Pemerintah sudah tiga kali menggelar program swasembada daging sapi (PSDS). Pertama swasembada daging sapi yang ditargetkan tercapai pada 2005. Gagal. Kemudian PSDS dipatok untuk terpenuhi pada 2010. Meleset. Kali ketiga adalah PSDS 2014, yang diyakini pemerintah akan tercapai karena didukung perhitungan yang valid dari sensus pendataan sapi potong, sapi perah, dan kerbau (PSPK) 2011. Sasaran PSDS 2014 adalah: Meningkatnya populasi sapi potong menjadi 14,2 juta ekor dengan rata-rata pertumbuhan 12,48%. Meningkatnya produksi daging dalam negeri sebesar 420,3 ribu ton 2014 atau 10,4% setiap tahun. Menurunnya impor sapi dan daging sampai hanya 10% kebutuhan konsumsi masyarakat. Bertambahnya penyerapan tenaga kerja sebagai dampak pertambahan populasi dan produksi ternak sebesar 76 ribu orang per tahun. Meningkatnya pendapatan peternak sapi potong minimal setara dengan upah minimum regional (UMR) masing-masing provinsi.
Syukur Iwantoro, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, menyatakan optimistis swasembada daging sapi 2014 akan tercapai. Namun sejak PSDS diatur pada awal 2010 (dengan pedoman pelaksanaan, blue print, roadmap dan strategi begitu rinci) sampai didapatkan hasil sensus PSPK 2011, Indonesia nyatanya masih mengimpor sapi 630 ribu ekor dan daging 120 ribu ton (2010) dan 500 ribu ekor dan 90 ribu ton daging sapi (2011). Hasil sensus sapi potong, sapi perah, dan kerbau 2011 di seluruh Indonesia sepanjang Juni tahun lalu sudah menunjukkan angka populasi sapi potong yang ditargetkan 14,2 juta terlampaui. Hasil sensus menyebutkan populasi sapi potong mencapai 14,8 juta ekor; sapi perah 597,1 ribu ekor dan kerbau 1,3 juta ekor.
Maka, sangat perlulah ditelisik lebih cermat ketersediaan sapi-sapi itu demi memastikan tercapainya swasembada pada 2014 dan keberkelanjutannya. Sapi-sapi itu didata dari 73 ribu desa seluruh Indonesia yang dipelihara 5,4 juta orang dengan rata-rata kepemilikan dua ekor sapi (dan kerbau). Semuanya tersebar tidak merata di pelosok-pelosok negeri kepulauan ini. Spesifikasi dan bobot berat (body condition score-BCS)-nya beragam. Perlu pula dilihat dari populasi yang ada itu, berapa yang layak dipotong. Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia, Joni Liano membaca data sensus bahwa untuk memenuhi kebutuhan daging konsumsi dan industri pada 2014 nanti, ada sekitar 1,2 juta sapi betina yang terpaksa dipotong, sebab dari sekitar 14,8 juta sapi potong yang ada, hanya sekitar 1,4 juta sapi jantan yang siap dipotong. Sisanya adalah sapi betina dan sapi anakan.
Swasembada sapi dan dagingnya jelas harus mengkalkulasi waktu yang diperlukan dan ongkos nutrisi hariannya untuk sampai pada BCS yang ideal. Juga dituntut pengadaan dan keterjangkauannya dari dan ke seluruh wilayah RI. Permintaan terbesar akan sapi memang di Jabodetabek dan Jawa Barat, yang pasokannya didatangkan dari Jawa Timur atau Lampung, atau dari impor. Pengumpulan sapi dan pengirimannya intrapulau Jawa lebih mudah karena sapi itu terkonsentrasi dan prasarana transportasinya sudah memadai. Namun untuk pengumpulan dan distribusi sapi di luar Jawa, para pemain sapi harus cermat menyiasati cost efficient dan cost effective terkait angkutan antarpulau, kendala infrastruktur dan risiko tinggi oleh gangguan cuaca. Lalu kalau terjadi krisis, daerah-daerah dengan kewenangan otonominya melakukan penyelamatan diri sendiri membatasi pemasokan keluar wilayah. Pengusaha feedlot dan pedagang sapi terhambat mendapatkan sapi lokal. Maka PSDS tetap bisa dicapai, tetapi terlokalisir di sejumlah daerah, tidak merata secara nasional.
Sesungguhnya dilema Indonesia adalah pada pengelolaan rantai pasokan atau sistem logistik. Dilemanya muncul dari tiadanya infrastruktur penunjang utama, yang seharusnya dibangun dengan investasi pemerintah. Di sisi lain pemerintah menerbitkan regulasi yang alih-alih membangun kemandirian produksi sapi dan mengangkat peternakan rakyat, malah menimbulkan ketimpangan dalam berbisnis dan menekan daya beli konsumen. Kemiskinan prasarana (pelabuhan ternak, kapal ternak, transportasi, teknologi, riset) menimbulkan inefisiensi dan ongkos-ongkos tambahan, serta melebarkan kesenjangan antarwilayah.
Tapi untuk urusan sapi ini kita punya excuse, karena daging sapi bukan makanan pokok seperti nasi. Toni M. Wibowo, Direktur PT Lembu Jantan Perkasa, mengatakan kebutuhan daging adalah kebutuhan yang dapat diatur, kendati terkait kecukupan protein kita masih rendah sekali dibandingkan dengan negara lainnya. Toh sapi bisa digantikan dengan ayam, ikan atau protein hewani yang lainnya. Tapi kalau memang kita bersungguh-sungguh ingin mencapai swasembada sapi yang berkelanjutan, maka baiknya semua pemangku kepentingan sama-sama membuat perhitungan strategis dengan melihat dan mempertimbangkan semua kondisi dan situasi persapian, dimulai dari peternakan sapi rakyat seantero Nusantara yang amat kecil-kecil. Yang tersebar dan terkucil oleh ketiadaan infrastruktur itu.
Daud Sinjal