Selasa, 10 Juli 2012

Rachmat Gobel Setia Mengusung Filosofi Pohon Pisang

Pada usia 22 tahun, tanggung jawab besar mengurus perusahaan jatuh ke tangannya. Dengan kerja keras, perusahaan yang merugi diubahnya jadi menguntungkan.

 Jalan hidup seseorang memang tiada yang bisa menebak. Tantangan besar tak terkira bisa saja tiba-tiba menyergap kita. Itulah yang dialami Rachmat Gobel ketika tengah menempuh studi di Universitas Chuo, Tokyo, Jepang, tatkala kabar wafatnya sang ayahanda, Thayeb M. Gobel, tiba-tiba datang pada 21 Juli 1984.

Almarhum Thayeb M. Gobel adalah pendiri PT Transistor Radio Manufacturing Co. (TRM), pada 1954, yang memproduksi radio transistor pertama di Indonesia dengan merek “Transistor” dan “Cawang”. Lalu pada 1960, almarhum ayahnya menjalin kerjasama dengan Konosuke Matsushita, pendiri Matsushita Electric Industrial Co., Ltd., yang kini dikenal dengan Panasonic Corporation. Dan pada 1970, berdirilah perusahaan patungan PT National Gobel (kini PT Panasonic Manufacturing Indonesia/PMI).

Dengan wafatnya sang ayah, sebagai putra laki-laki tertua, seluruh kepemilikan perusahaan menjadi tanggung jawabnya, mewakili tujuh kakak-beradik saudaranya. “Saya tercatat sebagai mitra usaha termuda Matsushita di seluruh dunia waktu itu,” ungkap lelaki kelahiran Jakarta, 3 September 1962, ini.

Jiwa Samurai

Rachmat mengakui, sejak mangkatnya sang ayah inilah ia baru menyadari telah digembleng sebagai calon penerus. “Almarhum ayah sepertinya ingin saya memiliki jiwa samurai Jepang yang selalu loyal pada cita-cita dan komitmen, bekerja keras dan berdisplin tinggi, serta selalu berupaya sepenuh tenaga, berlatih dan berlatih untuk menguasai keterampilan baru dalam menghadapi perubahan zaman. Dan yang utama sifat ksatria yang dilandasi kejujuran dan keihklasan mengabdi,” kenangnya.

Kantor dan pabrik layaknya dojo, ruang penggemblengan yang melahirkan seorang samurai. Di sanalah Gobel senior mengasah jiwa anak lelakinya dengan falsafah hidup “pohon pisang” yang selalu berorientasi pada sebesar-besarnya manfaat untuk sesama dan masyarakat. Juga menumbuhkembangkan generasi pisang baru, berupa perusahaan dan teknologi baru untuk memperluas kesempatan kerja dan sumber penghasilan.

Bila remaja seusianya menikmati masa-masa penuh kesenangan, ia malah digembleng disiplin ketat. Saat libur sekolah, ia diwajibkan pergi ke pabrik sehari penuh untuk mengenal proses produksi. Dan ia tak boleh memanfaatkan fasilitas orangtuanya. Berangkat dan pulang dari pabrik ia harus naik kendaraan umum, bahkan wajib menjaga kebersihan pabrik dengan membantu menyapu.

Rachmat baru kembali ke Indonesia pada 1988 dan menjadi  asisten direktur utama. Ini dilaluinya tiga tahun sebelum menjabat direktur perencanaan pada 1991.  Sempat menduduki beberapa posisi, baru pada 2002 pria ramah ini menjabat Komisaris PT PMI. Dua tahun kemudian ia meninggalkan peran rangkap sebagai eksekutif dan pemilik perusahaan. Ia melepaskan jabatan presiden direktur kepada profesional dan memilih duduk sebagai presiden komisaris.

Saat melepas jabatan eksekutif perusahaan itu, ia merasa telah mencapai kinerja yang tertinggi.  Akhir 2004 itu, misalnya, angka penjualan PT Panasonic Gobel Indonesia meraih angka terbaik di antara perusahaan-perusahaan grup Panasonic di Asia Oseania, kecuali Australia. “Selain itu, saya juga ingin memberikan kesempatan pada yang lain untuk memimpin perusahaan ini ke era berikutnya,” papar Wakil Ketua Dewan Penasehat Kadin Indonesia periode 2010-2014 ini.

Menjawab Tantangan

Sukses Rachmat jelas tidak didapat dengan gampang. Menerima tongkat estafet pada usia 22 tahun, kala itu ia tentu mesti membuktikan mampu menjalankan amanah ayahnya dengan baik. Di antaranya, memelihara warisan komitmen kerjasama dengan Matsushita serta menjaga keberlangsungan cita-cita ayahnya mengembangkan industri elektronika dan industri lainnya di Tanah Air.

“Visi almarhum ayah saya adalah menjadikan industri sebagai lapangan pengabdian kepada nusa dan bangsa. Juga melalui industri elektronika bisa merajut persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, menciptakan lapangan kerja, dan agar bangsa Indonesia menguasai teknologi dan mampu menciptakan produk baru bagi peningkatan kemakmuran bangsa,” urai Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) periode 2012-2015 ini.

Ujian berat lainnya adalah meyakinkan para seniornya, yakni orang-orang yang dulu bekerja bersama-sama almarhum ayahnya membangun perusahaan. Apalagi, kala itu kinerja perusahaan kurang bagus akibat imbas kebijakan uang ketat. Hal ini diperburuk krisis ekonomi pada 1997/1998. Toh, berkat kerja kerasnya, perusahaan yang banyak utangnya itu diubahnya jadi perusahaan yang menguntungkan.

Tantangan terbesar lain adalah meyakinkan mitranya, perusahaan Jepang, untuk tetap tinggal dan tidak memindahkan industrinya ke negara lain. Maklum, iklim berinvestasi di Indonesia kurang mendukung, dan negeri ini kalah agresif dari sejumlah negara lain dalam mengundang investor.

Belajar pada Jepang

Kini, berada di luar manajemen, suami Retno Damayanti ini ingin lebih berperan dalam kebijakan lebih global dan strategis untuk terus menemukan posisi terbaik bagi kelompok perusahaan pada situasi yang selalu berubah dengan cepat. “Pohon pisang besar” ini pun telah mulai menyiapkan “anakannya” guna melanjutkan estafet. Meski tak lagi mewajibkan kedua anaknya datang ke pabrik seperti dirinya dulu, ia meminta mereka mendalami nilai-nilai bisnis dan etika manajemen Jepang.

Alasannya, pebisnis di Negeri Matahari Terbit itu selalu mementingkan pembentukan ”nilai-nilai” perusahaan. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka bangun, yang merupakan satu kesatuan dengan merek produk yang dihasilkan.

Ia ingin anak-anaknya, Nurfitria S. Kusumawardhani dan Mohammad Arif Gobel, mewarisi nilai-nilai luhur yang dimiliki kakek mereka, sang pendiri perusahaan. “Mereka harus menjadi pebisnis yang tidak saja andal tapi juga memiliki etika tinggi, yang selalu mengedepankan nilai manfaat yang bisa diberikan,” ungkap Rachmat mengakhiri percakapan dengan AGRINA.

 Syaiful Hakim

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain