Cabai merupakan salah satu jenis bumbu yang tak terpisahkan dari menu masakan Indonesia. Tanpa cabai, masakan terasa hambar. Ketersediaan cabai, baik dalam bentuk segar, kering, bubuk kasar (masih ada bijinya), maupun bubuk halus sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari: untuk memenuhi kebutuhan industri maupun rumah tangga.
Di pasaran, kita mengenal cabai industri dan cabai konsumsi. Yang tergolong cabai industri antara lain cabai kering (cabai utuh dengan kadar air sekitar 14%), cabai saus (cabai yang dicampur dengan bahan lain seperti pepaya, pisang, singkong, dan umbi lainnya), cabai bubuk kasar, dan cabai bubuk halus. Sedangkan cabai konsumsi umumnya dalam bentuk segar.
Banyak perusahaan memerlukan cabai industri. Contohnya, produsen mi instan. Dengan konsumsi mi instan 63 bungkus/kapita/tahun dan penduduk sekitar 240 juta jiwa, total konsumsi mi instan di sini 15,1 miliar bungkus. Jika sebungkus memerlukan satu gram cabai bubuk saja, maka diperlukan 15.100 ton cabai bubuk yang setara 75.500 ton cabai segar.
Bila dibandingkan produksi cabai segar nasional sekitar satu juta ton (cabai besar 40%, keriting 40%, serta cabai rawit dan lainnya 20%), porsi cabai untuk mi ini relatif kecil, sekitar 7,5%. Tapi itu baru untuk kebutuhan bumbu mi instan. Belum lagi untuk bahan baku lain seperti saus cabai. Kian hari kebutuhan cabai industri ini kian membesar.
Sementara itu, berdasarkan catatan Afrizal Gindow, Direktur Penjualan dan Pemasaran PT East West Seed Indonesia, perusahaan benih hortikultura, tahun lalu Indonesia mengimpor sekitar 300 ribu ton cabai besar, antara lain dari India, termasuk untuk industri. Cabai ini khusus untuk cabai kering. Data impor ini masih bisa diperdebatkan, tetapi paling tidak ini menunjukkan kebutuhan cabai industri relatif besar.
Dari informasi Abdul Hamid, Presiden Direktur PT Surya Mentari, produsen benih hortikultura, tidak mudah bagi industri mendapatkan cabai sesuai persyaratan untuk mereka. Sebagai ilustrasi, kebutuhan satu perusahaan sekitar 125 ton/hari, tapi yang bisa diperoleh dari petani mitra sekitar 15-20 ton/hari atau 12%. Jadi, sejatinya, menurut Sekjen Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia itu, pasar cabai industri masih terbuka lebar.
Ada beberapa persyaratan bagi pemasok cabai untuk industri (perusahaan besar), yang umumnya berupa cabai besar. Dari segi fisik cabai: bentuk, tingkat kematangan, kebersihan, dan warna. Kedua, organoleptis: rasa dan aroma. Ketiga, kimia. Kempat, kadar air dan kandungan mikroba. Dalam hal tingkat kepedasan, misalnya, pengujiannya sederhana. Cabai harus tetap pedas setelah diencerkan sampai seribu kali.
Tentunya, petani mitra cabai industri mempunyai pasar dan harga yang pasti. Katakanlah harga kontrak cabai segar di petani mitra Rp7.000 – Rp8.000/kg. Dengan harga titik impas sekitar Rp4.500/kg, para petani mitra ini masih meraup keuntungan Rp2.500 – Rp3.500/kg. Dengan produksi 15 ton/ha, total marginnya sekitar Rp37,5 juta. Waktu pembayarannya berkisar tiga minggu sampai sebulan.
Bandingkan dengan jika dipasarkan melalui Pasar Komoditi Nasional (Paskomnas) seperti Pasar Induk Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan; Pasar Induk Tanah Tinggi, Tangerang, Banten; dan Pasar Induk Osowilangun, Surabaya, Jawa Timur. Harga cabai di pasar itu mengikuti harga pasar sehingga harga cabai segarnya fluktuatif. Kadang-kadang tinggi dan kadang-kadang rendah. Begitu juga harga cabai di pasar lokal.
Tetapi, yang patut kita cermati, menurut Hasanuddin Ibrahim, Dirjen Hortikultura, Kementerian Pertanian, ada kecenderungan rumah tangga mulai mengonsumsi cabai industri, terutama cabai kering. Cabai kering ini berdaya simpan lebih lama. Untuk mengonsumsi cabai ini relatif mudah. Cukup disiram dengan air hangat dan kemudian digiling atau diblender. Tingkat pedasnya tidak jauh berbeda dengan cabai keriting segar.
Berbeda dengan cabai industri untuk perusahaan. Cabai industri untuk rumah tangga ini bukan dari cabai besar, tetapi dari cabai keriting yang dikeringkan. Memang belum ada data akurat berapa kebutuhan cabai industri (cabai kering) untuk rumah tangga. Tapi, yang pasti, segmen yang mengonsumsi cabai kering ini tergolong kelas menengah ke atas. Mereka ini, kebanyakan, rumah tangga yang suami-istri sama-sama sibuk bekerja.
Dari pengamatan Hasanuddin, ada pertambahan kelas menengah di Indonesia, dengan pendapatan per kapita sekitar US$3.000/tahun, sebanyak 3%. Dengan produksi cabai keriting sekitar 400 ribu ton, berarti ada sekitar 12 ribu ton cabai keriting yang diolah menjadi cabai kering untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga kelas menengah-atas itu. Memang pengolahan cabai keriting menjadi kering ini baru dilakukan oleh industri kecil.
Pangsa pasar cabai industri, baik untuk perusahaan (dari cabai besar) maupun untuk rumah tangga (cabai kering dari cabai keriting), masih relatif kecil. Namun, bagi petani mitra, dari segi kepastian pasar dan harga sangat menggairahkan. Di sisi lain, secara nasional, pasar cabai industri ini diharapkan dapat menstabilkan harga pasar cabai segar.
Syatrya Utama