Ia prihatin melihat mandeknya regenerasi petani di Tanah Air. Dalam keseharian, nasihat guru kungfunya dulu kerap diingatnya saat hadapi masalah.
“Apa yang akan kita makan 10 tahun lagi jika lahan pertanian negeri ini nantinya kosong?” tanya Fransiscus Richard, Managing Director PT Triasindo Royal Agro, dengan gaya retorik. Sebab, ia memang hanya ingin menegaskan betapa berbahayanya kondisi pertanian di Indonesia tanpa adanya regenerasi petani.
Richard mencontohkan, saat ini fakta yang ada di kalangan masyarakat adalah anak-anak petani lebih suka duduk di atas sepeda motornya alias menjadi tukang ojek ketimbang melanjutkan pekerjaan orang tuanya sebagai petani. “Tak usah jauh-jauh, kondisi ini bisa kita lihat di sejumlah sentra pertanian di Jawa Barat,” tandasnya.
Petani Harus Bangga Pekerjaannya
Penyebab masalah itu, tutur lulusan jurusan marketing dan teknologi informasi dari salah satu universitas swasta di Sydney, Australia, ini, lantaran pekerjaaan sebagai petani tak lagi membanggakan. Buktinya, banyak petani yang menginginkan anaknya tidak jadi petani agar meraih kehidupan lebih baik. Terkadang, sudah benar langkah yang diambil, yaitu menyekolahkan anaknya di sekolah pertanian, tetapi ujung-ujungnya si anak bukan kembali ke lahan pertanian orang tuanya, melainkan bekerja di bidang lain.
“Ini karena hasilnya belum sepadan dengan kerja keras petani,” cetus Richard. Apa yang terjadi di Indonesia ini sangat berbeda dengan kehidupan petani di luar negeri macam Australia. Di sana, petani memiliki lahan luas dan kehidupan yang sejahtera karena mampu memiliki mobil dan rumah bagus, kendaraan angkut hasil pertanian, gudang, bahkan tak sedikit yang punya pesawat terbang.
Dengan situasi itu, anak-anak petani di Australia tidak segan bekerja dan mengurus pertanian orang tuanya. Akibatnya, regenerasi di kalangan petani di sana pun berjalan mulus.
Untuk memperbaiki kondisi ini, semua stakeholder, terutama pemerintah, tentu harus mengupayakan meningkatnya kesejahteraan petani. Tujuannya, agar anak petani tidak enggan lagi meneruskan pekerjaan orang tuanya. Dan anak petani yang meneruskan pendidikannya di sekolah pertanian pun mau kembali ke kampungnya mengurus lahan keluarga.
Selain itu, tambah Richard, ada pula hambatan lain yang masih menahan kemajuan petani di Tanah Air. Yaitu, cara berpikir yang masih berorientasi pada permodalan ketimbang hasil panen. “Misalnya, kita tawarkan pupuk yang akan meningkatkan hasil panen padi mereka dari 6 ton jadi 9 ton dengan menambah biaya produksi Rp100 ribu, itu membuat mereka berpikir panjang,” jelas ayah dua anak ini.
Toh, bagi lelaki kelahiran Jakarta, 22 September 1976 ini, orientasi petani pada modal tadi juga disebabkan persoalan mendasar, yaitu kesejahteraan yang belum baik. “Masalahnya kompleks, sebaiknya itu dulu dibenahi,” paparnya.
Kepercayaan Itu Penting
Menurut Richard yang pernah bekerja di bidang properti ketika di Australia, kondisi yang terjadi saat ini sejatinya cukup ironis mengingat posisi Indonesia sebagai negara agraris. Terlebih, dengan makin banyaknya produk pakan yang diimpor. “Sayang, semua potensi agribisnis negeri ini belum tergarap maksimal. Para praktisi dan pakar di luar negeri juga menyayangkan hal tersebut, apalagi iklim negeri ini bagus,” tandas Richard.
Potensi besar itu pula yang dulu, pada 2005, membuat Richard meninggalkan kehidupan mapan di Australia untuk turut menyemarakkan agribisnis di Tanah Air, khususnya di bidang pupuk organik (dengan prinsipal Omnia, Australia) dan peralatan laboratorium (lab) pertanian. Kala itu, ia melihat, kebanyakan sistem produksi pupuk di Indonesia terbilang tradisional.
“Misalnya, baru belakangan ini saja, pupuk NPK ditambahkan dengan komponen A atau B, atau C. Ibarat nasi rames, baru sekarang dicoba dilengkapi dengan sambal yang enak,” urai Richard mencontohkan.
Tapi, untuk bisa masuk ke bisnis pupuk di Tanah Air juga tak segampang yang dikira orang. Selama dua tahun pertama, ia harus keluar-masuk persawahan, perkebunan, dan pabrik pupuk di seluruh Indonesia. Yang ditawarkannya adalah komponen pupuk organik untuk melengkapi pupuk yang diproduksi berbagai produsen pupuk. Ia mengaku, dua tahun pertama itu belum berhasil mendapatkan pesanan.
Namun, bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian. Berkat kerja keras, produk yang ditawarkannya kemudian mendapat kepercayaan konsumen, dalam hal ini pabrik pupuk. Ditegaskannya, kepercayaan konsumen sangat penting di bidang agribisnis, baik itu kepercayan terhadap produk maupun atas orang yang menawarkannya.
“Komunitas agribisnis ‘kan kecil. Jadi, nama itu yang paling penting. Hampir di setiap kota pemainnya itu pemain lama. Jadi, saya berterima kasih telah diterima di kalangan ini,” ujar pria yang saat di Australia bergelut di bidang pemasokan bahan baku pabrik-pabrik pupuk.
Semua Ada Jalannya
Mengenai perkembangan alat-alat lab pertanian di Indonesia, ia menilai bangsa ini masih rendah dalam budaya perawatan dibandingkan bangsa lain. Lagi-lagi ia mencontohkan Negeri Kanguru. “Di sana, pertama, ada budaya untuk selalu mengikuti perkembangan peralatan terbaru. Dan, kedua, lembaga-lembaga di sana punya budaya merawat peralatan, jadi meski berumur tua tetap layak pakai, serta bisa diwariskan,” ungkapnya.
Baik untuk pupuk organik maupun peralatan lab, ia selalu menggunakan produk premium alias kelas satu. Alasannya, karena hal itu bakal menentukan nama baik seseorang dalam bisnis. “Memang, awalnya produk premium terkesan mahal, namun jangka panjang jauh lebih murah,” jelasnya.
Dalam menjalankan roda bisnis, Richard berpegangan pada kiat, semuanya pasti bisa dilakukan dan semua tujuan ada jalannya. Dan ia juga orang yang berpandangan optimistis. Sebab, “Apa yang kita pikirkan terus-menerus dan bisa memvisualisasikannya di kepala, itu bisa terjadi,” ujarnya seraya menambahkan tentu tinggal tergantung pada Big Boss yang di atas, yaitu Tuhan, apakah memperkenankannya.
Dalam mengerjakan sesuatu pun, ia menegaskan, “Harus ada hati. Jangan sekadar pengin cepat untung!”
Penggemar forografi ini juga sangat terkesan dengan nasihat-nasihat yang didapatnya saat di bangku SMP dulu ia belajar kungfu pada Andrie Wongso, yang kini dikenal sebagai salah satu motivator terkemuka. “Jika lagi susah, saya kerap teringat nasihat beliau, meski kungfunya mungkin saya sudah lupa,” Richard mengakhiri percakapan dengan AGRINA.
Syaiful Hakim, Eli Nurlaili