Sidat (Anguilla spp.), atau belut, sejak abad ke 17 sudah dikenal sebagai makanan favorit orang Jepang dan China. Sidat terbukti sudah dikenal di Amerika pada era yang sama. Ini membuat orang Amerika harus meluruskan kembali sejarahnya. Ternyata tidak ada ayam kalkun dalam upacara pengucapan syukur kaum pilgrim (pemukim Inggris pertama di Amerika) pada awal abad 17 itu. Tapi belut terdaftar sebagai salah satu makanan utama yang diberkati pada Thanksgiving Day Amerika pada tahun-tahun permulaan kehidupan mereka di benua baru itu.
Sidat dikonsumsi karena kandungan protein yang tinggi dan Omega-3-nya yang berkhasiat untuk kesehatan tubuh dan stamina. Orang Jepang percaya belut memberi daya tahan tubuh sepanjang tahun, terutama di musim dingin. Maka diresmikanlah Hari Unagi di sana. Di Amerika, adalah Indian yang membawa hantaran belut kepada orang-orang putih, meyakinkan mereka sebagai makanan penguat tubuh, lalu mengajarkan menangkap belut di lumpur sungai.
Dalam perkembangannya, sidat menjadi makanan mewah. Ia menjadi santapan untuk fine dining karena pasokannya berkurang. Di Indonesia sidat belum bisa dibudidayakan sejak pembenihan. Ketersediaan benihnya tergantung tangkapan. Kalau induknya berkurang karena pencemaran sungai atau perubahan iklim atau karena sekalian induknya ditangkap, suplai benih menyusut. Di Jepang dan China produksi benih anjlok 70%. Populasi belut di Eropa susut 95% dalam 20 tahun terakhir (koran the Guardian, 2009).
Perkembangan ini mencelikkan mata kita ke sidat di negeri kita, yang benihnya masih berlimpah. Sidat di perairan dan kawasan basah Indonesia memang belum banyak dimanfaatkan untuk konsumsi sendiri ataupun kepentingan ekonomi. Asosiasi perusahaan-perusahaan sidat baru dibentuk empat bulan lalu. “Kita pemilik benih yang luar biasa banyaknya, tapi belum terkelola. Karena orang nggak tahu ini komoditas seksi,” ujar Prof. Dr. Martani Huseini, mantan Dirjen Pengolahan dan Pemasaran, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Komoditas unggulan kita ini membikin seorang pengusaha Jepang yang sudah 30 tahun menggeluti konstruksi dan engineering, banting setir ke pengolahan sidat. Kendati ada juga pengusaha yang nakal, tergiur disparitas harga yang melangit di pasar Jepang, mengekspor benihnya secara ilegal. Padahal ada kesempatan besar meraih devisa berlimpah dan berkelanjutan kalau kita mau membudidayakan pembesarannya. Dona Roy, pembudidaya sidat di Yogyakarta, melihat orang Jepang berani berinvestasi di Indonesia, bikin pendederan sampai ke pengolahan unagi kabayaki, pasti yakin prospeknya panjang, “Pasti perhitungan mereka di atas 5 tahun”.
Martani Huseini yang kini menjadi Ketua Asosiasi Budidaya Sidat Indonesia (Sibusido) meyakini peluang Indonesia dari hulu sampai hilir. Sebagai pemilik sumber benih terbesar, “Dunia akan melihat ke kita, karena di Jepang, di Eropa, dan negara lain itu hampir punah”. Maka Sibusido dan para pemangku kepentingan di bidang ini berkewajiban melindungi agar benih tidak diekspor tapi dibudidayakan di dalam negeri. Bahkan ia menekankan aturan ini bukan sebatas pada benih, tapi juga induknya. Sustainability bukan hanya mengatur benihnya, tapi juga induknya. Artinya, kalau tertangkap induknya, harus dilepas. Namun aturan itu belum ada, dan aturan bukan dibuat pemerintah pusat, melainkan pemerintah daerah.
AGRINA sejalan dan mendukung Martani dan asosiasinya yang melihat prospek sidat Indonesia yang luar biasa, dan ingin menjadikannya nomor satu di dunia. Kita perlu merebut momentum dan bekerja bersungguh-sungguh. Konsumsi sidat yang mendunia dengan unagi kabayaki dan gulungan-gulungan sushi itu sumber pengadaannya, yakni benih tangkapannya yang alamiah di berbagai tempat di dunia sudah terkungkung masalah serius. Habitatnya terganggu perubahan iklim, pencemaran, penyakit, eksploitasi yang berlebih. Sementara permintaan terus naik. Stok alamiah yang menurun itu diusahakan pemenuhannya melalui budidaya. Sekitar 90% belut yang dikonsumsi di Amerika misalnya, adalah hasil budidaya di China, Jepang, dan Taiwan. Kini ketiganya melirik Indonesia untuk pasokannya.
Maka masalah dunia itu akan jadi masalah Indonesia. Kita bukan hanya diminta memenuhi pasokan konsumsinya. Namun dunia pun bisa sambil mewanti-wanti. Misalnya, belut budidaya bisa mengganggu ekosistem karena benihnya hasil tangkapan liar. Akan mengecilkan kesempatan reproduksi alamiah. Padahal populasi belut dunia memerlukan induk baru. Karena fasilitas budidayanya adalah kolam-kolam terbuka di kawasan basah atau rawa. Pembuangan limbahnya bisa menyerap ke sekitar dan mencemarkan lingkungan. Karena belut itu adalah karnivora yang butuh asupan ikan-ikan kecil (di samping pakan pabrikan). Populasi ikan setempat bisa terancam. Karena binatang ini licin, lihai menyelinap keluar. Kawin campur bisa mengubah pola berkembangbiaknya belut setempat.
Bagaimanapun, Sibusido sejak mula sudah menyadari hal ini. Karena kelestarian ekosistem, kesejahteraan pelaku, pembudidaya, dan pengolah adalah dasar dari pendiriannya.
Daud Sinjal