Di Seminar TNI-AD 1990 di Seskoad, Bandung, Menteri Lingkungan Hidup dan Pengawasan Pembangunan Emil Salim mengungkapkan, seluruh wilayah Indonesia sudah habis dikapling-kapling, tiada lagi tanah yang tersisa. Secara kelakar ia pun berkata, “Mungkin kita perlu minta kepada Panglima ABRI untuk mencarikan tanah tanah baru di luar.” Di forum Jakarta Food Security Summit (7 Februari 2012), Yuswanda Tumenggung, seorang deputi di Badan Pertanahan Nasional, mengatakan pula, “Di republik ini, tidak ada satu jengkal tanah pun yang tidak ada penguasaannya”.
Masalah penguasaan lahan menjadi lebih gawat setelah pemberlakuan otonomi karena peruntukan dan perizinan adalah wewenang bupati. Di luar Jawa, konsesi atas lahan dengan hamparan luas didahulukan bagi pemain-pemain yang bisa menghasilkan uang banyak dalam sekejap. Lahan untuk pertanian jelas dikalahkan oleh usaha pertambangan batubara dan perkebunan sawit. Di Jawa, lahan pertanian digusur untuk industri dan properti.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di awal pemerintahannya yang pertama telah mencanangkan revitalisasi pertanian. Salah satu langkah utamanya adalah menyediakan 15 juta ha lahan sawah ditambah 15 juta Hha tegalan untuk “lahan pertanian pangan abadi" yang hanya untuk pertanian, tidak boleh dialihkan ke penggunaan lain. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan itu dicanangkan Juni 2005. Setelah berjalan empat tahun barulah bisa diterbitkan undang-undang (No. 41 tahun 2009) tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Yang dikembangkan secara konsisten untuk pertanian pangan.
Pada masa pemerintahan SBY yang kedua berhasil diterbitkan peraturan pemerintah (PP) No. 11 tahun 2010 (22 Januari 2010) tentang penertiban tanah telantar untuk didayagunakan bagi kepentingan masyarakat dan negara. BPN mengatakan ada 7,3 juta ha lahan terlantar yang bisa didayagunakan. Lalu ada PP No. 1/2011 (5 Januari 2011) yang mengontrol alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Tahun berikutnya dikeluarkan PP (no.12/2012, 9 Januari 2012) tentang pemberian insentif untuk upaya pengendalian alih fungsi lahan. Jenis insentifnya mulai dari pengembangan infrastruktur; pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul; kemudahan mengakses informasi dan teknologi; penyediaan saprodi; sampai pada jaminan sertifikat hak atas tanah dan bantuan keringanan pajak bumi dan bangunan.
Dari perkembangan tersebut bisa dilihat betapa pemerintah dan DPR memerlukan waktu emapt sampai tujuh tahun untuk menyusun kebijakan dan perangkat peraturan dalam menanggapi permasalahan paling strategis dari bangsa ini. Sementara pertambahan penduduk rata-rata 5 juta jiwa setahun, dan konversi lahan sawah untuk kegunaan lain sudah melebihi 100 ribu ha setiap tahun. Maka dalam hal pertanian pangan, kita bukan hanya berlomba dengan laju pertambahan penduduk, tapi juga dengan alih fungsi lahan ke non-pertanian dan langgam kerja penyelenggara negara yang lamban.
Pemerintah memang berusaha memacu peningkatan produksi beras dengan berbagai program seperti: desa mandiri pangan, kawasan rumah pangan lestari, diversifikasi pangan, ketahanan pangan berbasis korporasi (yang melibatkan BUMN), pertanian di lahan hutan (dengan Perum Perhutani). Tahun ini, tiga BUMN (PT Pusri, PT Pertani, dan PT Sang Hyang Seri) juga akan investasi hingga Rp9 triliun untuk pencetakan sawah baru seluas 100 ribu ha. Lalu Kementerian Kehutanan menyediakan total 260 ribu ha di Kalimantan untuk pertanian pangan.
Lalu apakah semua langkah ini bisa dinyatakan sebagai jaminan akan tercapainya 10 juta ton surplus beras pada 2014? Di forum Food Security Summit, Presiden SBY sendiri (yang mencanangkan surplus 10 juta ton beras 2014) menekankan pada upaya penggunaan teknologi untuk meningkatkan produktivitas pangan dan mengurangi ketergantungan pada pembukaan lahan. "Meningkatkan produksi pangan termasuk produktivitasnya tentu kita tidak bisa terus membuka lahan," katanya.
Para narasumber yang dihubungi dan para pakar yang dikutip untuk penulisan fokus utama AGRINA edisi ini juga mengemukakan bahwa belasan juta hektar tanah yang tersedia dan yang dicadangkan belum tentu cocok untuk pertanian pangan. Kalau pun cocok masih memerlukan waktu setidaknya dua sampai tiga tahun untuk menjadikannya siap tanam. Perlu pula diperhitungkan waktu dan biaya besar untuk pembangunan prasarana dasarnya seperti infrastuktur sumberdaya air dan jaringan irigasi teknisnya, infrastruktur pemukiman, jalan penghubung, dan lain-lain. Kiranya perlu terobosan, antara lain dengan kemitraan masyarakat-BUMN-swasta-pemerintah menciptakan “tukang cetak sawah” seperti Wayan Supadno dan perusahaan developer pencetak sawah. Di samping insentif untuk pengendalian konversi lahan (sesuai PP 12/2012), perlu juga insentif bagi pionir pembukaan lahan pertanian pangan dan kredit untuk kepemilikannya.
Daud Sinjal