blok M, Jakarta Selatan. “Pekerjaan” kedua inilah yang ikut mengubah nasibnya. Saat tengah mengamen pada 1991 ia kepergok teman sekampung yang lalu mengajaknya membantu mengelola toko beras milik bos temannya itu di PIBC. "Dua tahun kerja serabutan, akhirnya saya dapat kerja sebagai kuli angkut beras di pasar induk. Meski tak berbekal keahlian, asal ada kemauan, kerja keras dan jujur, kita bisa,” tandas Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Jakarta ini.
“Bonek” untuk Usaha
Di pasar induk, gaya bergaulnya yang luwes dan kejujurannya membuat Nellys disukai banyak orang. Melihat itu, sang bos memindahkannya ke bagian pembukuan sebagai petugas pencatat masuk-keluarnya beras. Pekerjaan ini dirasakan lebih baik karena perolehannya relatif lebih banyak ketimbang sebelumnya sehingga ia bisa menyisakan sedikit hasil jerih payahnya. Di posisi itu, kian banyak teman barunya, terutama pemasok beras. Ia juga mendapat pengalaman baru tentang pembukuan, pengaturan barang keluar-masuk, jual-beli beras, hingga penyetokan beras.
Kendati merasa lebih enak, toh dua tahun kemudian, 1993, Nellys memutuskan membuka usaha sendiri. “Saya ingin bisa mandiri dan mengelola usaha dengan modal uang tabungan,” tambah pria yang pernah bercita-cita jadi tentara ini. Bermodalkan Rp3 juta, ia nekat berdagang beras. Modalnya itu cuma bisa untuk membeli beras satu ton dan menyewa los. “Pokoknya bonek (bondo nekad, modal nekat) aja yang penting bisa mandiri,” cetusnya.
Untunglah beberapa relasinya dulu turut membantu menyuplai beras dengan cara titip jual. Sistem konsinyasi itu membuatnya makin bersemangat. Mereka pun tidak khawatir karena merasa sudah mengenal Nellys. “Bahkan mereka memberikan tempo seminggu baru bayar setelah beras habis,” sambung pria yang suka melawak ini.
Tak sampai seminggu, beras terjual dan uang ada di tangan. Nellys pun langsung membayar pemasoknya lantaran tak ingin berutang. Pemasok pun semakin senang dan tak mengherankan jika dalam waktu beberapa bulan kiosnya makin berkembang. Empat tahun berlalu, ia kembali merogoh tabungannya untuk menambah modal dan membeli lagi kios agar mampu menampung lebih banyak beras titipan.
Meski terbilang hidupnya mulai mapan, Nellys tetap ingin belajar kendati saat itu ia sudah beristri dan punya momongan. Ia pun menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta Timur. “Saya ingin mengembangkan diri, menambah wawasan manajemen, dan networking,” cerita suami Iyah Markiah ini.
Setelah lulus kuliah, ia makin jeli melihat peluang terkait dengan usahanya. “Memang, ilmu di bangku kuliah hanya 30% yang bisa diterapkan, tapi ada manfaatnya untuk menunjang pengalaman,” akunya.
Kembangkan Usaha
Kini, ayah dari Tyojanu Prabowo, Adnan Wisnu Nugroho, dan Bagas Adhi Wibowo ini memiliki lima kios beras di PIBC. Juga ada delapan toko beras lainnya di kawasan Jabodetabek, seperti Pondok Ungu, Bintara, Kalimalang, Cilodong, Depok, Bintaro, dan Cengkareng. Ia bahkan membangun penggilingan padi yang dilengkapi gudang penyimpanan beras di Kecamatan Geneng, Ngawi, Jawa Timur, untuk orang tuanya.
Penggilingan yang berdiri pada 2008 ini hanya berkapasitas 25 ton sehari. “Di daerah itu banyak sawah, penggilingan dibutuhkan untuk men-support usaha di Jakarta,” papar anak pasangan Sumo Wiyono dan Yati ini.
Nellys tak mau membeli gabah langsung dari petani karena tak ingin mematikan usaha penggilingan kecil yang sudah ada. Ia justru menggandeng mereka menjadi mitra. “Saya beli beras dari penggilingan mereka, lalu dipoles dengan mesin modern agar punya nilai jual lebih baik,” ujar Nellys dengan nada bangga. Dengan pabrik inilah ia mampu membantu banyak orang sesuai dorongan hatinya.
Pengembangan pasar juga dilakukan Nellys menyusul makin banyak pelanggan menginginkan beras beraroma wangi, putih, pulen, seragam, enak, dan berkualitas terbaik. “Beras ini khusus bagi warga yang ekonominya bagus, harganya lebih mahal karena beras pilihan,” ungkap penyuka motor gede ini seraya menunjuk beras bermerek Bangau yang dibeli dari pabrik penggilingan milik orangtuanya.
Sekretaris Koperasi Pedagang PIBC ini juga merambah usaha jasa perawatan dan pusat kebugaran di Pondok Kopi, Jakarta Timur. “Masih ada kaitan dengan beras karena saya jual beras merah yang cocok bagi yang diet dan jaga kesehatan,” kilahnya.
Di sela kesibukannya, ia masih meluangkan waktu untuk kegiatan sosial seperti memperbaiki kondisi pasar induk yang dicitrakan kurang baik. Juga menggalang bantuan dari para pedagang pasar agar bisa menyisihkan keuntungan guna membantu korban bencana alam, baik berupa uang, beras ataupun tenaga. Ia membeli ambulans untuk berjaga jika ada situasi darurat yang menimpa kuli atau karyawan di lingkungan PIBC. “Kami tak ingin mereka sengsara dan bingung mencari pertolongan,” imbuhnya.
Kegiatan lain yang juga menjadi hobinya adalah mendukung tim kesebelasan kota kelahirannya, Persatuan Sepak Bola Ngawi (Persinga). Ia bahkan memperbaiki kostum timnya. “Bukan saya yang mendesain, tapi anak saya yang membuatnya, saya hanya pendukung,” pungkasnya mengakhiri obrolan dengan AGRINA.
Tri Mardi Rasa