Menempatkan diri sebagai katalisator karena ingin mempercepat suatu reaksi atau perubahan tanpa ikut bereaksi di dalamnya.
Tugas yang diemban Ir. Syukur Iwantoro, MS, MBA sebagai Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan sungguh tidak mudah: swasembada daging sapi 2014, mempertahankan swasembada daging ayam dan telur, dan meningkatkan kesejahteraan peternak tanpa menurunkan kesejahteraan pelaku-pelaku lainnya.
Target paling berat tentu saja Swasembada Daging Sapi 2014. Sejak digaungkan pada 1999, cita-cita ini sudah melewati masa tugas empat dirjen. Jadi Syukur adalah Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan kelima yang mencoba menggapainya. Tantangannya, sampai tahun lalu Indonesia masih mengimpor 410 ribu ekor sapi bakalan dan 93 ribu ton daging beku. Dalam waktu tiga tahun, dia harus mampu menurunkan porsi impor hingga tinggal 10% dari posisi saat ini yang hampir 35%.
Blantik Tanpa Bayaran
Syukur menempuh jalan yang, menurut kalangan pebisnis daging, cukup radikal dengan memangkas kuota impor, baik sapi bakalan maupun daging beku, dalam jumlah besar. Kebijakan ini pun mengundang protes keras dari kalangan tersebut karena mereka merasa terpojokkan untuk memanfaatkan sapi lokal yang kontinuitas pasokan dan kualitasnya jauh ketimbang sapi bakalan impor.
“Kami tidak ingin memojokkan pihak manapun. Yang jelas, kami ingin mengembalikan masalah persapian ke khittahnya. Memang feedloter nggak happy karena banyak kandang yang kosong. Kami menganggap masa transisi ini untuk kebaikan, transisi untuk mengurangi ketergantungan kepada luar (negeri),” kilahnya menjawab AGRINA beberapa waktu lalu.
Untuk mengisi kekosongan pasokan sapi, Syukur menghubungkan asosiasi Sarjana Membangun Desa (SMD) sebagai produsen sapi lokal dengan para pelaku feedlot dan juga pengolah daging. “Ya jadi blantiklah, tapi tanpa bayaran,” canda Sarjana Peternakan lulusan IPB 1982 ini. Tujuannya, supaya terjadi sinergitas antara peternak, feedloter, importir daging, dan industri pengolahan.
Demi “mendengar” permasalahan sebenarnya, peraih gelar S2 Bidang Perencanaan Wilayah dan Pedesaan IPB ini tak segan turun ke lapangan pada Sabtu-Minggu. Dari lapangan, mantan Kepala Badan Karantina Pertanian ini beroleh kabar buruk dan kabar baik. Yang buruk misalnya, biaya sandar kapal akibat keterlambatan urusan dokumen impor di kantor Kementan. Yang baik, “Sekarang peternak sangat bergairah. (Mereka) berterimakasih mendapat empati dari semua komponen. Dan mereka sangat mengharapkan kekurangan bisa diperbaiki. Peternak juga nggak ingin harga gila-gilaan. Yang penting hidup layak,” paparnya.
Apakah itu berarti kebijakannya berhasil? Syukur merendah. “Berhasil sih belum, tapi sudah ada perubahan. Dan seandainya nanti swasembada daging tercapai ‘kan bukan saya tapi semua (pihak) termasuk wartawan yang mempromosikan. Saya hanya sebuah titik dari suatu sistem yang mencoba menggetarkan ke arah positif,” ujar pria kelahiran Situbondo, Jatim, 30 Mei 1959 ini.
Untuk menuju arah positif itu, penyandang MBA agribisnis dari Inggris ini juga membangun komunikasi dengan para stakeholders. Dengan komunikasi paling tidak persoalan-persoalan bisa dicarikan solusinya. “Saya ingin menempatkan diri sebagai katalisator, ingin mempercepat suatu reaksi tanpa ikut bereaksi di dalamnya. Itu prinsip saya dalam bekerja,” tandas bapak pekerja keras ini.
Jagoan di Suatu Lingkungan
Ketika ditanya tentang ketertarikannya ke dunia peternakan, Syukur berkisah, memang menyukai ternak sejak kecil. Bahkan suami Siti Kurnia Nurlela ini beternak merpati, ayam, unggas untuk dijual telurnya. Dulu, ayah Astari Apriyantini dan Arya Pamungkas ini ingin menjadi pengusaha sehingga kuliah di jurusan peternakan.
Tapi Yang Maha Kuasa menentukan lain, Syukur malah meniti karir sebagai pegawai negeri sipil. Selepas S1, Syukur muda sempat mengabdi di suatu perusahaan multinasional sebagai Asisten Manajer Hatchery. Setelah tiga bulan, dia merasa ilmunya tidak bertambah sehingga mulailah melamar Ditjen Peternakan di Salemba, Jakarta Pusat. Kantor ini tampak sesak oleh sarjana peternakan juga dokter hewan. “(Kalau kerja di sini) kapan jadi dirjennya,” kenang Syukur sambil tergelak.
Lalu dicarinyalah bagian di Deptan yang tidak ada sarjana peternakannya. Diterimalah dia di Biro Kerjasama Luar Negeri. “Di sini saya jadi jagoan karena satu-satunya sarjana peternakan,” lanjutnya. Kinerja Syukur mengesankan sehingga pimpinan memintanya mengambil S2 di IPB.
Selepas S2, Syukur melanjutkan pendidikannya ke Inggris. Lagi-lagi dia melihat celah untuk menjadi “jagoan” dengan mengambil MBA agribisnis yang waktu itu, 1993, belum ada. Dari sini karirnya mulai menjulang di Badan Agribisnis hingga staf ahli Mentan. Lalu, “Tanpa disangka, tiba-tiba jadi Dirjen. Ternyata saya ditakdirkan Allah untuk membesarkan peternak-peternak. Saya ingin peternak di Indonesia mandiri,” pungkasnya mengakhiri wawancara panjang siang itu.
Peni Sari Palupi, Syaiful, Tri Mardi, Ratna BW, Yuwono IN