Jagung bagian dari pangan, bahkan diniatkan menjadi pangan pokok setara beras. Seperti beras, masalah jagung pun kronis, dalam arti ketersediaan, atau ketercukupan dan keterjangkauannya. Apalagi jagung juga bahan baku penting untuk pakan dan bahan bakar nabati.
Di Indonesia jagung memang belum menjadi rebutan tiga pihak: food, feed, fuel, baru berbagi untuk kepentingan pangan dan pakan. Begitu pun sudah cukup seru karena 51% komponen pakan ternak adalah jagung. Impor jagung terutama untuk memenuhi permintaan industri pakan ini. Tinggi rendahnya angka impor tersebut berhubungan dengan tinggi rendahnya ketersediaan jagung panenan dalam negeri.
Produksi jagung dalam negeri periode Januari-Mei 2012 meningkat membuat impor menurun. Periode yang sama tahun sebelumnya realisasi impor mencapai 1,4 juta ton. Sedangkan periode yang sama tahun ini turun 67% menjadi 460 ribu ton. FX Sudirman, Ketua Umum Asosiasi Produsen Pakan Indonesia (GPMT) mengatakan, semester pertama tahun ini panen jagung di Tanah Air telah mencapai 60% dari total produksi nasional. Namun impor akan kembali naik pada semester kedua karena panen jagung diperkirakan hanya sebesar 40%.
Data Ditjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian menunjukkan, tahun ini produksi jagung pipilan kering nasional diperkirakan mencapai 18,8 juta ton, naik dari 2011 yang sebesar 17,6 juta ton. Dengan produksi sebesar itu, hingga akhir 2012 GPMT memperkirakan total impor jagung sebanyak 1,5 juta ton, turun dari tahun lalu yang 3,144 juta ton.
AGRINA menyoroti masalah jagung dengan seksama karena terbilang agribisnis ketiga terbesar setelah padi dan kelapa sawit, melibatkan 9 juta kepala keluarga. Jagung menjadi strategis karena rentangannya dari hulu sampai ke hilir (benih, alat, pupuk, pestisida sampai ke pabrik pakan) menyangkut rantai pasokan pangan yang memberi pengaruh luas.
Sejak terbit tabloid ini sudah terlibat dalam hiruk-pikuk tentang jagung dan empat kali menggelar seminar tentangnya. Dalam keempat seminar tersebut terus saja mencuat perbedaan penglihatan antara pelaku industri dan pejabat resmi menyangkut angka- angka produksi. Dikatakan produksi berkecukupan, tapi toh masih mengimpor juga. Terakhir, pada seminar Kamis 31 Mei lalu, walaupun disepakati tidak membicarakan data, dalam paparan dan komentar perbedaan persepsi tersebut tak terhindarkan. “Kesepakatan” yang diterima bersama oleh Dirjen Tanaman Pangan dan GPMT adalah “produksi meningkat, tapi konsumsi juga meningkat”.
Sejak awal, AGRINA menulis tentang jagung, dan tentang ketahanan pangan, yang harus diletakkan pada mata rantai yang tiada terputus. Telah dikemukakan pula, 70% dari rangkaian mata rantai itu pekerjaan nonpertanian. Dalam seminar AGRINA akhir Mei itu, Udhoro Kasih Anggoro, Dirjen Tanaman Pangan, juga mengingatkan tentang food chain yang terintegrasi dan bahwa “persoalan di Indonesia adalah persoalan merangkai”.
Ini tentunya untuk menjamin tercapainya keseimbangan antara produksi dan konsumsi tadi. Boleh kita mengklaim dan mengakui produksi jagung meningkat, tapi seperti diakui sendiri oleh Dirjen Tanaman Pangan, kebun-kebun jagung itu letaknya berserakan dan dalam hamparan kecil-kecil. Karena itu pihaknya mengembangkan cluster-cluster yang luas hamparannya ditentukan. Agar terangkai, industri pakan ternak diimbau membangun atau memindahkan pabriknya ke daerah itu. APBN akan dialokasikan hanya ke pengembangan cluster tersebut. Sedangkan kebun yang kecil-kecil menjadi tanggungan APBD.
Mata rantai pangan dimulai dari lahan yang luas dan tidak berserakan sehingga penyaluran benih, pupuk, pengairan efisien dan efektif. Sarana transportasi, jalan, jembatan, dermaga pelabuhan, kapal-kapal pengangkut, pergudangan menjamin produksinya follow the market. Khusus untuk jagung diperlukan pembangunan silo-silo serta pelabuhan dan kapal-kapal curah. Kalau sudah begitu, keluhan pelaku bisnis yang mendatangkan jagung dari Houston, AS, lebih cepat ketimbang dari Lampung tidak akan terjadi lagi. Distribusi pupuk pun bisa tepat saat musim tanam manakala tersedia kapal-kapal berukuran besar dan fasilitas dermaga serta pergudangan.
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang menggariskan intraconnectivity dan interconnectivity bukan saja akan menutupi kesenjangan antardaerah dan wilayah, tapi sebagai urat nadi dari sistem logistik nasional yang identik dengan food chain supply tadi. Ini membangkitkan daerah-daerah untuk mengembangkan potensi pertaniannya. Kunci keberhasilan pertanian pangan sungguh akan bertumpu di daerah dan oleh daerah, yang dirangkaikan secara nasional bahkan regional dan global. Mata rantai pasokan tidak terputus inilah yang bisa menjaga keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Seperti juga ditegaskan Presiden Soekarno pada peletakan batu pertama gedung Fakultas Pertanian Bogor, 27 April 1952, persoalan makanan rakyat terletak obyektif pada ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi, tidak subyektif karena durhakanya seseorang.
Daud Sinjal