Ia salah seorang yang paling bahagia saat UU penelitian dan pengembangan iptek disahkan. Sebab, artinya riset penting bagi pembangunan.
Apalagi, pengesahan Undang-undang (UU) No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) itu juga langsung membuat banyak negara maju memuji Indonesia. Bukan hanya itu, “Ini artinya negara dan rakyat negeri ini mengakui pentingnya riset dalam pembangunan,” ujar Dr. Ir. Haryono, M.Sc., Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kementerian Pertanian (Kementan).
Bahkan, ia mengakui selama 10 tahun terakhir ini pemerintah telah memberi perhatian besar pada bidang penelitian dan pengembangan atau research & development (R&D) bidang pertanian. Dalam lima tahun terakhir, tambah Haryono, anggaran Litbang Pertanian antara 8%-12% dari anggaran total Kementan. “Ini harus disyukuri, karena artinya pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri Pertanian menganggap penting R&D,” tandasnya.
Tapi, tentu harus ada yang dicapai dengan anggaran cukup besar itu. Paling tidak, tertangkap tekad kuat pemerintah untuk menyukseskan program swasembada pangan.
Varietas Padi Unggul
Sebagai kepala badan penelitian pertanian, pria kelahiran Rembang, Jateng, 16 Mei 1956 ini jelas tak ingin menyia-nyiakan harapan yang dibebankan di pundaknya. Ada dua pendekatan yang menjadi perhatiannya, yaitu program jangka pendek serta program jangka menengah dan panjang. Untuk yang jangka pendek itu, lembaga yang dipimpinnya harus mampu memanfaatkan hasil riset dalam bentuk mengembangkan dan menyediakan logistik bibit atau benih, alat mesin pertanian (alsintan), serta pupuk yang dibutuhkan petani.
Sedangkan yang jangka panjang adalah upaya yang berhubungan dengan riset terkait kekayaan alam negeri ini, sumber daya yang luar biasa, dan perubahan iklim, termasuk mitigasi. “Dan semua ini harus bermuara pada food security, yaitu peningkatan produktivitas dan produksi, serta keamanan pangan dalam arti functional food, dan food safety dalam arti kualitas,” papar Haryono.
Pelaksanaan program jangka menengah dan panjang ini, tambah Haryono, sesungguhnya telah dijalani 10-20 tahun lalu. Seperti menghasilkan varietas yang adaptif perubahan iklim, baik kondisi normal, kekeringan, banjir, termasuk cekaman biotik dan abiotik. “Yang kami utamakan padi. Untuk padi, lima tahun terakhir kami hasilkan 32 varietas, dan dua tahun ke depan juga ada yang baru, 10-15 varietas baru,” katanya.
Sebutlah misalnya varietas yang tahan rendaman air, di rawa, namanya Inpara. Lantas, ada juga yang tahan hama wereng seperti Inpari 13. Atau yang umurnya lebih pendek, seperti Dodokan. “Tapi saya harus bersyukur, selama Kementan punya Litbang, sejak 1974, sudah 250 varietas dihasilkan. Setiap tahunnya 60-70 yang beredar,” ucap doktor dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand.
Lahan Sub-Optimal
Sedangkan mengulas functional food boleh jadi berbicara teknologi tinggi, yaitu agar pembibitan harus berbasis genomic research, yakni berdasar keanekaragaman yang dipahami karakteristiknya secara detil. “Karena kita bisa memotret gen, menerawang kromosom mana yang menentukan sifat tertentu, Jadi, kalau kita mau ciptakan padi dengan sifat tertentu, misalnya unggul dengan kadar vitamin A tinggi, persilangan kita jadi dipermudah dengan memahami inputnya,” katanya.
Tak hanya itu, Litbang Pertanian juga meluncurkan Kalender Tanam (Katam) Terpadu berbasis web. Isinya informasi tentang masa tanam padi terbaik untuk tiap provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Di sini, dipadukan data pertanian dengan data penting dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Mencermati derasnya alih fungsi lahan sawah di Pulau Jawa akibat perkembangan pembangunan, Haryono juga mulai mengarahkan lembaganya untuk memaksimalkan penelitian lahan-lahan sub-optimal, seperti lahan kering, lahan rawa, dan lebak. “Potensinya besar, Kalimantan 10 juta ha, Sumatra 10 juta, Papua 10 juta, sisanya ada 3 juta ha tersebar di mana-mana,” katanya.
Pengembangan padi rawa, tambah Haryono, adalah salah satu yang akan dikerjakan Litbang Pertanian. “Padi rawa itu kalau dimakan sedikit saja sudah kenyang. Dia mengandung Fe dan selenium tinggi, dan puncak panennya justru di bulan padi yang pulen sedang turun, yaitu Agustus-Desember,” katanya.
Rumah Pangan Lestari
Terkait riset bidang pangan, Litbang Pertanian juga mendapat arahan dari Presiden, termasuk soal diversifikasi pangan. Yaitu, untuk memanfaatkan lahan pekarangan rumah tangga di Indonesia yang total luasnya 10,3 juta ha. “Kalau bisa memanfaatkan 20% saja, sudah 2 juta ha. Jadi, program Rumah Pangan Lestari (RPL) itu konsepnya memanfaatkan pekarangan,” hitungnya.
Tugas Badan Litbang terkait RPL itu adalah membuat model di semua kabupaten. Saat ini, sudah mencapai 70%, sekitar 360 kabupaten model. “Diharapkan dari model itu direplikasi,” tambahnya.
Bagi Haryono, petani Indonesia itu nomor satu di dunia. Jadi, ia merasa heran melihat sejumlah orang membanggakan petani salah satu negara di ASEAN yang mereka nilai mampu memproduksi beras lebih produktif daripada Indonesia. Padahal, “Itu hanya karena penduduknya jauh lebih sedikit, sedangkan luas arealnya sawah bakunya hampir sama dengan Indonesia. Jelas, mereka bisa ekspor,” katanya
Selain membanggakan petani negeri ini, ia juga memuji para peneliti pertanian negeri ini. Banyak tanaman yang hidup di iklim subtropis, katakanlah kedelai, tapi mampu dibudidayakan di negeri ini yang beriklim tropis. “Peneliti kita itu hebat,” sanjungnya.
Syaiful Hakim, Renda Diennazola, Syatrya Utama, Liana G.