Selasa, 10 Juli 2012

Kewajiban 2% BBN Belum Terwujud

Negara-negara di dunia semakin bergiat mengembangkan energi-energi baru dan terbarukan karena energi bersumber dari minyak bumi (juga gas dan batubara) semakin tekor ketersediaan dan cadangannya. Kesadaran dan komitmen internasional ini sekaligus untuk menyehatkan udara kita dari emisi gas karbondioksida. Alam anugerah Tuhan memberikan jalan keluar. Energi alternatif bisa didapat dari sinar matahari (solar energi), angin, gelombang pasang, tenaga air, panas bumi, tumbuh-tumbuhan, bahkan dari limbah panenan pertanian dan perkebunan, sampah rumah tangga, serta kotoran manusia dan hewan.  

Dalam hal energi baru dan terbarukan, bahan bakar nabati maupun biomassa, Indonesia paling diberkati. Di sini tersedia semua jenis energi baru dan terbarukan itu. Tajuk AGRINA terdahulu (edisi 178) menyatakan, Indonesia menyadari dan berupaya mewujudkan diversifikasi dan bauran energi untuk tidak terlalu bergantung pada bahan bakar dari minyak bumi. Sejumlah undang-undang dan peraturan tentang hal itu telah diterbitkan sejak 2006. Dibentuk tim nasional pengembangan bahan bakar nabati. Pemerintah merencanakan pula kawasan pengembangan bahan bakar nabati (BBN) di Sumatera, NTT, Kalimantan, Jawa, dan Papua.

Kendati sudah dirancang dengan muluk dan dikawal berbagai aturan serta diimingi insentif dan subsidi, promosi kita untuk menghadirkan 2% bahan nabati dalam fuel kita belum benar-benar terwujud. Industri pertambangan mineral dan batubara diwajibkan paling lambat 1 Juli 2012 sudah menggunakan biodiesel sebanyak 2% dari konsumsi bahan bakar mereka. Kewajiban ini juga akan diberlakukan efektif pada semua industri. Namun sejauh ini baru PTPN III yang memanfaatkan biomassa dari limbah tandan sawit untuk dijadikan tenaga listrik. Dua pabriknya di kawasan industri Sei Mangke, Simalungun, Sumatera Utara mengandalkan suplai listrik dari dua pembangkit listrik berkekuatan masing-masing 3,5 MW ini. Sementara Pertamina konsisten menjual bahan bakar dengan kandungan bahan nabati. Swasta besar, Wilmar, gencar memproduksi BBN. Itu pun karena 65% pasarnya ke luar negeri.  

Jika bicara konsistensi, baiklah kita menengok Thailand. Kerajaan itu sudah menggariskan perencanaan strategis bioenergi sejak 2005, dan kini sudah mengonsumsi 1,4 juta liter etanol/hari.  Mereka mengolah gula tebu dan singkong menjadi etanol di 9 pabriknya yang berkapasitas total 435 juta liter/tahun. Mengolah 40% dari produksi kelapa sawitnya menjadi biodiesel pada 9 pabriknya yang sudah dan sedang dibangun (kapasitasnya 655 juta liter/tahun).  Semua SBPU di Thailand sudah menjual biodiesel B2 (2% biodiesel : 98% diesel) dan SBPU di Bangkok dan sekitarnya sudah menjual B5 (5% biodiesel: 95% diesel). Semua kendaraan pemerintah memakai gasohol. Target: menurunkan 10% konsumsi diesel tahun ini.

Kita mempunyai puluhan BUMN dan swasta besar yang mampu mengolah dan menghasilkan bahan bakar nabati (BBN). Insentif fiskal dijanjikan kepada mereka yang mengembangkan dan berniaga BBN. Al Hilal Hamdi, Ketua Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati, mengatakan luas tanaman untuk BBN di Indonesia sudah mencukupi bahkan berlimpah. Para pelaku agribisnis pun telah menakar potensi penjualan biodiesel di Indonesia yang bisa meningkat 5%-10%. Namun mengapa program yang sudah digulirkan sejak 6 tahun lalu masih tertatih-tatih?

Evita Herawati Legowo, Dirjen Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengungkapkan, kewajiban pemanfaatan biodiesel yang ditetapkan pemerintah pada 2011 sebanyak 1,297 juta kiloliter, realisasinya hanya 8,98% atau sekitar 116.449 kiloliter. Sedangkan kewajiban bioetanol 694 ribu kiloliter tidak terserap sama sekali. Demi mendorong program wajib tersebut, pemerintah mengusulkan kenaikan besaran subsidi BBN dalam RAPBN 2012 dari Rp2.000/liter menjadi Rp3.000/ liter untuk biodiesel dan Rp3.500/liter untuk bioetanol.

Bagaimana pun, narasumber yang dihubungi AGRINA menunjukkan sejumlah masalah atas BBN ini. Mulai dari supply-chain-nya (dari hulu sampai paling hilir),  langkah belum serentak antara Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM, sampai soal insentif, subsidi dan infrastruktur serta kompetisi antara food-feed-fuel. Belum lagi soal letak kebun yang jauh dari lokasi pabrik dan jaminan ketersediaan bahannya secara kontinu. Biaya pengembangan energi baru/terbarukan dianggap masih sangat mahal. Maka pengusaha minyak sawit mentah (CPO) lebih senang menjual CPO-nya untuk dijadikan minyak goreng, yang harga jauh lebih baik ketimbang BBN. Disoroti pula tentang ekspor sebesar-besarnya batubara dan gas, sementara di dalam negeri disuruh pakai BBN dan geotermal yang mahal demi energi terbarukan.

AGRINA edisi ini juga memaparkan tentang usaha pengadaan energi listrik dari gas metan yang bahannya dihasilkan dari sampah Bantar Gebang, serta dan produksi bioetanol dari sampah kulit pisang di penangkaran monyet di Jambi.

Daud Sinjal

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain