Senin, 14 Mei 2012

Sekali Lagi tentang Bahan Bakar Nabati

Dr. Kardaya Warnika, Dirjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM kembali menegaskan tentang energi baru dan terbarukan – yang salah satunya bioenergi – sebagai pemegang peran penting dalam pencapaian ketahanan energi, kedaulatan energi dan kemandirian energi. Ia pun menunjuk potensi sumber daya bioenergi yang begitu melimpah di Indonesia. Ini bukan hal baru. Pemerintah Indonesia sudah lama menyadari dan berupaya mewujudkan diversifikasi dan bauran energi untuk tidak terlalu bergantung pada bahan bakar dari minyak bumi. Menteri Pertanian Bungaran Saragih pada 2001 sudah memunculkan gagasan memproduksi biodiesel dari minyak kelapa sawit.

Pada pemerintahan Presiden SBY telah diterbitkan sejumlah undang-undang dan peraturan tentang  diversifikasi dan bauran energi serta bioenergi. Pada 25 Januari 2006 dikeluarkan dua keputusan penting, yakni Inpres No.1/2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati sebagai bahan bakar lain dan Kepres No.5/2006 tentang kebijakan energi nasional yang menargetkan persentase bioenergi dalam diversifikasi dan bauran energi nasional. Enam bulan kemudian menyusul Keppres No.10/2006 yang membentuk tim nasional pengembangan bahan bakar nabati. Keppres ini memberi Timnas itu misi yang luhur pula, “untuk percepatan pengurangan kemiskinan dan pengangguran”. Terakhir 26 September 2008 dikeluarkan Peraturan Menteri ESDM (No. 32 Tahun 2008) tentang penyediaan, pemanfaatan dan tata niaga bahan bakar nabati sebagai bahan bakar lain.

Pemerintah berencana membentuk kawasan pengembangan bahan bakar nabati (BBN) di Sumatera, NTT, Kalimantan, Jawa, dan Papua. Insentif fiskal diberikan kepada puluhan perusahaan perkebunan swasta dan BUMN yang mengembangkan dan berniaga bahan bakar nabati. Penjualan BBN untuk transportasi (seperti biodiesel dan biopremium) juga dibantu dengan subsidi. Ketua Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati, Al Hilal Hamdi, mengatakan, luas tanaman BBN di Indonesia sudah mencukupi bahkan berlimpah. Khusus di agribisnis sawit,  para pelakunya kini sedang bersemangat mengembangkan kapasitas produksi karena meyakini penjualan biodiesel bisa terus meningkat dari 5%-10%. Salah satu pemantik semangat itu adalah terbitnya aturan yang mewajibkan pemanfaatan biodiesel untuk industri sebesar 2% dari konsumsi bahan bakar minyak (BBM) mereka. Untuk industri pertambangan mineral dan batubara kewajiban tersebut sudah harus dijalankan paling lambat 1 Juli 2012.

Pemerintah didorong segera membuka akses pasar seluas-luasnya di dalam negeri, utamanya pada sektor transportasi dan industri. Dari total produksi BBN dari sawit kita yang 3 juta ton, hanya 35% yang diserap di pasar dalam negeri, sementara yang 65% adalah diekspor. Wilmar, umpamanya, memasarkan ke Uni Eropa dan ke Asia seperti Korea dan Jepang. Sedangkan pasar dalam negeri masih sebatas ke Pertamina. “Bayangkan saja jika sektor industri yang memerlukan 11 juta kiloliter bahan bakar per tahun dan sektor transportasi 15 juta kiloliter/tahun semuanya menyerap BBN berarti ada 26 juta kiloliter/tahun yang dapat terserap hanya di dalam negeri,” kata Max Ramajaya, Manajer Pengembangan Bisnis PT Wilmar Indonesia.

Untuk segera berkiprah di dalam negeri, para pemain CPO untuk BBN itu mengharapkan pemerintah bertindak tegas. Antara lain dengan mengenakan denda kepada industri yang tidak menggunakan BBN. Dengan adanya denda, mau tidak mau mereka akan menggunakan BBN. Insentif melalui subsidi saja dianggap tidak cukup, malah akan memberatkan anggaran negara. 

Indonesia punya target menghasilkan CPO 40 juta ton pada 2020. Karena itu, pemerintah dan perusahaan BUMN serta perusahaan besar swasta sejak 2005 telah menunjukkan kesungguhan untuk menghilirkan sawit. Tiga klaster industri sawit dibangun di Sei Mangkei, Simalungun, Sumut, di Kuala Enok, Dumai, Riau dan di Maloy, Kutai Timur, Kaltim. Kawasan Industri Kelapa Sawit Terpadu di Sei Mangkei dikembangkan oleh pabrik-pabrik CPO milik PT Perkebunan Nusantara III. Di Kuala Enok dikerjakan oleh perusahaan swasta PT Wilmar International. Dr. Chairul Muluk, Staf Khusus Direksi PTPN III menganggap kita mundur ke zaman VOC kalau terus-terusan hanya mengekspor CPO. PTPN III mulai tahun ini sampai 2015 akan membangun industri biodiesel terintegrasi (dengan Betacarotene, Surfactant, fatty alcohol dan industri refinery). "Hasil produksinya sebagian untuk keperluan dalam negeri dan sebagian lagi untuk ekspor”.

Kurang dari tiga tahun lagi kita memasuki pasar tunggal ASEAN. Kalau kita sukses menghilirkan kelapa sawit, mengolah CPO jadi bioenergi yang sebagian besar diserap di negeri sendiri, maka itu bukan saja menjamin ketahanan energi, tapi pasar lokal yang terbentuk juga menjadi buffer market terhadap pergolakan pasar global. Industrialisasi sawit yang menghasilkan puluhan produk turunannya jelas akan mengangkat competitive advantage dan nilai tambah produk sawit Indonesia. Sekaligus juga memberi banyak lapangan kerja, mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

Daud Sinjal

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain