Membesarkan satu grup usaha di bidang perkebunan, khususnya kelapa sawit, tentu bukan hal yang mudah. Terlebih melakukannya dari nol, saat perusahaan baru memiliki segelintir karyawan. Tapi itulah yang telah dikerjakan lelaki ini.
Kini, posisi Rimbun Situmorang, adalah CEO PT Citra Borneo Indah (PT CBI), sebuah grup usaha perkebunan kelapa sawit yang berkantor pusat di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Dengan lima anak perusahaannya, CBI sekarang tengah memposisikan diri sebagai salah satu perusahaan sawit terbaik kelas dunia. Pencapaian Rimbun dan segenap jajaran karyawan CBI bisa dibilang fenomenal. Sebab, CBI benar-benar dilahirkan, serta tumbuh dan berkembang dari sebuah kota kecil di pedalaman Kalimantan Tengah.
Bukan hanya itu, CBI juga perusahaan lokal yang dimiliki warga asli Pangkalan Bun serta ditangani tenaga ahli lokal pula. Inilah salah satu kebanggaan Rimbun yang ikut terlibat dari awal dan bisa ikut menyaksikan metamorfosis perusahaan lokal ini menjadi perusahaan sawit terkemuka dengan 12.700 karyawan.
“Saya bergabung di CBI sudah 20 tahun lebih. Dari awal, sebagai staf biasa, tentu suatu kebahagiaan bagi saya ikut menyaksikan metamorfosis perusahaan ini menjadi seperti sekarang. Tentu bukan karena saya perusahaan ini jadi seperti ini, ada tim, ada banyak orang yang terlibat di dalamnya, juga kontribusi dari banyak pihak,” papar lelaki kelahiran Banaera, 14 April 1967, ini. Dan, tambahnya, ia pun semakin bahagia melihat pertumbuhan perusahaan yang terus menunjukkan kinerja yang sangat positif.
Tantangan Membesarkan CBI
Bukan mengada-ada kebahagiaan yang hadir di hati Rimbun kalau kita tahu perjuangannya pada saat awal CBI mulai berdiri. Dia datang ke Pangkalan Bun awalnya lantaran diajak sang kakak tertuanya yang telah bekerja di satu kantor pemerintahan di sana. Rimbun yang baru lulus dari Institut Teknologi TD Pardede (ISTP) Medan itu sempat ketakutan saat mobil yang membawanya menuju Pangkalan Bun terus melaju di jalan tak beraspal ke arah pedalaman Kalimantan. “Wah mau dibawa ke mana saya?” ucapnya dalam hati.
“Melihat kondisi kotanya, waktu itu saya sudah merasa tak sanggup lagi untuk tinggal lebih lama. Tapi ada kepercayaan di sini, siapa yang telah minum air Sungai Arut yang ada di situ, dia akan betah dan tak akan pergi lagi, dan akhirnya saya meyakini juga karena saya kemudian malah menetap di sini,” kenang Rimbun tentang masa awalnya di sana.
Tantangan pada periode awal tadi bukan hanya itu. Lantaran baru berdiri, perusahaan hanya berawak beberapa karyawan sehingga rata-rata karyawan merangkap pekerjaan. Rimbun pun kebagian tugas yang sangat banyak, termasuk mengurus tiket pesawat pemilik perusahaan. Saat itu, sang kakak yang merasa prihatin, mengajaknya ikut tes calon pegawai negeri sipil (PNS) dan lulus.
“Di sinilah terjadi konflik batin, jadi PNS atau terus berjuang. Namun, karena pendekatan pemilik perusahaan yang menganggap saya bukan hanya karyawan tapi juga sebagai anggota keluarga, bahkan seperti anak sendiri, saya pun bertahan,” tutur pria yang hobi bernyanyi ini.
Dalam bekerja, Rimbun memang tidak main-main. “Saya bekerja sepenuh hati, tidak pernah setengah-setengah. Bekerja dengan hati. Demi totalitas pekerjaan. Itu sebabnya saya bersyukur memiliki istri dan anak-anak yang memahami prinsip saya ini bahwa tanggung jawab dalam pekerjaan itu nomor satu dalam hidup saya. Toh, jauh di lubuk hati terdalam saya, semua pengorbanan ini juga demi kebahagiaan keluarga saya pada akhirnya,” kata suami Happy Septiana Sridwito ini.
Manfaat untuk Sesama
Dalam lingkungan kantor, selain dikenal sebagai pekerja keras, Rimbun juga sangat dihormati dan dikagumi lantaran sifatnya yang berpembawaan sederhana dan berusaha tidak mengambil jarak dengan bawahannya. Jabatan, paparnya, hanyalah soal besar-kecil tanggung jawab yang diamanatkan pada seseorang. “Jabatan bukan tujuan utama, hanya job title, tapi seberapa besar kita bisa memberikan kontribusi buat perusahaan,” ungkap ayah dari Thessa Agnesia dan David Julian ini.
Baginya, bergaul dengan berbagai kalangan tanpa memandang perbedaan status adalah juga untuk mengenal keadaan masyarakat yang sesungguhnya. Itu sebabnya ia masih meluangkan waktu untuk bermain bulutangkis, baik dengan karyawannya maupun dengan warga sekitar perusahaan.
Karakter yang melekat pada dirinya ini diakui Rimbun lantaran filosofi hidup yang dipegangnya, yaitu ingin memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi orang lain dan lingkungan. “Kebahagiaan hati saya adalah bila mampu memberikan manfaat besar bagi orang lain dan lingkungan. Tidak harus selalu berupa materi, sokongan moril berupa kata-kata pada teman yang sedang susah pun sudah memberikan manfaat besar baginya,” tandasnya.
Itu latar belakang Rimbun kerap menyebut nama almarhum Mbah Maridjan yang dianggapnya sebagai tokoh yang mampu memberikan banyak manfaat bagi sesama meskipun bukan seorang pejabat tinggi. Dan filosofi itu pulalah yang membuatnya ingin menjadikan CBI perusahaan yang mampu memberikan manfaat besar bagi masyarakat sekitar dan lingkungannya.
Petani Plasma Profesional
“Itu sebabnya kami membangun kantor pusat di sini. Dengan berada di kota kecil ini saya pikir kami bisa memberikan dampak dan manfaat bagi daerah, misalnya dengan CSR kami. Kami tentu bisa lebih merasakan denyut nadi masyarakat yang ada di sini daripada investor yang dari luar. Empati kami mungkin akan lebih mengena pada orang sini daripada orang lain yang hanya memenuhi peraturan dan perundangan,” tandas Rimbun.
Dalam pandangan Rimbun, prospek perkebunan kelapa sawit Indonesia menunjukkan tren positif dengan ekspektasi yang tinggi. Dalam kurun 10 tahun terakhir perluasan kebun sawit di Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan. Ke depan, peluang Indonesia lebih besar dari negara produsen sawit lainnya karena negeri ini memiliki sumber daya yang melimpah, baik sumber daya manusia maupun alamnya.
Bertolak dari situ, CBI membangun petani plasma dengan satu tujuan, yaitu menjadikan mereka petani profesional. “Petani plasma kami harus sama dengan inti. Kualitasnya semua harus sama, dan juga akan coba kami didik untuk mengerti masalah perkebunan,” ujarnya mengakhiri percakapan dengan AGRINA.
Syaiful Hakim, Untung Jaya