Keberhasilan berbisnis sekarang sudah tidak lagi dihitung dari seberapa besar ia meraup keuntungan finansial. Ukuran kesuksesannya kini ditambah dengan seberapa jauh ia memelihara kualitas lingkungan dan seberapa banyak yang dilakukannya untuk memberdayakan masyarakat sekitar. Tujuan berniaga dan segala bentuk usaha ekonomi harus beranjak dari triple bottom line (TBL), yakni bukan hanya untuk mendapatkan “profit”, tapi juga memberdayakan “people” dan menyelamatkan “planet”. Ketiganya harus diolah “dalam satu tarikan napas”. Trisula yang diacung-acungkan selama tiga dasawarsa John Elkington itu kini sudah bergema sebagai tuntutan masyarakat dunia, dan dikonvensikan oleh PBB.
Pakem berniaga baru ini umumnya ditujukan pada korporasi besar nasional maupun multinasional. Namun di Amerika Serikat, TBL juga sudah digunakan sejumlah pemerintahan negara bagian, kota, atau county untuk menilai keberhasilan dalam menjalankan pembangunan ekonomi. Karena keberhasilan itu tidak bisa dinilai hanya dari penyerapan anggaran, pencapaian Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan infrastruktur fisik yang telah dibangun, tapi juga dari mutu kehidupan dan lingkungannya. Ini menjadi konsistensi pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Ada puluhan ragam kegiatan mengelola P3 ini, dan mengukur keberhasilannya dari variabel ekonomi, lingkungan, dan sosial. Di Indonesia kita mengenal CSR (corporate social responsibility) yang dijalankan perusahaan swasta. Korporasi besar juga mendirikan yayasan-yayasan untuk mensponsori kegiatan pendidikan (program beasiswa, pelatihan, rehabilitasi gedung sekolah), mendanai pementasan seni budaya, menyokong penelitian, olahraga, juga penghijauan. Badan usaha milik negara dan daerah melakukan hal serupa melalui program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL). CSR dan PKBL ini dasar dan tujuannya tidak berbeda dengan TBL dan P3. Tapi tidaklah mudah mengukur dan menilai keberhasilan pada sisi kepedulian sosial dan ekologi (people and planet). Tidak ada patokan umum dan baku, apalagi untuk keberlanjutannya. Kalau dari sisi “profit” memang lebih mudah karena bisa diukur dari angka-angka uangnya.
Keberlanjutan usaha niaga dan pembangunan ekonomi mungkin bisa diukur dengan membuktikan bahwa perusahaan itu tetap sehat, langgeng, dan makin berkembang, diterima masyarakat dan pemerintah setempat, taat membayar pajak, menyumbang retribusi atau royalti, lingkungan hidup terpelihara, air, tanah dan udara tidak tercemar. Mutu kehidupan rakyat setempat lebih baik, sarana umum tersedia, anak-anak bersekolah dan bisa meneruskan ke pendidikan tinggi, rakyat punya kemandirian karena bisa berwirausaha, angka harapan hidup lebih panjang, karyawan perusahaan betah bekerja.
Ihwal CSR dan PKBL yang kita bicarakan dan yang lebih sering kita ikuti melalui bacaan dan tayangan media adalah yang menyangkut orang dan alamnya, dimensi sosial masyarakat dan lingkungannya. Pernah ada satu-dua tentang hubungannya dengan satwa yang terancam punah. Di Sumatera umpamanya, pernah disiarkan tentang perusahaan swasta yang menjalankan program perlindungan harimau dan gajah beserta habitatnya. Di Kalimantan wilayah RI maupun Kalimantan wilayah Malaysia ada program perlindungan terhadap orang utan dan bekantan. Nah, tentang penyelamatan satwa dan lingkungan hidupnya ini mungkin bisa lebih terukur perkembangan dan keberhasilannya, mengingat populasinya tidak banyak dan lokasinya diketahui. Yang harus diperjuangkan adalah perluasan areal yang aman untuk habitatnya.
Adalah PT Citra Borneo Indah (CBI), di Kalimantan Tengah yang telah menjalankan industri sawit berkelanjutan sekaligus menjaga kelangsungan hidup orangutan dan kelestarian alam. Perusahaan di Pangkalan Bun itu membantu Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) melepasliarkan orangutan, dan sedang berusaha mendapatkan areal seluas 3.000 – 4.000 ha untuk disumbangkan ke Yayasan BOS. Chief Executive Officer PT Citra Borneo Indah, Rimbun Situmorang, mengatakan, kegiatan pelepasliaran orangutan ini adalah bagian dari corporate social responsibility perusahaannya. CSR lainnya adalah membantu masyarakat dalam hal pendidikan dan kesehatan, dan akan mengembangkan program plasma kelapa sawit untuk pemberdayaan masyarakat.
Prof. Bungaran Saragih, Ketua Pembina Yayasan BOS menyatakan, apa yang dilakukan CBI adalah contoh penerapan paradigma baru bisnis yang tidak lagi semata-mata mengejar profit, tapi sudah mengedepankan pembangunan berkelanjutan. Sedangkan CEO Yayasan BOS, Dr. Jamartine Sihite mengharapkan contoh yang diberikan CBI bisa menggugah lebih banyak lagi pelaku industri sawit untuk membantu kelangsungan hidup orangutan karena masih banyak orangutan yang harus dilepasliarkan. BOS meminta perusahaan kelapa sawit bersedia mengalokasikan lahannya bagi orangutan. Jika ada beberapa perusahaan yang saling berdekatan menyediakan lahan konservasi, arealnya bisa menjadi cukup luas dan dapat dijaga bersama-sama. Jangan sampai orangutan masuk kandang di masyarakat karena setahun saja di kandang membutuhkan waktu 5–6 tahun untuk melatihnya kembali liar dan mampu hidup di hutan.
Daud Sinjal