Kesembuhannya tiga tahun lalu mendorong dia membayar janji kepada Sang Maha Penyembuh dengan berbuat sesuatu demi kelestarian lingkungan.
Satu lagi warga pecinta lingkungan menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi Kota Jakarta. Rudi Wahyudi, warga itu, memperkirakan, ruang terbuka hijau di ibukota kini paling tinggal 6% dari luasannya. Padahal, yang ideal 30%. Begitu pula kota-kota besar lain di Indonesia. Terbatasnya lahan bukanlah alasan untuk tidak menghijaukannya. “Membuat taman vertikal, ‘kan salah satu solusi agar suasana indah di sebuah kota masih bisa terlihat,” ujar Rudi yang menjabat Komisaris Utama PT Genius International.
Banjir yang acapkali terjadi kala musim hujan juga, sambung dia, makin membuat wajah Jakarta terkesan kumuh. Penyebabnya adalah kurangnya lahan resapan air akibat pendirian bangunan secara besar-besaran dan merambah daerah-daerah resapan air sehingga menambah volume air yang tidak terserap. Tambahan lagi kebiasaan warga yang membuang sampah di sembarang tempat.
Hal itulah yang tiga tahun lalu menginspirasi Rudi memanfaatkan sampah plastik dan ban bekas untuk membuat barang bernilai tambah dan bermanfaat. “Saya ingin kelola bahan bekas jadi bahan baru. Sampah ini bisa jadi berguna sehingga mengurangi penggunaan bahan-bahan impor dari plastik baru, dan lebih ramah lingkungan,” jelasnya saat berbincang dengan AGRINA.
Teknologi Pintar
Pria berusia 63 tahun ini lalu mengungkap, dirinya mengembangkan wadah berongga yang ramah lingkungan, Eco Recycling Mesh Pipe (ERMeP). Bahan bakunya dari ban bekas dan limbah plastik yang dihancurkan, kemudian dicetak jadi bentuk pipa berongga (mesh pipe). ERMeP ini bisa menjadi solusi penanggulangan banjir dan pencegah krisis air yang diaplikasikan untuk sumur resapan (biopori), mencegah banjir, tanah longsor, dan memperbanyak air tanah yang bisa dipanen ketika kemarau. Selain itu juga dapat digunakan untuk saluran gorong-gorong bawah tanah.
Yang pasti, wadah temuannya itu lebih ringan, lebih praktis karena mudah dipasang, lebih ekonomis, lebih kuat dan ulet karena tahan lama dan tidak mudah pecah. ERMeP pun bisa dimanfaatkan sebagai pot untuk taman-taman vertikal.
Ayah dua orang putri ini mengembangkan teknologi pintar untuk kota hijau di Indonesia (smart technologies for green city in Indonesia). “Teknologi ini baru ditemukan setelah ada kejadian-kejadian seperti tsunami, banjir. Bukan hanya baru di Indonesia, tapi juga di dunia,” jelasnya bangga.
Temuannya yang sudah dipatenkan tersebut mendapat respon positif dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Pakuan, kalangan pemerintah, yaitu Kementerian dan Kementerian Kehutanan, serta Kementerian Koperasi dan UKM. “Kalangan realestat dan kalangan taman hiburan, seperti Ancol Ecopark dan Sentul City Ecopark juga demikian,” kata pria kelahiran Kampung Cicurug, Bogor, 24 Januari 1949 ini.
Bonus Hidup
Kiprahnya menciptakan teknologi ramah lingkungan tak lepas dari kesembuhan praktisi energi baru dan terbarukan ini dari kanker empedu tiga tahun silam. “Saya diberi ‘bonus’ Tuhan untuk hidup lebih lama setelah menjalani operasi yang begitu menguras biaya dan kesehatan,” kenangnya tentang saat-saat kritis kala itu.
Lolos dari jeratan penyakit berbahaya itu, Rudi berjanji akan melakukan hal berguna demi kelestarian lingkungan. Hasrat suami Sri Udaneni Harjowasito ini dalam menumbuhkan teknologi ramah lingkungan di lingkup pertanian makin menggebu. Pasalnya, usaha yang digelutinya tersebut bisa juga menjadi sarana membantu masyarakat bidang agribisnis. Meskipun beberapa di antaranya masih dalam tahap penelitian, tapi pelaku agribisnis sudah banyak yang tertarik.
Dia mencontohkan, pemanfaatan energi angin dengan baling-baling. Energi listrik yang dihasilkan untuk memompa air dari sungai maupun tanah guna mengairi sawah saat sulit mendapatkan air. Di bidang perikanan, itu bisa menggerakkan kincir air untuk aerasi tambak udang. “Pasti sangat efisien terutama untuk daerah-daerah yang sulit mendapatkan aliran listrik, atau kalau listriknya sering padam,” tuturnya.
Sewaktu listrik padam, petambak biasanya menggunakan generator yang tentu membutuhkan solar. Saat itulah kincir angin bisa menyuplai listrik. Apalagi lokasi tambak berada di daerah pesisir yang anginnya sangat kencang. “Kincir ini dengan kekuatan angin satu meter per detik sudah bisa berputar karena menggunakan teknologi magnet tanpa gesekan, sehingga mudah menghasilkan energi untuk pembangkitnya,” urai Rudi. Masih untuk petambak, mereka juga bisa memanfaatkan energi matahari dengan sel surya. Kegunaannya sama dengan kincir angin, yaitu memasok listrik guna menyalakan lampu ketika malam dan kincir air.
Kebun penelitian ulat sutera di Ciapus, Bogor, yang dikelola bersama IPB pun tak lepas dari energi ramah lingkungan. Rudi menggunakan energi matahari dan angin untuk memasok kebutuhan energi mesin pemintal benang dari kokon ulat sutera.
“Teknologi ramah lingkungan ini harus segera diadopsi karena erat kaitannya dengan pemeliharaan lingkungan, penggunaan material berbasis daur ulang, penghematan bahan bakar, hingga pendiversifikasian energi,” saran ayah Sri Sthiracitta Nandini dan Sri Astri Nanditya ini.
Salah satu produk hasil riset bersama IPB adalah kompor biomassa dari limbah kayu. Di samping itu, dia juga memproduksi kompor energi matahari bekerjasama dengan Klimaschutz e.V dari Jerman. Kedua produk tersebut mendapat pengakuan dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam program Climate Development Mechanism. “Kompor energi matahari ini dipakai PBB saat menanggulangi kondisi pascatsunami di Aceh,” ungkapnya.
Hari-hari mendatang Rudi ingin segera mewujudkan mimpinya, melestarikan budaya hidup hijau dengan memanfaatkan energi dan teknologi terbarukan bernuansa ekonomi kreatif dan edukatif di masa depan.
Tri Mardi Rasa, Syaiful Hakim