Di balik penampilannya yang kalem, emosinya besar. Jika ditantang negatif, ia tantang balik. Jika ditantang positif, apalagi dapat membuatnya lebih maju, akan ia jalankan.
Belajar merupakan salah satu cara untuk menuai keberhasilan. Dalam belajar, menurut Kimnadi, bukan hanya mempelajari apa yang ingin kita kerjakan, tetapi yang tidak kalah beratnya, mempelajari batin sendiri agar menjadi orang yang bijaksana. “Saya belajar untuk mengendalikan emosi dan menghargai orang lain,” tutur Presiden Direktur PT Bina Dana Swadaya, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), yang berkantor di Wisma Millenia, Jakarta, ini.
Bisnis perbankan termasuk bisnis jasa sehingga yang ditekankan adalah pelayanan. Apalagi untuk BPR, budaya perusahaan yang dibangun benar-benar memasyarakat. Karyawan harus memahami kesulitan petani, pedagang kecil, peternak, petambak, dan sebagainya, yang berskala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Setiap pagi ada renungan yang dilakukan bergilir di antara karyawan. Mereka selalu diingatkan untuk melakukan hal-hal yang baik. Bukan orang yang petantang-petenteng, pakai dasi, dan menyombongkan diri, tetapi yang dibangun adalah orang-orang yang rendah hati. “Mereka termotivasi. Tidak ada yang menyombongkan diri,” kata pria kelahiran Palembang, Sumatera Selatan, 10 Mei 1969, kepada AGRINA, beberapa waktu lalu.
Dengan kerendahan hati, tidak ada orang yang merasa lebih hebat dari orang lain. Untuk membangun tim yang solid, Anda tidak perlu hebat, tetapi saling mengisi di dalam tim. “To be a champion, you have must good teamwork. Kekurangan Anda, saya yang mengisi. Kekurangan saya, Anda yang mengisi. Jadi, kita berupaya untuk menjadi teamwork yang bagus,” papar lulusan akuntansi dari Akademi Akuntansi Syakyakirti, Palembang, ini.
Jangan Ditantang
Jika kita perhatikan sekilas, Kimnadi ini berpenampilan tenang dan kalem. Tetapi jangan salah, “Saya memang pendiam. Di balik pendiam itu, emosi saya besar. Saya tidak bisa ditantang orang lain, baik segi positif maupun negatif. Kalau negatif, saya tantang balik. Tapi kalau positif, kita lihat, apa bisa menyebabkan saya maju atau tidak. Tapi karena ditantang positif, kita jalankan,” cetusnya.
Menilai tantangan itu positif, Pak Kim, begitu ia bisa dipanggil, mau memimpin BPR ini awal tahun lalu. Apalagi visi dan misi pemilik bank ini menyejahterakan petani, petambak, peternak, dan sebagainya di bidang agribisnis, seirama dengan visi dan misi dirinya. “Kami akan fokus pada hal-hal yang bersifat agribisnislah,” katanya ketika ditemui di kantornya. Padahal, penganut Katolik ini sudah 10 tahun tidak berkecimpung di bank, setelah keluar dari Bank Danamon 1999.
Sewaktu di Bank Danamon, penggemar musik klasik ini fokus pada pemasaran. Tapi, saat ini, sebagai Presiden Direktur PT Bina Dana Swadaya, tidak hanya pemasaran, tetapi juga menangani perizinan, para karyawan, dan sebagainya. “Tapi, saya menemukan kegembiraan sendiri karena kita berhasil,” papar penggemar renang dan tenis ini. Di dalam tulisan Infobank edisi Juni 2012, bank ini tergolong ‘Sangat Bagus’. Padahal, ketika diakuisisi 6 Januari 2011, bank ini amburadul. “Saya diajak beres-beres,” ujarnya.
Selepas dari Bank Danamon, penggemar badminton ini memasuki bisnis kayu. Maklum, ia pernah mengaudit debitur, antara lain pabrik kayu. Dalam mengaudit itu, selain melihat usahanya, juga meninjau industrinya. Setelah keluar dari Bank Danamon, ia menekuni industri kayu. Periode 1990 – 1999 industri kayu lagi hebat-hebatnya. Ia belajar selama dua tahun, dari hulu sampai ke hilir. Dari pohon masih berdiri sampai jadi barang jadi. “Kayu dipotong-potong. Saya pernah membuat mebel dan kusen,” kenang Kimnadi.
Menginap di Hutan
Kim tidak segan-segan masuk ke hutan. Sampai akhirnya, ia mengerti bahwa jenis kayu meranti itu sampai ratusan. “Saya berubah 180 derajat. Kita harus nginap di hutan, dua-tiga minggu. Padahal kita biasa di kantor. Benar-benar berubah. Jadi, apapun kita harus belajar. Misalnya, air habis, ya minum air mentah. Ke hutan kita bawa garam, sambel, dan beras. Tidak perlu yang lain. Tetapi tetap enak,” ceritanya.
Memang, kalau dipikir berat, ya berat. Tapi berkat dukungan keluarganya, semua itu menjadi ringan. “Kita belajar demi keluarga juga. Hal yang positif pasti didukung sama keluarga. Seberat apapun pekerjaan yang kita lakukan, tidak akan terasa berat karena didukung keluarga. Dan juga tenang kita menjalankannya. Saya termasuk orang yang cepat belajar. Karena tanpa belajar cepat, kita tidak bisa menguasai bisnis kayu,” lanjut dia.
Selain dipasarkan di dalam negeri, kayu juga diekspor ke Eropa Barat dan Eropa Timur. “Ada yang mereka buat furnitur antik dan diekspor lagi ke sini. Itu sedikit. Kebanyakan, kayu yang mereka impor dari Indonesia untuk kusen, tatakan, dan sebagainya,” imbuh Kim masih soal kayu.
Tapi lama kelamaan bahan baku kayu semakin sulit. Apalagi area izin penebangannya sudah habis. Banyak aturan pemerintah terkait kayu log ilegal. “Itu sangat menyulitkan. Kayu kita resmi atau tidak resmi ditahan semua. Suratnya sudah jelas dari Kehutanan. Resmi. Tapi tetap ditahan. Saya tidak nyaman, dan keluar dari bisnis kayu,” tandasnya.
Pada 2002, ia ditawari memasarkan Amidis (air minum distilasi), yaitu air minum kesehatan yang diproses melalui sistem distilasi atau penyulingan. Terasa berat karena harus mempunyai modal botol ukuran galon, membeli airnya, dan harus punya armada angkut. Lama-lama ia tahu, industri makanan dan minuman akan menjadi nomor satu. Asalkan produk yang dipasarkan berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dua tahun kemudian, ia mulai menekuni menjadi distributor Amidis. Sekarang, Amidis ini sudah dikenal masyarakat, dan tidak sulit bagi Kimnadi untuk memasarkannya. Lama-lama masyarakat itu menginginkan minuman yang sehat. “Amidis ini pure water, 100%. Dari mana bisa kita dapatkan barang murni dengan harga yang murah,” papar Kimnadi.
Belajar keras dan cepat, tidak kenal menyerah, rendah hati, siap menerima tantangan, pandai membaca peluang, serta dukungan keluarga, itulah hal-hal yang menyebabkan Kimnadi bisa menuai hasil. Kini, ia ditantang menjadikan Bina Dana Swadaya sebagai mitra bagi karyawan, petani, petambak, peternak, dan UMKM. “Kita tidak memandang agama, memandang suku. Siapapun yang bisa kita bantu, kita bantu,” tutup Kimnadi.
Syatrya Utama, Liana Gunawati