Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pembangunan Pertanian Tahun 2012 mengakui tren produktivitas pertanian Indonesia saat ini stagnan dan menurun. Bertolak belakang dengan alokasi anggaran di sektor pertanian yang konsisten meningkat dari tahun ke tahun. Rakernas 11-12 Januari lalu itu pun mengakui perlunya perbaikan terhadap kualitas dan kuantitas penyerapan anggaran, serta fokus penggunaannya pada kegiatan yang terkait dengan sasaran pembangunan pertanian. Rakernas ini tampaknya terfokus pada urusan efektivitas dan efisiensi anggaran. Temanya “Jadikan Tahun 2012 sebagai Tahun Kerja Keras Mendukung Pencapaian Sukses Pembangunan Pertanian” dengan target upaya percepatan dan peningkatan kualitas pelaksanaan program dan penyerapan anggaran 2012.
Anggaran sektor pertanian yang terus melesat naik, berkebalikan dengan produktivitasnya yang malah menurun sudah sering jadi sorotan. Tahun 2004, tahun terakhir pemerintahan Presiden Megawati, anggaran Kementerian Pertanian hanya Rp3,5 triliun. Kini, anggaran 2012 mencapai Rp17,8 triliun. Belum termasuk anggaran subsidi pupuk, subsidi benih dan subsidi bunga sebesar Rp17,6 triliun. Jadi total dana yang dikelola Kementerian Pertanian berjumlah Rp35,4 triliun. Namun target-target yang diproyeksikan dengan bekal anggaran yang bertambah banyak setiap tahun meleset dan harus direvisi lagi. Itulah yang berlaku pada beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Program-program subsidi juga tidak berjalan efektif.
Dalam seminar dan diskusi tentang pangan yang diselenggarakan AGRINA juga pernah disinggung soal kontradiksi ini. Bahkan pernah Rahmat Pambudy mengusulkan agar subsidi pupuk yang sangat besar itu diinvestasikan saja untuk mendirikan pabrik pupuk dengan para petani sebagai pemegang saham. Pengamat pertanian Husein Sawit juga melihat penyebab menurunnya produktivitas pertanian karena anggaran justru lebih banyak jatuh ke berbagai subsidi dan kredit, bukan untuk memperbaiki infrastruktur. Ekonom pertanian Khudori menyebutkan, orientasi anggaran pembangunan pertanian yang bertumpu pada subsidi besar justru menjadi candu.
Terbaru, adalah kritik Wakil Presiden Boediono ketika berpidato di depan rakernas yang dihadiri ratusan peserta terdiri dari pejabat-pejabat Kementan, para kepala dinas pertanian provinsi dan kepala badan di jajaran Kementan. Wapres menekankan lagi tentang tren produktivitas pertanian yang tidak sebanding dengan anggaran yang meningkat pesat dari tahun ke tahun itu. Ia mengingatkan bahwa anggaran langsung berada di bawah kendali kita. Pertanyaannya, apakah anggaran sudah dimanfaatkan dengan baik? Apakah penyerapannya tepat dan tidak menumpuk pada akhir tahun anggaran? Apakah dana yang disediakan terkait dengan sasaran yang diinginkan? Ia menginginkan anggaran research and development (R & D) dibesarkan, sementara anggaran subsidi berangsur-angsur dikecilkan, lalu ditiadakan.
Bagaimanapun Mentan Suswono tetap bertekad mencapai surplus beras 10 juta ton pada 2014. Mengejar sasaran tersebut kementeriannya telah menetapkan target 2012 sebesar 72,02 juta ton GKG atau peningkatan 10,1% dibandingkan capaian 2011. Suatu hal yang kurang diyakini oleh wakilnya sendiri, mengingat kenaikan rata-rata yang pernah terjadi hanya 2,4% setahun. "Jangan sampai target tidak rasional,” kata Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan usai menutup Rakernas Pertanian itu (Kamis 12/1). “Ini bisa jadi baseline, tetapi tetap terlalu jauh (dari target 2012)”. Mantan Kepala BPS itu menunjuk, dari target tahun lalu yang 70 juta ton, berdasarkan angka ramalan (Aram) III hanya tercapai 65,4 juta ton GKG. Kemungkinan hanya bertambah menjadi 66 juta ton pada angka tetap 2011. Untuk apa dipertahankan target yang dibuat dua tahun lalu, yang hanya berakibat tidak sehat. Pemerintah siap merevisi roadmap target surplus beras 10 juta ton 2014. Ke depan, selain mendorong produksi, pemerintah akan lebih menajamkan pada program penurunan tingkat konsumsi beras masyarakat.
Penurunan produktivitas disebabkan perubahan iklim yang mengakibatkan pergeseran pola tanam dan faktor ketersediaan lahan, juga bukan hal baru. AGRINA sudah menyatakan, perubahan iklim yang terjadi berulang-ulang setiap tahun, bukan lagi faktor dari luar, tapi sudah mukim dan menjadi pribumi di nusantara kita. Demikian juga faktor lahan terus mengganjal sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan revitalisasi pertanian tahun 2005 (RPPK). Lahan abadi 15 juta ha untuk sawah dan 15 juta ha untuk tegalan yang diinginkan tidak pernah terwujud. Yang terjadi malah lahan pertanian menyusut rata-rata 100 ribu ha setiap tahun.
Maka “asal muasal dari potensi peningkatan produktivitas itu adalah research and development (R&D)” seperti yang dinyatakan Wapres perlu menjadi prioritas tinggi. Riset yang relevan dengan pertanian antara lain benih yang bisa beradaptasi terhadap anomali iklim, benih yang tahan di lahan kering. Demikian pula diversifikasi pangan yang sudah lama didengungkan harus dijalankan secara konsisten. Terobosan untuk mengurangi konsumsi nasi per kapita adalah salah satu terobosan jitu guna menjaga ketersediaan beras, bahkan menjadi surplus.
Daud Sinjal